Minggu, 20 Desember 2020

BUDAYA “JAGONGAN”



Dalam sebuah tayangan sinema elektronika (sinetron) di sebuah stasiun tv nasional, disajikan sebuah cerita keluarga. Salah satu bagian adegan ceritanya, terdapat sebuah gambaran yang menarik. Berlatar rumah bambu dengan penerangan lampu minyak. Di depan rumah ada sebuah dipan (tempat duduk) yang beralas tikar. Tampak empat orang duduk berbincang-bincang. Mereka adalah tetangga dekat rumah yang datang sekadar untuk berkunjung, berbicara ala kadarnya ditemani secangkir kopi dan suasana malam yang sepi.

Adegan dalam sinetron tadi menjadikan saya mengingat masa kecil dulu. Masih segar dalam ingatan, ketika kecil saya sering melihat orang tua mendapat kunjungan dari tetangga dekat rumah atau kerabat. Mereka datang tidak memiliki tujuan, hanya sekadar mengajak bicara, istilahnya kami dulu menyebut “jagongan”. Mungkin sekitar satu jam jagongan, selanjutnya mereka akan melanjutkan pekerjaannya. Ada kerinduan dengan semua itu. Mereka terasa akrab dan penuh nilai kekeluargaan.

Kini jagongan seakan sulit kita temui lagi di masyarakat. Orang telah sibuk dengan berbagai urusan. Masyarakat semakin menampakkan sikap individual, tidak peduli dengan urusan orang lain. Tidak ada waktu lagi untuk berinteraksi dengan tetangga, kerabat atau bahkan dengan keluarga serumah sudah semakin sedikit kesempatan untuk bertemu. Interaksi sosial secara langsung sudah cenderung diganti menjadi interaksi via media sosial. Padahal ada banyak peristiwa yang tidak bisa dikomunikasikan melalui media sosial, dan harus bertemu, bertatap muka langsung dan berkomunikasi secara lisan.

Jagongan adalah kearifan budaya masyarakat desa. Ini adalah media sosialisasi yang efektif dan memiliki banyak sisi positif. Jagongan merakit erat hubungan seseorang dengan orang-orang yang berada dalam lingkungannya. Jagongan adalah bagian dari kepedulian sosial. Dari sisi ajaran agama, jagongan adalah bentuk konkrit menjalin silaturrahim yang tanpa basa-basi.

Bertemu teman, kerabat, mitra kerja atau komunitas profesi kini lebih memilih di café atau rumah makan. Ini dipilih dengan alasan tempatnya nyaman, sambil menikmati makanan dan minuman dalam suasana yang santai. Tidak ada salahnya juga. Namun budaya ini tidak lebih baik dari tradisi jagongan masyarakat desa dulu. Budaya jagongan bila dipandang dari sudut ekonomi tentu lebih murah. Dari segi sosial, jagongan di rumah lebih mendekatkan dan menjadikan semakin erat sebuah hubungan, baik dengan teman, kerabat maupun dengan tetangga.

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...