Rabu, 12 Mei 2021

“MENIKMATI” LEBARAN SEPI



 

Sudah dua tahun kita menjalani hari raya Idulfitri (Lebaran) yang “sepi”. Terasa ada yang aneh dalam perasaan. Karena selama ini kita terbiasa menjalani lebaran dengan suasana yang “meriah”. Hari raya sudah identik dengan suasana yang ramai. Ramai saling berkunjung ke sanak famili, guru, teman sejawat maupun tetangga-tetangga kita. Dan semua itu tidak bisa kita laksanakan, demi mendukung himbauan pemerintah demi terciptanya keamanan dan kenyamanan bersama.

Sebenarnya budaya saling berkunjung saat momen lebaran katanya hanya ada di negeri kita. Konon ceritanya di negeri yang mayoritas Islam lainnya tidak memiliki budaya yang sama dengan kita. Misalnya saja Arab Saudi, mereka tidak biasa merayakan Idulfitri. Selepas shalat Ied, semua berjalan seperti biasa. Tidak ada tradisi sungkeman, saling silaturrahim, apalagi ketupat sayur, sudah pasti tidak akan pernah ada. Justru perayaan terjadi pada saat pergantian tahun baru Hijriyah.

“Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Lain negara tentu juga akan lain pula tradisi yang dianutnya. Tentu tradisi sungkeman dan saling berkunjung pada saat lebaran sangat bagus dan sesuai dengan ajaran agama kita. Namun bukan berarti semua itu hanya berlaku pada saat lebaran. Silaturrahim tidak ada larangan bila dilakukan di waktu yang lain. Sama halnya meminta maaf tentunya tidak harus menunggu lebaran tiba.

Pandemi menambah pengalaman kita. Bagaimana rasanya “menikmati” lebaran sepi tanpa meriahnya tradisi yang sudah kita pegang puluhan tahun. Kelak semua akan menjadi cerita yang menarik. Bahwa kita pernah berlebaran dengan cara yang berbeda, lebaran yang hanya dirayakan dengan ramainya silaturrahim via media sosial.

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...