Minggu, 31 Januari 2021

BENAR DI MATA ORANG



Benar menurut kita, belum tentu benar menurut orang lain. Hal baik yang kita lakukan, belum pasti mendapat respon yang baik dari orang lain, bahkan bisa sebaliknya. Ketika kita belajar dermawan, akan ada orang yang menilai kita hidup boros, pamer, mencari muka atau mencari nama. Padahal niat kita memang benar-benar ikhlas beramal. Di saat kita hidup hemat, lain lagi komentar orang. Kita dianggap pelit, tidak peduli dengan orang lain atau hanya mementingkan urusan diri sendiri. Itulah contoh nyata dalam masyarakat, akan selalu ada orang yang menganggap kita keliru.

Akan selalu ada pandangan minor terhadap kebaikan yang kita lakukan. Dan realitasnya tidak ada orang yang benar mutlak dalam pandangan banyak orang. Mungkin ini karena sudut pandang yang selalu berbeda, atau hal tersebut terjadi karena pada dasarnya orang tadi memang tidak menyukai kita. Jadi, apapun yang kita kerjakan selalu salah dalam opininya.

Teringat kisah Lukman al-Hakim. Ketika ia mengajak putranya pergi ke pasar membawa seekor keledai. Ketika keledai dinaiki berdua, orang berkomentar tidak memiliki perasaan. Bagaimana seekor keledai dinaiki oleh dua orang. Pada saat Lukman Al-Hakim turun menuntun keledai, sementara anaknya tetap di atas keledai, orang-orang berkata, alangkah tidak beradabnya anak itu, dia naik keledai sementara ayahnya yang menuntun.

Akhirnya posisi dibalik, anaknya turun kemudian Lukman al-Hakim yang naik keledai, apa komentar orang?. Sungguh keterlaluan, seorang ayah tega naik keledai sedangkan anaknya disuruh menuntunnya. Yang terakhir, keledai dituntun berdua. Apakah orang-orang diam?. Tidak. Justru banyak yang menertawakan, kenapa bodoh sekali, memiliki keledai tapi tidak digunakan sebagai kendaraan. Malah dituntun berdua….?!

Menuruti komentar orang tidak akan pernah ada habisnya. Karena sudah pasti, benar menurut kita belum tentu baik menurut orang lain. Tapi selama kita sudah yakin dengan apa yang kita lakukan, tidak ada alasan gelisah dengan perkataan orang-orang. Seperti ungkapan orang tua dahulu, Ojo mung iso ndelok, (kendel alok). Jangan Cuma bisa melihat. Karena orang yang hanya melihat sering hanya bisa menyalahkan. Beraninya cuma mengolok-olok, padahal diri sendiri belum tentu lebih baik dari orang yang selalu dia salahkan.

 Selamat istirahat…..

 


 


 

 

Sabtu, 30 Januari 2021

ADA ADAB DI ATAS ILMU

 



Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat sebuah kiriman (pesan WhatsApp) dari seorang teman. Sebuah postingan gambar yang menurut saya sangat ironis. Dalam photo tersebut, tampak beberapa orang berseragam dan bersepatu yang sedang duduk dalam sebuah ruang tunggu. Sementara ada seorang wanita tua yang berbaju lusuh dan bersandal jepit duduk di lantai karena tidak ada kursi yang kosong lagi. Sebuah gambaran yang benar-benar membuat hati trenyuh.

Ketika pendidikan hanya menitikberatkan pada kemampuan berpikir, hasilnya adalah manusia-manusia yang pandai secara akademik tapi rendah akhlaq dan kepekaan sosialnya. Dalam hal ini kita harus melihat keunggulan sistem pendidikan pesantren. Proses pendidikan ilmu agama pesantren yang lebih diutamakan kepada para santri adalah akhlaknya. Ilmu, dengan sendirinya akan mengikuti.

Ada perbedaan yang sangat terlihat bila kita melihat pendidikan ala pesantren dan pendidikan formal. Perbedaan itu adalah ta’dhim antara santri dengan pengasuhnya. Ta’dhim, menjadi salah satu metode khas pendidikan di lingkungan pondok pesantren. Ta’dhim adalah penghormatan kepada guru. Ia tak hanya berhenti dalam bentuk penghormatan gestur tubuh tapi lebih luas dari itu, meliputi segala bentuk kerendahan hati seorang murid terhadap orang yang alim yang mendidiknya. Bahkan ta’dhim tidak hanya terbatas pada guru yang mengajarnya, tetapi juga terhadap seluruh keluarga gurunya.

Guru memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter anak didiknya. secara moral guru ikut bertanggungjawab terhadap perilaku muridnya. Sebagaimana definisi guru  menurut Undang Undang No 14 Tahun 2005, Guru adalah  tenaga pendidik profesional di bidangnya yang memiliki tugas utama dalam mendidik, mengajar, membimbing, memberi arahan, memberi pelatihan, memberi penilaian, dan mengadakan evaluasi kepada peserta didik yang menempuh pendidikannya sejak usia dini melalui jalur formal pemerintahan berupa Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah. 

Kembali pada rendahnya adab. Potret buruk perilaku anak didik setidaknya menjadi bahan refleksi bagi guru. Meski sebenarnya banyak hal yang menyebabkan semua itu. Bisa saja terjadi karena faktor dalam keluarga yang tidak mendapat keteladanan dan perhatian yang cukup, atau lingkungan masyarakat (tempat) yang tidak menunjung nilai-nilai kesopanan.

 


Jumat, 29 Januari 2021

“NGALAP” BERKAH



Menurut bahasa, berkah berasal dari bahasa Arab: barokah  artinya nikmat, Istilah lain berkah dalam bahasa Arab adalah mubarak dan tabaruk. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (online) berkah adalah “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”. Menurut istilah, berkah (barokah) artinya ziyadatul khair, yakni “bertambahnya kebaikan”.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu berharap kepada Allah agar segala aktivitas, rezeki dan semua nikmat-Nya penuh keberkahan. Karena yang terpenting dari pemberian Allah bukan semata banyaknya, namun berkahnya. Berapa banyak harta yang dimiliki bila tidak ada berkahnya maka akan habis percuma. Demikian pula ilmu yang dimiliki, meskipun banyak ilmu yang dikuasai tapi bila tidak ada barokahnya, maka ilmunya tidak ada gunanya. Ibarat pohon lebat tidak ada buah yang bisa diambil untuk dinikmati.

Dalam pendidikan Islam, konsep barokah selalu menyertai berbagai aktivitas dan hubungan seorang murid khususnya pada saat menimba ilmu pengetahuan. Dalam kalangan Pesantren kita juga mengenal istilah ngalap berkah, mencari berkah, atau tabarruk. Gambaran kongritnya, melakukan suatu amal tindakan dengan maksud untuk mendapatkan kebaikan, dengan makna mencari berkah (Thalab barokah). Sehingga kita bisa memahami di saat para santri berebut membersihkan kamar mandi Kiai (guru), berebut mencium tangan guru, menata sandal guru dan sebagainya. Sementara Konsep ini tidak dimiliki oleh sistem pendidikan kontemporer yang mengadopsi sistem pendidikan barat, dimana lebih mengandalkan kepada rasionalitas dan formalitas dalam proses pendidikan.

Dulu sering kami mendapat cerita-cerita unik laku santri dalam hal ngalap berkah sang Kiai. Seorang santri yang bertahun-tahun nyantri di pesantren, ternyata tidak disuruh mengaji oleh Kiainya. Tapi dia mendapat tugas mencarikan rumput (ngarit) untuk kuda peliharaan Kiai. Begitu sudah lama “mengabdi”, santri tersebut disuruh pulang oleh Kiainya. Dan yang luar biasa, sesampainya di kampung halamannya, santri tersebut menjadi seorang yang alim dan menguasai berbagai ilmu. Memang ini cerita yang tidak bisa ditiru sebagai metode pendidikan. Namun kita juga percaya bahwa semua mungkin terjadi atas kehendak-Nya.

Lalu bagaimana wajah pendidikan kita saat ini, terutama pendidikan formal (bukan pesantren). Masihkah ada nilai-nilai ngalap barokah, sebagai ikhtiar agar ilmu yang diperoleh benar-benar penuh berkah. Sepertinya sudah semakin hilang tradisi tersebut. Kita lebih sibuk dengan hal-hal yang lahiriah, sementara yang seharusnya kita utamakan justru dikesampingkan. Kita lebih sering bangga memiliki murid pandai, tapi tidak pernah memberi apresiasi murid yang memiliki adab (perilaku) yang bagus. Padahal di atas ilmu ada adab.

 

 

Kamis, 28 Januari 2021

SELAMANYA BELAJAR



Ilmu manusia dibandingkan ilmu Allah, ibarat setetes air dibandingkan dengan samudera yang luas. Dan yang setetes itu pun pemberian Allah juga. Namun sering manusia lupa diri. Dengan sedikit ilmu yang diberikan padanya seakan dia sudah menguasai segalanya. Padahal Allah membuat perumpamaan seekor nyamuk, kalau memang manusia mampu, buatlah makhluk serupa nyamuk. Nyatanya sampai hari ini, belum ada satupun ilmuwan di dunia yang mampu membuat nyamuk, atau bahkah patung nyamuk sekalipun.

Menyadari diri lemah, sedikit ilmu, dan niat kuat untuk selalu belajar itu baik. Memang kenyataan tidak ada satupun manusia yang mutlak pandai dalam segala bidang. Seorang ilmuwan fisika misalnya, dia hanya tahu sekelumit tentang ilmu Fisika, ilmu biologi, sosial, agama, maupun disiplin lainnya dia pasti bukan ahlinya. Kalaupun dia (ilmuwan) ingin mengusai banyak cabang ilmu, usianya tak akan pernah cukup untuk melakukannya.

Sedikit ilmu yang kita miliki tetaplah karunia yang besar. Tak semua manusia mendapat amanat Allah berupa ilmu. Dan tidak ada dikotomi ilmu. Selama ilmu tersebut bermanfaat dalam kehidupan, membawa kemslahatan manusia dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, ilmu tersebut penting untuk diamalkan. Ilmu pertanian, ilmu pertukangan, ilmu tata boga, semua itu berguna. Artinya ruang lingkup ilmu sangat luas, tidak terbatas pada masalah agama.

Ilmu agama ibaratnya adalah ruh dari semua cabang ilmu yang ada. Seorang ilmuwan yang memiliki pemahaman ilmu agama yang benar tidak menjadikan dia lupa akan Allah. Semakin tinggi tataran ilmu yang dicapai semakin dia menyadari kebesaran sang pencipta alam semesta Allah subhanahu wa ta’ala.

Prinsip syukur menerima anigerah ilmu adalah mengamalkan ilmu dan membuka diri selalu belajar. Semakin kita belajar semakin kita mengerti apa yang kita punya masih sedikit. Semakin belajar semakin kita menghargai orang lain. Akan lahir sifat tawadhu dan kesadaran kekurangan diri, bukan sebaliknya menganggap rendah orang lain.

 

Rabu, 27 Januari 2021

SUKSESI VS ISTIKAMAH



Mungkin masih banyak kita jumpai masjid di kampung-kampung yang Khatib Jumat dan Imamnya sudah cukup sepuh (tua). Sebenarnya kita juga melihat banyak anak-anak muda yang mampu untuk melaksanakan tugas sebagai khatib ataupun imam. Namun belum diberi kesempatan untuk tampil ke depan. Tentu alasannya sangat mendasar, untuk memimpin shalat atau menyampaikan khutbah yang paling utama tentu yang lebih tua. Dan generasi tua sudah teruji istikamahnya dalam ibadah.

Memang bila kita lihat dari sisi keutamaan ibadah, semua itu sudah tepat tak ada yang keliru. Namun bila kita lihat dari sisi regenerasi kepemimpinan, itu tidak relevan dengan kebutuhan umat saat ini. Perkembangan zaman yang begitu pesatnya tentu harus diimbangi dengan metode dakwah yang sesuai. Dan rasanya tidak berlebihan bila kita katakan anak muda generasi sekarang memiliki wawasan luas dan metode dakwah yang aplikatif.

Karena keta’dziman generasi muda, mereka tentu segan meminta untuk berbagi atau menggantikan peran dari generasi tua. Tentu mereka merasa tabu kalau menawarkan diri untuk tampil. Inilah seharusnya yang menjadi bahan pemikiran kita bersama. Suksesi, pergantian kepemimpinan adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari. Secara alamiah tentu manusia memiliki keterbatasan yang tidak mungkin dilawan. Pada masanya semua akan digantikan, dan itu sudah menjadi sunatullah.

Semua membutuhkan kebesaran hati para orang tua kita. Harus berani memberi kesempatan para generasi muda untuk tampil. Membantu mereka dengan kepercayaan dan dukungan, karena semua membutuhkan waktu untuk belajar. Jangan sampai potensi generasi penerus dibekukan, namun harus dikembangkan. Tentu tidak baik, jika kelak meninggalkan generasi penerus yang belum siap mengemban amanah melanjutkan memimpin umat.

Memberi kesempatan bukan dimaksud menyerahkan seluruhnya. Ada alokasi waktu yang diberikan untuk generasi muda maju, dan semua dikandung tujuan mulia untuk suksesi memimpin jamaah (umat). Sedikit waktu yang diberikan untuk sekadar melatih mengembangkan ilmu tidak akan  mengurangi hakikat istikamahnya ibadah. Kolaborasi generasi sepuh dan generasi muda akan menjaga kesinambungan suksesi kepemimpinan yang bagus.

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...