Pendahuluan
Agama
sebagai sebuah pedoman hidup harus mengajarkan nilai egaliter yang tidak
mendiskriminasi antarumat manusia. Sementara yang tidak kalah pentingnya
beragama harus menjunjung nilai-nilai moderat. Agama semestinya diamalkan
dengan cara mengutamakan saling menghormati dengan sesama penganut agama dan
juga terhadap penganut agama lain. Kerukunan umat beragama menjadi prioritas
dengan menjaga toleransi serta berusaha menghindari segala bentuk konflik dan
permusuhan.
Penganut
agama yang mengamalkan ajaran agamanya dengan moderat serta-merta akan menjaga
hubungan baiknya dengan penganut agama lain. Ia memiliki prinsip toleransi yang
menghargai keberagaman dan bersedia bekerjasama dalam konteks hubungan
kemasyarakatan atau urusan sosial. Dia tidak membuat sekat dengan orang hanya
karena berbeda keyakinan.
Moderasi
beragama tidak bermakna mencari tafsir baru yang benar-benar berbeda dari teks
kitab suci sebuah agama. Namun moderasi beragama adalah pemikiran keagamaan
yang bersifat moderat yang indikasinya adalah kemampuan untuk memadukan antara
teks dan konteks. Seorang penganut agama yang moderat tidak kaku karena terlalu
tekstual, namun di sisi lain dia juga tidak terlalu leluasa dengan pemikirannya
sendiri karena melepaskan diri dari teks yang seharusnya dipedomani.
Sikap
intoleran penganut agama memang nyata ada dalam masyarakat. Kita tidak bisa
menafikan itu semua. Namun demikian, pemahaman sebagian orang sering keliru
dalam menanggapi fenomena tersebut. Ketika terjadi suatu tindakan pelanggaran
yang mencerminkan sikap intoleran, pandangan orang akan latah menganggap
pelakunya mengamalkan ajaran agama yang keliru. Padahal itu adalah tindakan
perseorangan (oknum) semata yang tidak merepresentasikan agama yang dianutnya.
Dalam
konteks hubungan kerukunan umat beragama, agama Islam sering mendapat label
yang negatif. Itu semua terjadi karena orang tidak bisa membedakan antara agama
Islam dengan umat Islam. Kerancuan pandangan yang sangat keliru ini
menyebabkan banyak orang salah menilai dan ceroboh membuat kesimpulan. Ketika
oknum (penganut agama Islam) melakukan tindakan kekerasan yang mengindikasikan
permusuhan terhadap umat nonmuslim, Islam yang akan disalahkan. Padahal para
penuduh tidak pernah ada yang bisa membuktikan bahwa dalam ajaran agama Islam
terdapat dogma atau tuntunan yang membenarkan tindakan kekerasan terhadap umat
yang berbeda keyakinan.
Pemahaman
agama yang keliru sering menjadi akar permasalahan sikap intoleran, khususnya
dalam kalangan umat Islam. Karena dari satu teks yang sama, bisa muncul puluhan
penafsiran yang berbeda-beda. Inilah pentingnya memiliki bimbingan dari ulama
yang memiliki jalur sanad yang benar. Karena dengan cara tersebut agama Islam
tidak terdistorsi oleh pemahaman-pemahaman yang yang menyimpang.
Sebagai
upaya menciptakan kerukunan umat beragama dan menghindarkan potensi perpecahan
dalam masyarakat, pemerintah melalui Kementerian Agama intens melakukan
penguatan dan implementasi moderasi beragama. Dewasa ini moderasi beragama
dibutuhkan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara penganut agama
secara eksternal, bahkan secara internal juga diperlukan untuk mewujudkan
suasana yang selaras mengingat banyaknya aliran dalam sebuah agama. Dan dalam
konteks Indonesia, moderasi beragama menjadi pilihan yang logis. Bahkan saat
ini moderasi beragama telah menjadi gerakan yang memiliki tujuan mulia dengan
prinsip melakukan perbaikan.
Hak
dasar manusia dalam perspektif Islam
Allah menciptakan manusia
dengan fitrah kemuliaan. Sebagai makhluk yang dimuliakan manusia dibekali
dengan akal dan kemampuan berpikir. Manusia menjadi satu-satunya ciptaan Allah
yang rasional. Rasulullah sebagai pembawa risalah, diperintah oleh Allah
menyampaikan syariat yang menata kehidupan manusia agar tetap menjadi makhluk
yang mulia.
Dalam
surat Al-Isra ayat 70 Allah berfirman: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka
rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. al-Isra’: 70)
Manusia
memiliki hak al-karamah dan hak al-fadlilah. Misi diutusnya
Rasulullah adalah rahmatan lil alamin, di mana kemaslahatan merupakan tawaran
untuk seluruh manusia dan alam semesta. Penafsiran misi rahmatan lil alamin
disebut sebagai ushul al-khams (lima prinsip dasar) yang melingkupi hifdhud
din, hifdhun nafs wal ’irdl, hifdhul aql, hifdhun nasl dan hifdhul mal. (https://papua.kemenag.go.id)
1.
Hifdhud din (Memelihara Agama) memberikan jaminan hak kepada umat Islam
untuk memelihara agama dan keyakinannya (al-din). Sementara itu Islam juga
menjamin sepenuhnya atas identitas (kelompok) agama yang bersifat lintas etnis,
oleh karena itu Islam menjamin kebebasan beragama, dan larangan adanya
pemaksaan agama yang satu dengan agama lainnya.
2.
Hifdhun nafs wal irdh (Memelihara Jiwa) memberikan jaminan hak
atas setiap jiwa (nyawa) manusia, untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
Dalam hal ini Islam menuntut adanya keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar;
pekerjaan, hak kemerdekaan, dan keselamatan, bebas dari penganiayaan dan kesewenang-wenangan.
3.
Hifdhul‘aql (Memelihara Akal) adalah adanya suatu jaminan atas kebebasan
berekspresi, kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan pendapat, melakukan
penelitian dan berbagai aktivitas ilmiah. Dalam hal ini Islam melarang
terjadinya perusakan akal dalam bentuk penyiksaan, penggunaan obat terlarang
maupun minuman keras.
4.
Hifdhun nasl (Memelihara Keturunan) merupakan jaminan atas kehidupan
privasi setiap individu, perlindungan atas pekerjaan, jaminan masa depan
keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas. Perzinahan
adalah perilaku menyimpang menurut syara’ sagat diharamkan.
5.
Hifdhul mal (Memelihara Harta) dimaksudkan sebagai jaminan atas
pemilikan harta benda, properti dan lain-lain. Dan larangan adanya tindakan
mengambil hak dari harta orang lain dengan cara-cara yang tidak sah seperti:
mencuri, korupsi, monopoli, dan yang serupa itu.
Lima
prinsip dasar di atas sangatlah relevan dan bahkan seiring sejalan dengan
prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia. Jauh sebelum ada pengakuan umum terhadap
perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam hukum internasional yang tertulis
pasca Perang Dunia II, Islam telah hadir membawa konsep ajaran yang melindungi
hak dasar manusia.
Ajaran
Islam yang dibawa Rasulullah mengembalikan kembali derajat manusia sebagai
makhluk yang dimuliakan. Pada masa jahiliah kehormatan seseorang dinilai dari
faktor keturunan atau nasab, kekayaan dan ketinggian kedudukannya. Ketika Islam
datang maka dihapuslah konsep jahiliyah tersebut.
Islam
tidak memandang nilai kemuliaan seseorang dari bentuk tubuh atau fisik,
banyaknya harta maupun pangkat seseorang. Yang mulia di sisi Allah adalah hamba
yang bertakwa. Tak peduli apakah dia seorang hamba sahaya atau orang yang
miskin tidak berharta. Dan dalam hal ini Rasulullah Saw memberi teladan kepada
umatnya dengan nyata. Ada sahabat-sahabat pilihan Nabi yang tadinya hamba
sahaya atau budak, diantaranya adalah Bilal Bin Rabbah dan Zaid bin Haritsah.
Akan tetapi Rasulullah tidak pernah membedakan derajat mereka dengan kemuliaan
sahabat lain yang bernasab mulia.