Jumat, 31 Juli 2020

RENUNGAN MALAM IDUL ADHA 1441 H

Ketika Nabi Ibrahim diperintah oleh Allah untuk menyembelih Ismail kecil, beliau tidak tahu jika putra kesayangannya akan diganti dengan domba qurban yg gemuk. Ketaatan Nabi Ibrahim yang sempurna tercermin dengan nyata ketika beliau tidak menanyakan kepada Allah mengapa harus menyembelih buah hati kesayangannya. Pada peristiwa yang lain ketika Nabi Musa terdesak oleh pasukan Firaun, di depan tidak ada jalan lagi, hanya ada laut merah, jalan buntu. Sementara Firaun dan bala tentaranya semakin bergerak mendekat. Disaat keadaan genting seperti itu turun perintah Allah agar Nabi Musa memukulkan tongkatnya ke laut. Nabi Musa tidak diberitahu oleh Allah sebelumnya bila laut merah akan terbelah bila dipukul dengan tongkatnya.

Bukti keimanan adalah totalitas ketaatan pada Allah, kami mendengar dan kami patuh, tidak perlu tawar menawar lagi dengan Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah menunjukkan kekuasaan-Nya pada para rasul dan kekasih-Nya yang mulia. Ketaatan mutlak tanpa syarat kepada Allah dan penyerahan diri sepenuhnya diganjar dengan karunia Allah yang tidak pernah diduga sebelumnya, surprise.

Ibadah kepada Allah merupakan kewajiban kita sebagai hamba-Nya. Seharusnya tidak ada “transaksi” dalam setiap ketaatan yang kita kerjakan. Ibadah dan amal baik bukan sekadar berharap mendapat pahala yang berlipat-lipat dan surga yang kekal abadi. Memang tidak ada salahnya bila motivasi ibadah mengharap ganjaran dari Allah, namun ada yang lebih tinggi dari derajat itu, yakni meniatkan semua ibadah semata mengharap ridha Allah.

Menurut para ulama’ sufi, posisi hamba sudah absolut tunduk dan pasrah terhadap perintah, tidak sepatutnya hamba menentang kehendak sang Pencipta. Ketaatan yang murni kepada Allah adalah nikmat yang telah di anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang suluk menuju Ridha-Nya. Tidak mesti menunggu balasan amal baik kelak di hari pembalasan.

Malam Idul Adha 1441 Hijriyah, … di saat detak jam dinding terdengar jelas dalam keheningan malam, dengan sepenuh hati hamba mengingat nikmat-nikmat-Mu ya Rabb…. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, penciptaan alam semesta dan silih bergantinya malam dan siang, pergantian bulan, tahun terdapat tanda-tanda kekuasaan-Mu, Ampuni hamba yang penuh dengan dosa-dosa, penuhi hati hamba dengan syukur, dan… Jadikan hamba golongan orang-orang yang mengingat Engkau sambil berdiri, duduk atau dalam keadan berbaring dan senantiasa memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi,

“Ya Allah ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.

10 Dzulhijjah 1441 Hijriyah

 

Selasa, 28 Juli 2020

BUDAYA ANTRI

Sudah menjadi hal yang biasa di negeri kita saling serobot dan mendahului. Budaya antri dan tertib belum terbangun dengan baik dalam kehidupan masyarakat. Antri esensinya adalah bentuk penghargaan terhadap hak-hak orang lain. Ada sebuah teori, semakin tertib masyarakatnya pada hukum dan norma yang berlaku, maka semakin tinggi kemajuan negara tersebut. Di negara-negara yang dikategorikan maju, terbukti sangat menjunjung budaya antri. Mereka malu jika menyerobot antrian karena tidak ada yang seperti itu. Mereka biasa menjadikan waktu kosong yang bermanfaaat disaat mengantri. Seperti membaca atau bersosialisasi dengan orang lain yang juga mengantri.

Dalam aktifitas sehari-hari banyak kita melihat perilaku masyarakat yang mencerminkan budaya antri masih relatif rendah. Naik bus biasa berdesak-desakan, menyeberang jalan di sembarang tempat, pengendara motor atau mobil tidak mengurangi kecepatan ketika melintasi zebra cross. Di traffic light pada perempatan atau pertigaan jalan biasa kita melihat betapa semrawutnya situasi jalan raya. Menerobos lampu merah atau membunyikan klakson berulang-ulang agar pengguna jalan di depannya segera berjalan.

Budaya antri adalah manifestasi sikap disiplin seseorang. Disiplin seharusnya tanpa diawasi. Karena disiplin adalah sebuah kesadaran pribadi yang melekat dalam tingkah laku. Sejak dini seharusnya anak didik kita dilatih untuk biasa dan bisa antri, karena dalam antri terkandung arti nilai kesopanan dan sifat menghargai satu sama lain. Semua orang memiliki hak yang sama dan akan mendapatkan giliran masing-masing.

Antri sebenarnya adalah tindakan yang sederhana namun memiliki arti yang besar. Dalam masyarakat yang sudah memiliki budaya antri akan banyak kita temukan nilai luhur. Mereka memiliki kesabaran untuk bisa mengendalikan egonya. Jika memang belum tiba gilirannya harus sabar menunggu agar orang yang sudah meng-antri mendapatkan haknya terlebih dahulu. Karena bagi mereka yang telah datang duluan memang sudah selayaknya mendapatkan kesempatan terlebih dahulu. Mereka menyadari konsekuensi terhadap perbuatan sendiri. Jika ia terlambat maka harus mendapatkan giliran antri paling belakang. Inilah yang menumbuhkan kedisiplinan, mampu mengatur waktu semua kegiatan yang akan dikerjakan.

Sebagai muslim sebenarnya kita telah diajarkan antri dan disiplin tinggi dalam ibadah shalat berjamaah. Disiplin dari sisi ketepatan waktu, menaati pemimpin, dan menerapkan antri. Ketika shalat berjamaah datang terlambat maka harus berada di shaaf paling belakang, siapa pun itu, tidak peduli jabatan atau status sosialnya yang tinggi. Nilai-nilai dalam shalat seharusnya tampak dalam kehidupan sehari-hari. Karena ibadah tidak semata rutinitas hubungan vertikal dengan Allah. Namun manifestasi ibadah lazimnya tampak nyata dalam tindak-tanduk kesehariannya.

 



Minggu, 26 Juli 2020

DINGIN…

Ketika mengambil air wudhu subuh hari ini, laksana air sedingin es. Terasa berat melangkahkan kaki menuju masjid untuk sholat berjamaah. Ketika cuaca dingin seperti hari ini yang mencapai 22°C, paling enak mungkin tetap berbaring di tempat tidur sambil berselimut tebal. Tidak sedikit orang akan menambah sedikit waktu tidur, bermalas-malasan.

Bagi masyarakat yang tinggal di daerah-daerah suhu rendah, suhu 22°C masih tergolong lazim, bukan tergolong suhu yang dingin. Terlebih di beberapa negara eropa yang suhunya bisa di bawah level 0°C, suhu 22°C tergolong masih "hangat" bagi penduduk di sana. Seperti Rusia misalnya, konon ceritanya ketika musim dingin suhu terendah bisa mencapai -40°C. Karena memiliki suhu yang ekstrem orang-orang eropa menjadi manusia yang kreatif. Otak mereka berputar mencari cara bertahan hidup dengan adaptasi terhadap iklim negeri mereka. Pada akhirnya ditemukan berbagai alat yang berguna yang mampu menjaga eksistensi kehidupan mereka. Mereka membuat mantel tebal yang mampu membuat tubuh hangat menciptakan mesin penghangat ruangan, ataupun teknologi yang lainnya. Alam telah menempa hidup mereka dengan keras.

Berbeda dengan kita. Hidup di daerah khatulustiwa seperti negeri kita pada dasarnya adalah sebuah anugerah. Memiliki musim tropis, tidak akan mengalami musim-musim dingin yang ekstrem seperti di negara-negara eropa. Kita dapat menikmati hangatnya sinar matahari sepanjang tahun. Seperti lagunya “Koes Plus” tanah kita ibarat serpihan tanah surga. Memiliki tanah yang subur, apapun jenis tanaman bisa tumbuh. Ikan dan biota laut pun berlimpah-ruah.

Kendati demikian, akan ada sisi negatif memiliki iklim yang nyaman seperti negeri kita. Pola pikir masyarakat akan lebih “santai” dibanding dengan masyarakat di daerah yang ekstrem. Faktanya, masyarakat kita pada zaman dulu ketika membangun rumah, bahannya hanya cukup dengan berdinding anyaman bambu (gedek). Bisa dibayangkan kalau orang eropa memiliki rumah seperti itu apa bisa bertahan hidup ketika musim dingin. Kebutuhan makan pun bisa dicukupi dari pekarangan sekitar rumah dengan menanam singkong, talas, ubi jalar suwek dan sejenisnya.

Setiap wilayah (negara) akan memiliki sisi keunggulan dan sisi kekurangan. Bumi Allah luas, demikian Allah menghendaki adanya perbedaan. Kalau seluruh belahan bumi memiliki iklim yang sama tentu tidak akan menarik. Tidak akan ada lagi orang eropa yang berlibur ke negeri beriklim tropis. Atau kita tidak akan penasaran lagi mencicipi suasana musim salju di negeri eropa.

Jumat, 24 Juli 2020

ANTARA TAAT DAN MAKSIAT

Sudah menjadi kodrat manusia tempanya salah dan lupa. Sering berbuat salah juga kadang kala berbuat dosa. Hanya para Nabi dan Rasul yang terbebas dari maksiat, mereka manusia suci yang terjaga. Sedangkan kita manusia biasa sering bergelimang dengan dosa dan maksiat. Siapa yang sanggup menjaga mata, mulut dan telinga terbebas dari maksiat sepanjang waktu...? Jawabannya tidak mungkin ada. Kita hidup dan bergaul di tengah-tengah masyarakat, akan mustahil menjaga panca indera kita tetap suci selamanya. Pasti akan ternoda oleh maksiat yang kita lakukan dengan sengaja ataupun tanpa ada niat sebelumnya. Mungkin seandainya kita tinggal di dalam goa dan tidak berinteraksi dengan manusia kita akan mampu terbebas dari maksiat.

Manusia secara “hardware” dan “software” memang berbeda dengan malaikat. Mereka diciptakan dari nur, kita dari tanah. Malaikat tidak diberi nafsu, sedangkan kita memiliki nafsu. Manusia makhluk yang dinamis, sedangkan para malaikat adalah makhluk Allah yang statis. Malaikat makhluk yang mutlak taat kepada Allah, sedangkan kita ada kalanya taat, namun di waktu yang lain berbuat maksiat.

Manusiawi ketika kita pernah berbuat maksiat, melakukan perbuatan dosa. Namun tidak bisa dibenarkan juga bila hidup kita selalu bergelimang dalam lumpur dosa. Karena selain diberi nafsu kita juga dikaruniai oleh Allah akal pikiran yang mampu mencerna perintah dan larangan Allah dalam kitab suci Al-Qur’an. Pergulatan antara nafsu dan akal kita akan selalu terjadi sepanjang hidup kita. Ketika akal kita menang dan mengikuti perintah-Nya kita akan menjadi hamba yang dimuliakan. Sebaliknya bila nafsu selalu dituruti jatuhlah manusia dalam posisi yang hina.

Di antara asma-asma Allah adalah Maha Pengampun. Ketika manusia tergelincir dalam dunia kemaksiatan hendaknya segera bertaubat kepada Allah yang Maha Pengampun. Rahmat Allah meliputi seluruh hamba-Nya. Maksiat yang menjadikan pelakunya taubat itu lebih baik daripada amal baik yang menjadikan seseorang ujub dan takabbur. Seorang pendosa yang takut azab Allah dan selalu bertaubat memohon ampun-Nya lebih dicintai Allah daripada seorang alim yang sombong karena kealimannya. Bukankah Iblis tadinya adalah makhluk Allah yang mulia di surga. Banyak amalnya, tak sejengkal bumi yang belum dijadikan tempat sujudnya. Namun seketika menjadi terlaknat ketika menjadi sombong, merasa diri lebih mulia dari Adam.

Seperti syukur yang harus dilakukan setiap saat, istighfar (taubat) pun harus dilakukan setiap waktu. Sebagai bentuk kesadaran kita, bahwa dalam langkah hidup ini akan selalu ada dosa. Memang dosa-dosa kecil akan selalu terulang. Namun seyogianya kita tidak menganggap remeh dosa-dosa kecil. Karena dosa kecil yang dilakukan berulang kali tanpa ditaubati akan menjadi dosa besar juga. Sebaik-baik orang yang maksiat banyak dosa adalah ber-segera minta ampunan pada Allah.

           

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...