Senin, 31 Januari 2022

Parameter Bahagia



Tidak sedikit orang mengeluh merasa hidupnya banyak masalah. Seakan semua yang dia hadapi menjadi masalah. Tidak punya rumah yang besar menjadi masalah. Padahal rumah terakhir kita di dunia ini hanyalah sebidang tanah berukuran 1 x 2 meter saja. Tidak memiliki banyak uang masalah lagi. Meski sebenarnya uang tidak bisa menyelesaikan semua permasalahan yang ada.

Sering kita mengukur bahagia dengan materi. Dan kita sering membuat parameter bahagia terlalu tinggi sehingga sulit untuk digapai. Bila harus menunggu banyak hal yang harus dimiliki terlebih dahulu  sekadar untuk bahagia, jangan-jangan kita selamanya sulit hidup bahagia.

Sementara ada juga orang yang membuat ukuran bahagia itu sederhana. Mereka menjalani hidup penuh rasa syukur. Tak perlu harus menunggu punya rumah bagus untuk bahagia, karena tempat tinggal yang ada sudah cukup baginya. Tak mesti menunggu banyak harta agar bisa bahagia, karena kebahagiaan sering tidak bisa dinilai dengan banyaknya materi.

Ternyata bahagia itu urusan rasa, bukan terletak pada apa dan berapa banyak yang telah dimiliki. Kalau bahagia ditentukan dari banyaknya materi, sudah pasti Bill Gates, Jeff Bezos atau Elon Musk menjadi orang paling bahagia di dunia ini. Apa yang belum mereka punyai?. Rumah sebesar kastil, jet pribadi, bahkan memiliki pulau pribadi.

Cara pandang manusia sering menentukan kebahagiannya. Materi memang mutlak diperlukan dalam kehidupn ini, tapi ia hanya sebatas kebutuhan bukan keinginan. Karena bila harus memenuhi keinginan selamanya tidak akan berakhir. Dan ketika hidup dipenuhi dengan keinginan- keinginan yang tidak tercapai, pertanda dia akan menderita hidupnya.

 

 

 

Minggu, 30 Januari 2022

Merakit Kata, Sebuah Proses Ketekunan



Menulis nyatanya tidak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa. Apabila aktivitas menulis dikerjakan dengan cara seperti itu sudah pasti hasilnya kurang memuaskan. Penulis, atau atau bahkan pembaca akan menemukan banyak bagian yang kurang sempurna. Bisa jadi alur tulisan yang kurang “mengalir”, pemilihan diksi yang tidak tepat sampai dengan ketidakteraturan susunan tulisan.

Saya menggambarkan menulis itu bak membuat sebuah karya seni yang harus dilakukan dengan telaten. Seperti  sepasang burung yang membuat sarang di pohon asam jawa depan rumah. Mereka menganyam sehelai daun kering satu demi satu. Rumput garing dan ranting kecil juga disusun menjadi pola yang indah. Berhari-hari dengan telaten mereka membangun rumah impian yang mungil.

Sepasang “sejoli” itu tidak peduli dengan orang-orang yang berlalu-lalang di bawahnya. Dia tidak terganggu dengan deru kendaraan yang hilir-mudik sepanjang waktu. Meski sehari dapat beberapa anyaman saja, tapi, karena dilakukan terus-menerus, sarang yang diimpikan tinggal menunggu waktu untuk siap digunakan.

Seperti itulah seni menulis. Kata demi kata dirakit menjadi kumpulan kalimat yang bernakna. Menulis membutuhkan kesabaran dan kejernihan pikiran. Sering kali kita kesulitan menumpahkan ide di saat suasana riuhrendah. Karena menulis juga membutuhkan ketenangan. Dan yang lebih penting, menulis adalah sebuah proses ketekunan (ketelatenan).

Sopo telaten bakal panen, siapa yang tekun akan memperoleh hasil yang diinginkan. Tak penting berapa kalimat yang dapat kita tulis hari ini, asalkan kita melakukannya terus-menerus pasti akan lahir karya yang diharapkan. Selamat menulis dengan tekun…

 

Sabtu, 29 Januari 2022

“Orang Sukses” di Mata Bob Sadino



“Secepatnya beraksi tanpa perlu sertifikasi, orang pintar belajar keras untuk mendapatkan ijazah dan secepat mungkin melamar pekerjaan. Orang bodoh berjuang keras secepatnya mendapatkan uang, agar bisa membayar pelamar kerja.” Begitu pesan mendiang pengusaha nyentrik Bob Sadino. Sebuah nasihat yang mungkin sedikit beda dengan kebanyakan orang. Tentu idealnya orang memulai sukses dari jenjang pendidikan kemudian ke bidang pekerjaan berikutnya.

Bagi Bob Sadino kepandaian bukan garansi untuk mencapai puncak kesuksesan. Dan dia membuktikan, bahwa banyak perusahaan besar yang dimiliki oleh pengusaha sukses yang sebenarnya latar pendidikannya tidak terlalu tinggi. Bahkan kita tahu para miliarder top dunia kebanyakan “gagal” di pendidikan formalnya. Kita tidak mengatakan mereka bodoh, tapi mereka memiliki potensi yang justru tidak berkembang kalau hanya belajar di sekolah.

Gagasan orang-orang besar yang sukses jauh melampaui program pendidikan yang diterapkan di lembaga-lembaga formal. Secara pelajaran mereka seperti tertinggal dari teman-teman di sekolah. Faktanya, mereka memiliki ketertarikan yang berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru mereka.

Orang bodoh seperti apa yang disebut Bob Sadino, bukanlah orang bodoh seperti apa yang dalam bayangan banyak orang. Lebih tepatnya adalah mereka yang berpikirnya praktis tidak terlalu rumit. Mereka tipe orang yang sekali berpikir tapi bekerja seribu kali. Berbeda dengan orang yang pandai memikirkan segala hal, tapi sedikit melakukan tindakan.

Orang yang banyak kerja secara peluang akan lebih sukses daripada mereka yang terlalu banyak membuat rencana. Orang yang banyak berpikir sering tidak berbuat apa-apa. Dia terlalu takut dengan apa yang dia pikirkan. Sedangkan “Orang Bodoh” tidak banyak membuat perencanaan tapi banyak melakukan tindakan yang nyata.

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...