Sabtu, 29 April 2023

Hari Raya “Kupatan”

 



Memasuki tanggal 7 Syawal, banyak kita jumpai masyarakat yang mengadakan kegiatan kupatan. Tradisi kupatan merupakan budaya yang sudah turun-temurun sejak zaman dahulu. Ada sebagian sejarawan yang meyakini bila kupatan sudah ada sejak masa penyebaran (dakwah) Islam periode pertama di Jawa atau masa Walisongo.

Secara etimologi kupatan sebenarnya sarat makna. Ada yang mengartikan kupatan berasal dari Bahasa Arab yaitu kaffatan yang artinya sempurna. Ini dihubungkan dengan pelaksanaan ibadah puasa Ramadan yang disambung dengan puasa sunah Syawal selama enam hari.

Sempurna, karena sesuai sabda Rasulullah; Barang siapa yang menjalankan puasa Ramadan kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa selama setahun penuh.

Ada pula yang mengartikan kupatan atau kupat maknanya “Aku lepat” (saya bersalah). Kupat atau ketupat adalah simbol permintaan maaf kepada sesama saudara seiman. Memberi ketupat maknanya meminta maaf dengan hati yang tulus.

Puasa Ramadan merupakan perintah Allah. Apabila seorang muslim taat menjalaninya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Untuk selanjutnya, menjalin hubungan baik sesama muslim dengan saling meminta maaf agar dosanya kepada sesama juga diampuni oleh Allah.

Hari Raya ketupat hanya ada di negeri kita dan sebagian negeri rumpun Melayu. Ini semakin memperkaya budaya bangsa kita dan menjadikan perayaan lebaran semakin semarak. Secara syariat, kupatan juga selaras dengan ajaran agama Islam, yaitu sedekah. Untuk itu, mari kita jaga tradisi luhur peninggalan leluhur kita ini.

 

Selasa, 25 April 2023

Lebaran Politik

 



Sudah menjadi budaya masyarakat kita selalu merayakan Idulfitri dengan meriah. Terlebih tahun ini(1444 Hijriyah) kita bisa merayakan Idulfitri dengan leluasa setelah dua tahun kemarin berlangsung dengan kewajiban mematuhi protokol kesehatan dan pemberlakuan pembatasan aktivitas masyarakat secara umum.

Salah satu tradisi dalam masyarakat kita ketika merayakan Idulfitri adalah saling berkunjung atau silatutrrahim dengan sanak keluarga/kerabat, teman atau orang-orang yang memiliki relasi dengan kita. Ini yang menjadikan Idulfitri di negeri kita berbeda dengan negeri yang lain.

Tahun ini, kalau kita cermati nuansa Idulfitri terasa lebih semarak. Ini tentu ada hubungannya dengan agenda besar bangsa kita di tahun depan (2024) yakni pemilu. Kurang dari satu tahun, kita (rakyat) punya hajat memilih langsung anggota legislatif  dari tingkat kabupaten hingga pusat, anggota DPD hingga Presiden dan Wakil Presiden.

Tidak mau kehilangan momen lebaran, para elit politik di negeri kita berlomba mengeluarkan berbagai strategi politik tingkat tinggi partainya. Silaturrahim menjadi ajang lobi politik meracik koalisi dan mencari dukungan sana-sini. Bahkan sehari menjelang Idulfitri kemarin, salah satu partai melaunching capres yang akan dimajukan di tahun 2024 mendatang.

Semua tentu memaklumi, karena di tahun politik apapun bisa digunakan sebagai sarana mencari simpati. Mendadak banyak elit/pemimpin merakyat dan dekat dengan masyarakat. Tapi masyarakat hari sudah lebih melek politik. Mereka tentu bisa menilai, mana yang bekerja dengan tulus, dan mana yang sekadar mengumbar janji tanpa bukti.

 

Kamis, 20 April 2023

Tradisi di Bulan Ramadan



Mungkin hanya ada di negeriku tercinta Indonesia, kedatangan bulan Ramadan disambut dengan berbagai tradisi. Tradisi-tradisi ini bisa ditemui di hampir semua penjuru nusantara. Dan tradisi yang sudah ada sejak ratusan tahun tersebut masih lestari sampai sekarang. Lazimnya masyarakat kita akan menggelar pelbagai acara-acara dalam menyambut bulan puasa dengan sangat meriah.

Walaupun caranya berbeda-beda, tradisi dalam menyambut bulan Ramadan di Indonesia ini memiliki semangat yang sama yakni bahagia karena bulan suci Ramadan tiba. Dan di akhir Ramadan masyarakat kita juga memiliki tradisi yang mencirikan kekhususan umat Islam Indonesia. Bahkan budaya tersebut tidak pernah dijumpai di negeri Islam sekalipun. Ada kupatan, halal bihalal, sillaturrahim saling berkunjung maupun sungkeman ke orang tua. Semua itu adalah kekayaan budaya bangsa kita yang memang masyarakatnya heterogen.

Puasa Ramadan sendiri sudah menyatu dengan adat-istiadat masyarakat kita. Rasanya ada yang tidak lengkap bila masuk bulan Ramadan tidak ada acara megengan dan nyekar (ziarah kubur). Keduanya memang tidak pernah ditinggalkan saat menjelang Ramadan. Begitu pula perayaan Idulfitri pun pasti tidak akan terasa meriah bila tidak saling mengunjungi (sillaturrahim). Dan itu sudah kita rasakan saat perayaan Idulfitri di masa pandemi kemarin.

Tidak ada bedanya kaifiat puasa Ramadan di negeri kita dengan umat Islam di tempat lain. Yang membedakan adalah bagaimana cara kita menjalaninya. Yang sedikit berbeda ialah, dengan cara apa kita merayakannya. Dan selama tradisi yang telah berumur tua tersebut tidak bertentangan syariat, biarkan saja tidak perlu kita repot-repot menentangnya.        

 

Rabu, 19 April 2023

Di Fase Akhir Ramadan



Ramadan telah berada di fase akhirnya. Sebentar lagi, Ramadan meninggalkan kita. Dan kita tidak pernah tahu dengan pasti, apakah Ramadan di tahun yang akan datang masih punya kesempatan menggapai kemuliannya.

Di saat Ramadan memasuki penghujung harinya, banyak orang yang gembira. Senang karena telah lulus menjalankan perintah puasa sebulan penuh, dan selanjutnya memasuki idulfitri dan berharap menjadi bagian dari janji Allah, (golongan) orang-orang yang kembali disucikan.

Kelompok yang kedua adalah mereka yang bersedih karena harus berpisah dengan bulan suci Ramadan. Berkah Ramadan benar-benar meliputi jiwa dan raga mereka. Tak sepenggal waktu pun yang dibiarkan berlalu dengan sia-sia. Mereka senantiasa khusyuk dalam ibadah, menyucikan hati dan mendekatkan diri pada ilahi.

Bila harus jujur, kita mungkin masih dalam kategori kelompok yang pertama. Tidak merasa sedih ketika Ramadan akan berakhir. Tapi setidaknya kita tidak termasuk kelompok yang ketiga. Yakni, orang-orang (Islam) yang belum terpanggil untuk menunaikan ibadah puasa. Meskipun demikian, mereka yang tidak puasa juga merayakan idulfitri dengan penuh sukacita.

Semoga Allah masih memberi kesempatan kita bersua dengan Ramadan di tahun-tahun yang akan datang. Dan yang terpenting puasa kita akan semakin meningkat kualitasnya. Kita benar-benar mampu menjadikan puasa sebagai sarana untuk meningkatkan ketakwaan. Bukan hanya sekadar rutinitas tahunan yang begitu-begitu saja dijalankan.

 

Selasa, 18 April 2023

Duka (musibah) di Awal Ramadan 1444 Hijriyah


  


Ramadan tahun 1444 Hijriyah ini akan selalu kami kenang, karena terselip peristiwa sedih di keluarga kami. Pada hari keenam puasa, ayah tercinta meninggalkan kami untuk selamanya. Ini menjadi Ramadan terakhir dengan ayah kami. Semua orang tentunya pasti pernah merasakan bagaimana rasanya ditinggal oleh orang yang disayangi. Meski kita sadar betul dengan kepastian maut, tetap saja semua terasa berat dan menjadi duka yang mendalam.

Kalau sudah tiada, semua baru terasa. Ramadan yang selama ini menjadi momen berkumpulnya seluruh keluarga, kini terasa berbeda. Ada yang hilang dari pandangan kami. Senyum Bapak yang cerah bahagia, di saat melihat anak-anak dan cucunya berkumpul menikmati hidangan buka puasa bersama.

Semua sudah menjadi kehendak dan di bawah kuasa-Nya. Di bulan yang mulia, beliau kembali ke menghadap kepada sang Pemilik kehidupan. Baru saya mengerti apa makna pesan Bapak kami beberapa hari sebelumnya, beliau minta diantar pulang. Dan saya telah memenuhi permintaannya yang terakhir. Mengantar beliau hingga membaringkannya di liang lahat serta menghadapkan wajahnya ke kiblat. Dan malam itu, saya orang terakhir yang meninggalkan pusara beliau. Ya Rabb, ampunilah beliau dan berikan tempat yang mulia di sana.

Ramadan ya Ramadan… Sepanjang tahun kami menunggu kedatanganmu. Sekuat mungkin kami berusaha menggapai keberkahan bulan suci Ramadan. Ya Allah, izinkan kami berjumpa Ramadan di tahun yang akan datang. Dan bimbing kami agar menjadi hamba-hamba yang bertakwa.

 

 

Minggu, 16 April 2023

Ramadan Tempo Dulu



Momen kedatangan bulan Ramadan selalu terasa istimewa bagi saya. Dan itu sudah saya rasakan sejak kecil sebelum mengerti banyak tentang makna puasa. Masih jelas dalam ingatan, ketika bulan Ramadan malam hari kampung kami yang suasananya sunyi karena belum ada penerangan listrik berubah semarak dengan banyaknya oncor (obor) yang dipasang di tepi jalan desa kami.

Musholla kecil di pinggir sawah tempat saya belajar mengaji juga ramai dengan jamaahnya, meski shalat tarawih hanya dengan penerangan lampu petromak. Setelah shalat tarawih dilanjutkan dengan tadarrus al-Quran, dan itu menjadikan denyut kehidupan spiritual musholla kami semakin terasa. Sewaktu Ramadan kami lebih banyak menghabiskan waktu di musholla. Karena di musholla selalu banyak teman bermain, sementara di rumah kami tidak memiliki kegiatan yang menyenangkan.

Kesan-kesan indah itu begitu kuat melekat dalam ingatan sehingga mustahil akan terlupakan. Ada kerinduan yang mendalam menjalani ibadah puasa layaknya masa kecil dulu di kampung halaman. Rindu tidur ramai-ramai di musholla dan ketika waktu sahur kami ronda keliling kampung. Rindu berebut takjil dan berkat. Dan juga rindu bisa makan (buka) bersama dengan kedua orang tua beserta kakak dan adik saya.

Menjalani puasa dalam suasana seperti itulah yang selalu saya ingat. Ada kedamaian Ramadan yang berpendar dalam ruang musholla yang sempit dan temaram. Kami rasakan kesejukan dan ketenangan hati di sepanjang lorong-lorong redup jalan kampung kami. Ramadan serasa nyata hadir dalam setiap hembusan nafas kami, orang-orang desa yang katanya orang pinggiran.

Tapi, semua pasti akan berubah tergerus arus zaman. Begitu pula kampung tempat tinggal masa kecil saya dulu. Musholla yang dahulu ramai kini sekarang menjadi sepi. Tidak ada lagi gerombolan anak-anak yang bermarkas dan bermain di sana. Ya, karena anak-anak saat ini pasti lebih suka bermain dengan gadget dan enggan bersosialisai dengan teman mereka.

 

Selasa, 11 April 2023

Puasa, Laku Tirakat dan Mereset Tubuh



Sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 183, puasa merupakan ibadah yang sudah dilaksanakan oleh umat-umat jauh sebelum periode Nabi Muhammad. Hanya saja, waktu pelaksanaan dan ketentuan puasa umat zaman dahulu berbeda dengan kita (muslimin) saat ini.

Dalam tradisi orang Jawa, sudah sangat lama puasa menjadi salah satu laku tirakat yang umum dikerjakan oleh seseorang yang ingin mencapai kemampuan tertentu. Sudah lazim apabila murid berguru pada tokoh yang memiliki kelebihan, syaratnya selalu disuruh tirakat dengan melakukan puasa.

Bahkan, puasa sebenarnya tidak hanya dikerjakan oleh manusia, akan tetapi beberapa hewan juga punya kebiasaan “puasa”. Ketika induk ayam mengerami telurnya, ia tidak akan makan dalam beberapa hari. Kepompong juga melakukan hal yang demikian di saat ia bermetamorfosis menjadi kuku-kupu. Masih ada beberapa hewan yang ternyata melakukan proses “tirakat puasa” di saat momen yang tertentu.

Puasa merupakan jalan menuju perubahan. Umat muslim menjalankan puasa Ramadan dengan harapan akan meraih derajat taqwa. Dan perubahan yang diharapkan itu akan menjadi nyata bila puasa yang dikerjakan benar-benar dijalankan dengan ikhlas semata karena mengharap rida Allah.

Di akhir Ramadan nanti akan lahir kembali insan-insan yang kembali pada fitrah atau suci. Puasa telah membersihkan semua dosa-dosanya sehingga tak tertinggal lagi sama sekali. Bukan hanya ruhani yang kembali bersih, tapi jasmani atau tubuhnya juga telah direset kembali menjadi lebih sehat dan segar.

 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...