Minggu, 04 Oktober 2020

NRIMO ING PANDUM


Kami biasa memanggilnya “Pak Kemat”. Usianya mungkin sudah lebih dari enam puluh tahun. Entahlah siapa nama sebenarnya, orang-orang di lingkungan saya juga tidak ada yang tahu siapa nama asli dia. Yang pasti dia bukan warga di lingkungan kami namun hampir setiap hari ada di lingkungan sekitar kami. Dia adalah warga dari kampung sebelah. Menurut cerita orang, dia hanya tinggal dengan ibunya yang sudah tua.

Pak Kemat sudah sangat dikenal di lingkungan kami. Setiap hari dia membersihkan sampah di rumah-rmah dan membuangnya di tempat pembuangan sampah. Dia tidak pernah meminta upah. Namun bagi warga lingkungan kami sudah memaklumi, sudah pasti akan memberi upah sekadarnya atau memberinya nasi bungkus. Selalu setelah diberi sesuatu, dari mulutnya akan terdengar suaranya yang khas mengucap “Maturnuwun..”. Selain membantu membuang sampah dia juga mengumpulkan segala sampah yang bisa dijual seperti: botol plastik, karton, kertas atau kaleng minuman ringan. Setiap hari barang-barang rongsokan tadi dibawa ke pengepul untuk dijual. Hasilnya, lagi-lagi menurut cerita orang akan diberikan seluruhnya ke ibunya.

Tidak ada salahnya bila kita mengambil pelajaran kehidupan dari siapapun. Kebaikan dan kebenaran kadang datangnya dari orang yang dianggap rendah oleh sebagian masyarakat. Sosok Pak Kemat mungkin bukan orang yang dianggap memiliki kesempurnaan akal budi lazimnya orang. Dari kecil dia tidak terlahir sama dengan umumnya orang. Namun ada sisi sifat yang sebenarnya amat luhur. Dia tidak pernah meminta-minta. Dia tidak pernah mengambil milik orang. Dan dia menerima berapapun pemberian upah dari orang, tidak pernah pula meminta tambahan. Dalam falsafah Jawa mungkin itu contoh “Nrimo ing Pandum”.

Nrimo artinya menerima, sedangkan Pandum artinya pemberian. Jadi Nrimo ing Pandum memiliki arti menerima segala pemberian apa adanya tanpa menuntut yang lebih dari itu. Konsep ini menjadi salah satu falsafah Orang Jawa yang populer yang sampai saat ini masih dianut oleh masyarakat. Bukankah hidup ini pada dasarnya adalah tentang urusan memberi dan menerima? Menerima apa yang telah diberikan kepada kita dengan lapang hati tanpa menuntut dan memberikan apa yang bisa kita berikan semaksimal mungkin tanpa pamrih. Inilah esensi dari falsafah Nrimo ing Pandum.

Kemarin, Sabtu 3 Oktober. Sosok yang Nrimo Ing Pandum itu (Pak Kemat), telah meninggal dunia. Dia bukan saudara, bukan teman atau tetangga, namun bisa dkatakan dekat dengan keseharian kami. Bukan siapa-siapa namun sebenarnya telah mengajarkan sebuah ketulusan dan kejujuran. 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...