Saat
ini kita dihadapkan pada suatu masa, ketika harta, kedudukan, serta pujian
manusia menjadi ukuran kemuliaan dan ketinggian seseorang di hadapan yang lain.
Pola pandang keduniawian yang hanya melihat materi sebagai ukuran. Bahwa orang
hebat adalah yang terkenal dan namanya sering disebut di mana-mana, orang
sukses adalah orang yang punya kedudukan serta jabatan tinggi. Orang besar
adalah mereka yang selalu bekecukupan harta dan hidup tanpa kesusahan, serta banyak
indikator-indikator ‘palsu’ dimunculkan untuk merusak pemahaman manusia tentang
makna kesuksesan dan kemuliaan. Supaya manusia tertipu dan lupa pada hakikat
ketinggian dan kemuliaan yang sebenarnya, yakni ketaqwaan dan ketaatan kepada
Allah.
“Sesungguhnya yang paling mulia
diantara kamu adalah yang paling bertaqwa (kepada Allah). Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui Mahateliti”. (QS al-Hujurat: 13)
Pola
pandang keduniawian salah satunya adalah dampak dari kemajuan di bidang
tehnologi. Kemajuan tehnologi di bidang komunikasi telah banyak memberi manfaat
bagi umat manusia, namun di sisi lain banyak pula memberi mudharat bagi kita.
Kita sadari atau tidak ada pergeseran nilai dalam masyarakat yang cenderung
menjadi hedonis, sifat yang mengagungkan dan mengutamakan kenikmatan dunia.
Kemajuan
tehnologi menjadikan kita tidak tersekat lagi dengan jarak yang jauh, dan
dengan media sosial kita mampu berinteraksi dengan cepat dengan kolega kita di manapun
berada.
Namun,
banyak masyarakat kurang bijak dalam menggunakan media sosial untuk
berkomunikasi, menyebarkan berita bohong, memfitnah orang atau golongan
tertentu bahkan menebar kebencian dan permusuhan.
Ada
hal yang mungkin kita sering lakukan, media sosial kita gunakan untuk publikasi
kegiatan sehari-hari kita, aktifitas kerja, aktifitas keluarga bahkan ibadah
kita. Meskipun hal itu tidaklah terlarang, namun ada bahaya yang sedang
mengancam kita, yakni kita cenderung terjangkit penyakit riya’.
Akibatnya,
banyak orang yang akhirnya beramal hanya demi mencari pujian dan kerelaan
manusia, tanpa peduli lagi pada pahala dan balasan dari Allah. Asal pekerjaan
itu disenangi dan dikagumi serta mulia di mata manusia. Akhirnya, muncullah
golongan manusia yang beramal supaya dilihat dan dipuji oleh orang lain, atau beramal
karena riya’. Mereka berebut agar bisa menjadi objek pujian dan
perhatian manusia dalam setiap amal yang mereka kerjakan. Karena mereka
menganggapnya sebagai upaya ‘mengejar kesuksesan’.
Tanpa
disadari, sebenarnya mereka sedang mengejar kesia-siaan. Mereka lupa, bahwa
hidup bukan hanya sekedar untuk mencari pujian dan kebanggaan palsu. Dan lupa,
bahwa esensi dari penciptaan mereka di dunia ini adalah untuk beribadah ikhlas
hanya kepada-Nya. Semua perbuatan kita, baik atau buruk, besar atau kecil pasti
akan mendapatkan balasan yang setimpal. Bagi mereka yang beramal karena Allah,
Allah sendirilah yang telah menjamin pahala dan balasannya.
Rasulullah
ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang mencari
keridhaan Allah meskipun ia memperoleh kebencian dari manusia, maka Allah akan
mencukupkan dia dari ketergantungan kepada manusia. Dan barangsiapa yang
mencari keridhaan manusia dengan mendatangkan kemurkaan Allah, maka Allah akan
menyerahkanya kepada manusia.” (HR Tirmidzi).
Yang
menyedihkan, penyakit haus pujian atau riya’ ini ternyata tidak hanya
menyerang kalangan awam saja. Bahkan banyak pengidapnya justru orang-orang yang
faham akan bahaya riya’ itu sendiri. Mereka yang ahli ibadah, para da’i
dan mubaligh, thalibul ilmi, justru lebih berpotensi besar terjangkiti
virus ini. Kuantitas amal shalih yang mereka kerjakan, ternyata membuat setan
tergiur untuk mengggelincirkan kelompok ini, agar keikhlasan mereka pudar, dan
ganti beramal untuk manusia, pujian, serta kedudukan
Sebagian
Ulama’ menjelaskan ta’rif (pengertia) dari riya’, “Riya’ adalah ibadahnya
seseorang kepada Allah, akan tetapi ia melakukan dan membaguskannya supaya di
lihat dan dipuji oleh orang lain, seperti dikatakan sebagai ahli ibadah, orang
yang khusyu’ shalatnya, yang banyak berinfaq dan sebagainya.” Intinya dia
ingin agar apa yang dikerjakan mendapat pujian dan keridhoan manusia.
Rasulullah menyebut riya’ dengan “syirik kecil”, karena sejatinya
pelaku riya’ tidak mutlak menjadikan amalan tersebut sebagai bentuk
ibadah kepada manusia, serta sarana taqarrub kepadanya. Meskipun begitu,
bahayanya tak bisa dianggap sebelah mata.
Jama’ah
shalat jum’at yang dirahmati Allah SWT
Jauh-jauh
hari Rasulullah sudah memperingatkan kita tentang betapa bahayanya “syirik
kecil” ini. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya yang paling aku
khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya: Apa itu syirik
kecil wahai Rasulullah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
“Riya’, Allah ‘azza wajalla berfirman kepada mereka pada hari kiamat saat semua
manusia diberi balasan atas amal-amal mereka: Temuilah orang-orang yang dulu
kau perlihatkan amalmu kepada mereka di dunia, lalu lihatlah apakah kalian
menemukan balasan disisi mereka?” (HR Ahmad)
Imam
an-Nawawi dalam kitab Riyadush Shalihin, dalam bab Tahriimur Riya’ (pengharaman
riya’) menyebutkan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh sahabat Abu
Hurairah. Dalam hadist tersebut Rasulullah bersabda tentang tiga orang yang
pertama kali di hisab pada hari kiamat. Mereka adalah orang yang mati syahid
dalam pertempuran, seseorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, serta
orang yang selalu berinfaq di jalan Allah. Setelah mereka dipanggil, maka
ditunjukkan kepada mereka kenikmatan dan pahala yang banyak karena amal shalih
yang telah mereka kerjakan. Namun ternyata pahala mereka musnah, dan ketiganya
justru menjadi penghuni neraka, karena ternyata amal kebaikan yang mereka
kerjakan di dunia hanya bertujuan mendapatkan pengakuan dan pujian dari
manusia. Mereka menjual pahala dan kenikmatan akhirat demi manisnya ucapan dan
indahnya pandangan orang lain. Na’udzu billahi min dzalik.
Bagaimana
cara kita menjauhi virus yang satu ini? Solusinya adalah dengan berusaha untuk
ikhlas di setiap amal yang kita kerjakan, dan selalu berupaya protektif
menjaganya. Karena setan tak akan pernah menyerah untuk memberikan
bisikan-bisikannya demi menggoyahkan dan merusak keikhlasan seseorang. Agar
manusia menjadi budak sesamanya, beramal untuk kepuasan semu, serta
mencampuradukkan tujuan hakiki amal shalih dengan tujuan bathil.