Kamis, 24 September 2020

MENUNGGU


Menunggu adalah pekerjaan yang menjemukan. Contoh, yang paling terasa ketika menunggu waktu buka puasa di saat hanya kurang beberapa menit. Menunggu bedug Maghrib pada waktu semua macam hidangan telah tersaji di meja makan, lima menit saja akan terasa begitu lama.

Beberapa waktu yang lalu saya punya pengalaman menunggu. Karena sebuah keperluan "terpaksa" harus antri menunggu di sebuah kantor pelayanan (nama kantor tidak perlu disebutkan). Sebenarnya saya sudah antisipasi datang lebih awal, berharap urusan segera bisa terselesaikan. Maksudnya biar tidak antri lama, pasti membosankan. Rupanya pelayanan hari itu “terkesan” lambat (perasaan saya saja), sehingga sampai beberapa jam belum juga rampung. Kejenuhan menunggu sebenarnya sedikit terhibur dengan membaca koran yang ada di ruang tunggu. Sementara beberapa yang lain saya amati sedang asyik dengan smartphone masing-masing. Entahlah, mungkin sedang update status atau sedang browsing berselancar di dunia maya. Tampak tidak begitu peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Memang itulah suasana yang umum sekarang ini bila sedang antri menunggu. Kita melihat sudah jarang yang mau berkomunikasi, atau sekadar basa-basi dengan orang di sekitarnya. Dekat namun terasa jauh.

Setelah beberapa jam menunggu, ketika menjelang azan zuhur petugas datang menyampaikan. "Maaf pak, hari ini belum bisa selesai, silakan besok datang lagi". Dalam hati saya menggerutu, mengapa tidak dari tadi memberitahunya, kenapa ketika sudah beberapa jam menunggu baru diberitahu. Hanya dalam hati saja gondoknya, segan juga sama petugas tadi. Tapi sudahlah, banyak alasan untuk menghibur diri. Mungkin saja karyawan tadi sudah mengerjakan tugas dengan sebaik-baiknya. Sudah berusaha semampunya namun memang belum bisa menyelesaikan pekerjaannya hari ini. Toh, lebih tepat berprasangka baik dari pada berpikir buruk.

Tidak berapa lama meninggalkan kantor tempat saya antri tadi, azan Zuhur berkumandang. Saya berhenti di sebuah masjid untuk melaksanakan salat Zuhur berjemaah. Karena datang ketika sudah hampir iqomat, saya kebagian shaff paling belakang. Selepas salat berjemaah, tampak orang yang salat persis di depan saya melihat, seperti sedang mengingat sesuatu… Ya Allah, rupanya dia teman lama yang sudah tidak bertemu sepuluh tahun lebih. Dulu kami akrab, namun karena kehilangan kontak tidak pernah berkomunikasi lagi. Pertemuan yang tidak direncanakan namun sangat membahagiakan.

Begitulah perjalanan hidup. Orang sering berkata, kita yang merencanakan, tapi Tuhan yang menentukan. Banyak hal yang kita rencanakan namun ternyata tidak pasti semua bisa kita laksanakan. Sebaliknya banyak peristiwa terjadi tidak terduga dan tidak terencana sebelumnya. Hari itu seandainya saya tidak menunggu lama, antri untuk sebuah urusan, sepertinya saya tidak akan bertemu dengan teman lama. Sebenarnya semua sudah dalam kehendak-Nya, tidak ada yang terjadi kebetulan.

 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...