Sabtu, 12 September 2020

MENANAMKAN AKHLAQ MULIA SEJAK DINI


”Bertaqwalah engkau kepada Allah dimanapun berada, dan ikutilah keburukan (kemaksiatan) dengan amalan kebaikan maka niscaya kebaikan itu akan menghapus (gelapnya) dosa keburukan, serta berinteraksilah dengan manusia dengan akhlak yang mulia”. (HR Ahmad, Tirmidzi dan yang lainnya)

Dari matan Hadits Nabi di atas, setelah dipelajari ada beberapa makna yang bisa kita simpulkan, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberikan penekanan pentingya akhlaq mulia serta menjelaskan keutamaannya. Hadits di atas juga menegaskan bahwa agama Islam terdiri dari Hablum Minanallahi dan Hablum Minannas.

Sebagai pendidik, menanamkan akhlaq (perilaku) yang mulia kepada murid sejak dini. merupakan sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Pendidikan bukan hanya sekadar menjadikan anak pintar namun juga membentuk anak yang benar. Pendidikan bukan cuma melatih anak berpikir (logika) namun melatih anak untuk empati terhadap orang lain. Kepandaian tanpa dilandasi karakter akhlaq mulia justru akan menimbulkan kerusakan dalam masyarakat. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang pandai yang jahat lebih berbahaya daripada orang bodoh yang jahat. Karena akibat atau dampak kejahatan orang pandai akan berdampak yang lebih luas.

Masih ada dari kalangan kaum muslimin yang berpandangan bahwa ketaqwaan seseorang hanya diukur dari banyaknya ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kadang melalaikan sisi sosial dengan masyarakat, olehnya betapa banyak kita mendapatkan seseorang yang bagus ibadahnya, dan nampak keshalihan di wajahnya, namun akhlaqnya tidak terpuji kepada sesama. Misalnya, tidak jarang lisannya yang tajam melukai hati orang lain. Kaya raya namun harta yang dimilikinya hanya disimpan dan enggan menderma kepada saudara yang membutuhkan. Maka hadits ini memupus anggapan tersebut, dan menegaskan bahwa keimanan ketakwaan akan semakin sempurna dengan liniernya antara banyaknya ibadah kepada Allah dengan indah akhlaq seorang muslim terhadap sesama.

Bukankah Rasulullah bersabda, ”Orang yang paling sempurna imannya, adalah yang paling mulia Akhlaqnya”. Hadits ini menunjukkan kedudukan yang tinggi bagi akhlak yang mulia, yang mana banyaknya ibadah seseorang dan indahnya akhlaknya bagaikan dua sisi mata uang. Dan dalam hadits yang lain disebutkan, Rasulullah diutus ke umatnya membawa misi menyempurnakan akhlaq mulia. Dan masih ada beberapa hadits yang begitu menekankan pentingnya berakhlaq mulia, sebagaimana pentingnya mengerjakan ibadah-ibadah maghdhoh, seperti sholat, zakat puasa maupun haji. Bahkan seseorang yang memiliki adab, perilaku yang baik, berakhlaq mulia bisa lebih tinggi derajatnya dari orang yang rajin beribadah namun tidak memiliki akhlaq yang mulia dengan sesamanya.

Imam Abu Hanifah lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Karena dari situ beliau banyak mempelajari adab, akhlaq mulia orang-orang shalih. Imam Abu Hanifah berkata, “Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” Dari uraian yang telah kita paparkan diatas, maka bisa disimpulkan bahwa berakhlak mulia merupakan amalan yang wajib hukumnya, bahkan ia merupakan bagian kesempurnaan iman seseorang.

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...