Sabtu, 18 September 2021

SELAYANG PANDANG MADRASAHKU



Menjadi guru sebenarnya bukanlah “mimpi” masa kecil. Sejak kecil saya memang tidak memiliki cita-cita yang pasti. Begitulah tabiat anak kecil pada umumnya. Ketika melihat seorang pedagang yang sukses, kaya raya, tiba-tiba dalam hati ingin menjadi pedagang. Di saat yang lain, ketika melihat petani yang memiliki sawah yang luas dan hewan ternak yang banyak, seketika dalam pikiran terbersit keinginan menjadi petani. Dan pada akhirnya, garis hidup yang harus dijalani “memaksa” harus menjadi guru.

Semua tentu sudah sependapat, guru adalah profesi yang mulia. Terlepas apa statusnya, pegawai negeri, honorer, guru bantu maupun guru yayasan, atau guru apalah namanya. Seluruhnya tetap posisi yang penting dalam dunia pendidikan. Semua status tadi adalah atribut dunia semata yang kelak di akhirat hakikatnya tidak akan memiliki perbedaan. Meski pada awalnya, menjadi guru di kampung yang kecil yang jauh dari keramaian bukanlah posisi yang menyenangkan. Perjalanan waktu yang akhirnya menumbuhkan kesadaran saya, bahwa semua harus dijalani dengan sepenuh hati dan ikhlas.

Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda tempat saya mengajar selama ini, lokasinya berada di sebuah desa kecil. Desa Pakisaji Kecamatan Kalidawir, Tulungagung bagian Selatan. Desa yang menyimpan banyak kenangan masa kecil saya. Kampung halaman yang yang sangat saya rindukan ketika dulu masih jauh dalam perantauan. Meski sekarang desa kami banyak yang telah berubah, namun kenangan indah tentang desaku tidak akan pernah hilang.

Madrasah kami telah melalui sejarah panjangnya. Hanya sedikit jejak kisahnya yang kami ketahui, dan itupun hanya sebatas kisah dari para sesepuh dan guru kami. Bermula untuk memenuhi kebutuhan pendidikan agama masyarakat Nahdlatul Ulama Desa Pakisaji dan sekitarnya, pada tahun 1941 sepulang dari nyantri di Pondok Pesantren Sidosermo Surabaya Haji Mundzir beserta tokoh Jigang yang lain mendirikan sebuah Madrasah Diniyah.

Pada awalnya Madrasah Diniyah berlokasi di rumah Mbah Haji Mukasim di Dusun Jigang bagian utara. Mbah Mukasim adalah ayahanda Haji Mundzir, dan beliau adalah tokoh yang membawa organisasi NU pertama kali masuk ke Kecamatan Kalidawir. Pada tahun 1958 madrasah sempat dipindahkan di rumah Haji Solihin (sekarang masjid Darussolihin). Namun tidak lama kemudian pada tahun 1959 madrasah dipindah lagi di dekat rumah Haji Mundzir (lokasi sekarang). Pada waktu itu madrasah sudah memiliki banyak murid meskipun ruang kelasnya hanya terbuat dari anyaman bambu (gedek). Madrasah Diniyah inilah yang kemudian pada perkembangannya berubah menjadi Madrasah formal sampai sekarang ini.

Menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda sebenarnya seperti kembali lagi ke tempat bermain masa kecil. Karena halaman dan setiap sudut gedung dan ruang kelasnya adalah “taman bermain” saya dan teman-teman waktu kecil tempo dulu. Dan setiap waktu akan selalu muncul bayangan masa lalu yang memang tak akan mungkin bisa dihapus.

Mengenang kembali memori indah masa kecil dahulu. Di dekat madrasah kami terhampar sawah yang luas. Ketika musim kemarau sawah tadi akan menjadi “lapangan” bermain kami. Bermain sepak bola, layang-layang sampai angon “Wedhus Gibas”. Memang hanya itu pilihan tempat bermain yang ada. Desa kami tidak memiliki tanah lapang seperti desa-desa yang lain. Sawah benar-benar menjadi medan segala aktivitas bermain yang sangat menyenangkan.

Di pinggir sawah berjajar pohon-pohon kelapa. Dulu memang amat mudah menemukan pohon kelapa di desa kami. Bukan cuma di “tegalan” (kebun) saja, di pekarangan rumah juga banyak pohon kelapa ditanam. Namun sekarang, sudah sangat jarang kita melihat pohon kelapa, bisa dikatakan hampir punah karena serangan hama kumbang kelapa (Kwawung) yang tidak bisa dibasmi. Di pohon-pohon kelapa di pinggir sawah itulah banyak bersarang burung manyar. Sarangnya yang berbentuk unik bergelantungan di ujung daun kelapa. Sering dulu bersama-sama teman mengambil anak burung manyar dari sarangnya untuk dipelihara.

Sore hari menjadi waktu yang menyenangkan. Selepas Ashar datanglah kawanan burung jalak di pohon-pohon kelapa tadi. Kicauan burung yang merdu sahut-menyahut menjadi hiburan yang menentramkan. Itu adalah suasana indah yang sudah tinggal cerita. Kisah burung manyar yang bersarang di ujung-ujung daun kelapa dan kawanan burung jalak yang datang setiap senja sudah lama tidak kami jumpai lagi. Semua telah punah karena tangan-tangan jahat manusia yang tidak bertanggungjawab.

Ketika malam menjelang, kampungku menjadi sunyi. Rumah-rumah kami hanya menggunakan lampu minyak sebagai penerangnya. Dan suasana akan tambah sepi bila musim hujan. Hanya suara kodok yang begitu riangnya di kubangan air dan sawah menjadi simponi indah pengantar tidur.

*****

Kisah menjadi guru madrasah dimulai pada tahun 2003 akhir. Pada waktu itu Ketua Yayasan (Bapak Haji Kusnan) datang ke rumah meminta saya masuk membantu mengajar. Padahal, latar belakang pendidikan formal saya bukan jurusan pendidikan (guru). Tentu pada waktu itu ijazah tidak menjadi masalah, namanya juga guru bantu, apalagi di lembaga pendidikan swasta di bawah yayasan. Prinsipnya yang penting mau mengajar, urusan linier tidaknya ijazah itu bukan hal penting.

Sejak awal, kepala sekolah kami dulu selalu menyampaikan, menjadi guru harus dengan niat berjuang dan semata-mata sarana mengamalkan ilmu. Karena kalau memiliki niat mencari  uang pasti akan kecewa. Pada waktu itu sepenuhnya anggaran pendidikan menjadi tanggunng jawab yayasan sebagai penyelenggara pendidikan. Belum ada Bantuan Operasional Sekolah (BOS) seperti saat ini. Tentu sekolah hanya bergantung dari SPP siswa yang nominalnya tidak seberapa besar.

Praktis keuangan sekolah yang kecil itulah yang harus dibagi untuk seluruh kebutuhan sekolah termasuk memberi honor guru swasta. Masih ingat apa yang diucapkan Bapak Mastur (Kepala Sekolah) pada saat memberi honor, “iki mung nggo tuku sabun dudu gaji.. (ini cuma untuk beli sabun bukan gaji).

Sebenarnya menjadi pendidik (guru), bagi saya bukan hal yang baru. Sejak di bangku madrasah aliyah kelas dua saya sudah mengajar mengaji anak-anak di TPQ. Hal yang sama ketika masih kuliah, saya juga aktif mengajar di TPQ. Pengalaman itulah yang membuat saya tidak kaget ketika masuk ke Madrasah Ibtidaiyah. Sudah terbiasa dengan "iklim perjuangan" pada masa itu.

Mungkin sekitar satu atau dua tahun mengajar, perubahan besar terjadi pada sistem pendidikan kita. Seluruh lembaga pendidikan formal mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Sebuah titik perubahan yang menjadikan sistem pendidikan kita mengalami progres yang menggembirakan.

 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...