Senin, 26 April 2021

SALAH MENGHITUNG



Untuk mengetahui informasi yang diperlukan, bagi kita yang hidup di masa modern atau masa era dunia digital tentu sangat mudah. Begitu pula segala sarana yang dibutuhkan manusia kini semua serba tersedia. Tentu beda dengan kakek nenek kita yang hidupnya masih di zaman kuno. Belum ada internet, televisi, radio, kalender bahkan jam (arloji) untuk menunjukkan waktu pun belum ada. Saya masih ingat dahulu di depan masjid kami ada alat semacam tugu kecil yang digunakan untuk menunjukkan waktu shalat. Alat sederhana tersebut memanfaatkan sinar matahari, kami dulu menyebutnya “Bencet”.

Zaman kuno dulu tentu semua yang disebutkan tadi masih menjadi barang mewah yang tidak mungkin dimiliki oleh orang biasa yang tinggal di kampung. Orang-orang biasa hidup “steril” dari benda-benda yang sebenarnya sangat penting. Sehingga informasi masih terbatas dan tidak bisa tersebar meluas dengan cepat.

Teringat dongeng kakek kami. Pada bulan Ramadhan di surau kampung setiap sore pasti banyak anak-anak kecil yang mengaji. Kegiatan mengaji akan berakhir menjelang masuk waktu Maghrib. Biasanya anak-anak setelah mengaji akan bertanya pada Kiai Kampung empunya musholla tentang masalah apa saja. Sore itu anak-anak bertanya, “Mbah posone mpun asal pinten dinten?” (Kek, puasanya sudah dapat berapa hari?”)…. Pertanyaan yang sebenarnya sederhana, tapi Pak Kiai sering kesulitan menjawab. Maklum, belum ada kalender yang bisa digunakan  untuk rujukan menjawab.

Karena sering ditanya tentang jumlah puasa, akhirnya Pak Kiai menyiasati dengan menggunakan alat hitung khusus. Pada Ramadhan kali ini dia percaya diri akan mudah menjawab pertanyaan dari santri-santrinya. Beliau menyiapkan kendi yang diberi lubang kecil, kemudian setiap selesai berbuka puasa ia memasukkan satu butir batu kecil. Tujuannya, sewaktu-waktu ada yang bertanya tinggal dibuka kendinya dan dihitung berapa jumlah kerikil yang ada di dalamnya, masalah selesai.

Benar juga, beberapa hari kemudian anak-anak yang bertanya tentang jumlah hari puasa yang sudah mereka kerjakan. Dengan tenang Pak Kiai menjawab, tunggu sebentar akan saya hitung. Sesaat kemudian beliau masuk kamar dan mengeluarkan kerikil yang ada dalam kendi, kemudian menghitung satu-persatu… “Astaghfirullah…….” Pak Kiai terlihat kaget. Wajahnya terlihat bingung, kemudian menghitung ulang kerikilnya beberapa kali.

Sementara anak-anak masih sabar menunggu di teras musholla. Pak Kia datang masih dengan wajah kebingungan. Dengan suara pelan beliau berkata: “Posone iki wis oleh 78 dino le..” (Puasanya sudah dapat tujuh puluh delapan hari nak…). Serempak anak-anak mengaji di musholla tertawa terbahak-bahak….. “Waduhhh…pripun to Pak Kiai..”

Usut punya usut, rupanya tanpa sepengetahuan Pak Kiai, cucunya yang masih kecil selalu memperhatikan aktivitas “menabung kerikil” yang dilakukan setiap habis berbuka. Dan, tanpa disuruh cucunya ikut memasukkan beberapa genggam kerikil ke kendi kakeknya. Walah…..

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...