Minggu, 31 Oktober 2021

MENULIS, PROSES MENEMUKAN



Menulis itu sebenarnya menyenangkan, karena dia adalah “proses menemukan”. Menulis bisa sangat mengasyikkan karena dalam menulis kita selalu menemukan hal yang baru. Memang tidak semua yang kita tulis adalah hal yang baru. Bisa saja itu adalah pengalaman-pengalaman kita yang sudah lama terjadi. Semua menjadi terasa baru karena diceritakan kembali, dan ternyata dengan menulis semua kejadian masa lalu tidak ada yang sia-sia.

 

Menulis bisa menjadi cara yang menyenangkan, dan membantu kita mengubah pengalaman yang tidak menyenangkan sekalipun menjadi sebuah karya yang berguna. Kalaupun bagi orang lain atau pembaca itu tidak pasti berguna, paling tidak itu ada sisi manfaat bagi penulisnya.

 

Tidak semua pengalaman masa lalu itu indah dan menyenangkan. Bisa jadi pengalaman masa lalu tadi getir, namun semua telah menjadi cerita yang asyik untuk diceritakan. Mungkin ada pelajaran yang bisa diambil dari kejadian masa lalu. Seperti apa kata orang, pengalaman adalah guru yang berharga. Dengan berbagi pengalaman siapa tahu kita telah membantu orang lain meski tidak secara langsung.

 

Menulis membantu kita untuk menemukan gagasan yang terpendam. Laksana aktivitas menggali, semakin dalam akan semakin banyak yang kita temukan. Mata air yang keluar akan lebih jernih dan murni. Semakin kita aktif berpikir dengan menulis, maka akan semakin banyak kita menemukan ide yang aktual.

 

Setidaknya dengan menulis, kita “membantu” diri sendiri menemukan karakternya. Jangan berharap menemukan banyak hal penting hanya dengan memanjangkan angan-angan. Perenungan kita dan pergulatan pikiran memerlukan wadah yang menampungnya. Ya, dengan selalu menulis kita tidak membiarkan semua gagasan yang bagus menjadi sirna sebelum nyata.

 

 

Sabtu, 30 Oktober 2021

MEMULIAKAN ORANG



Kita sering salah membuat penilaian terhadap orang lain. Parameter kita dalam menilai orang sering terbatas pada hal-hal yang bersifat materi. Tentu hal ini sudah menjadi kelaziman dalam masyarakat. Hampir semua orang ketika bertemu dengan orang yang penampilannya memukau secara reflek gesturnya akan memberi penghargaan atau penghormatan.

Tidak ada yang mendebat lagi, bila kita sebenarnya lebih memandang apa yang tampak oleh mata dibanding apa yang tidak terlihat. Sudah menjadi kebiasaan bila bertemu dengan pejabat, orang kaya atau tokoh ternama seseorang akan menampakkan sifatnya yang ramah. Bandingkan bila berjumpa dengan orang biasa, mengapa begitu berbeda sikapnya.

Menganggap jabatan dan harta sebagai puncak kemuliaan jelas keliru. Menjadi pemuja harta dan pemburu pangkat pada akhirnya akan masuk dalam kubang kehinaan. Nyatanya yang dipuja dan dan dikejar itu tidak menjadikannya ia kekal di dunia. Bahkan sejarah mencatat berapa banyak yang hidupnya berakhir dengan kepiluan.

Banyak yang terjebak merendahkan orang hanya karena ukuran fisik atau atribut yang disandangnya. Padahal, “Merendahkan orang lain saat kau tinggi, akan membuat kau berjalan dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah”. Begitu kata seorang motivator Jamil Azzaini.

Menghormati orang tidak menjadikan kita menjadi hina, justru itu menunjukkan ketinggian akhlak seseorang. Tidak selamanya kemuliaan seseorang bisa dilihat dari penampilan fisiknya atau tinggi jabatan yang dia miliki. Bahkan tidak sedikit yang memiliki jabatan tinggi ternyata akhlaknya ternyata rendah.

 

 

Jumat, 29 Oktober 2021

ILMU TITEN, KHAZANAH LELUHUR KITA



Hari Jumat, pagi ini hujan turun dengan lumayan derasnya. Teringat dengan apa yang dikatakan orang-orang tua dahulu. Bila hari Jumat hujan, maka hari selanjutnya akan hujan juga. Mungkin semacam hari pembuka musim hujan. Sebenarnya ini bukan semacam ramalan atau mitos. Ini bagian dari khazanah leluhur kita orang jawa, ilmu titen.

Ilmu titen adalah salah satu pegangan hidup orang Jawa. Bagi masyarakat Jawa, “niteni” adalah adalah hal yang prinsipil. Pasalnya, konsep ini adalah aktualisasi dari falsafah Jawa, “Iling lan waspodo”, artinya ingat dan waspada.

Dalam falsafah tersebut, orang Jawa dituntun untuk iling, maksudnya ingat kepada Yang Maha Kuasa, dan selalu bersikap kehati-hatian. Sikap ini lantas membuat orang Jawa selalu niteni segala hal yang terjadi, misalnya tingkah laku manusia atau fenomena alam karena bisa diamati dengan pancaindra atau hal yang fisik bukan metafisik.

Dengan cara mengamati, orang Jawa terlatih untuk bersikap kritis-analitis ketika membaca situasi  serta selalu waspada dalam bertingkah laku. Falsafah ini tentunya lahir dari kearifan membaca alam, mengamati dengan saksama dan melakukan perenungan yang mendalam.

Ilmu titen sebenarnya bukan mistis, tapi lebih mirip hasil “riset” panjang dengan mempelajari pola-pola yang berlaku dalam alam semesta ini. Dan ini adalah kekayaan dan warisan leluhur yang layak dikaji dan dilestarikan.

 

 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...