Senin, 25 September 2023

Kalah Presisi

 



Pertandingan terakhir di grup F cabang sepak bola Asian Games 2022 Hangzhou China antara Indonesia melawan Korea Utara berakhir 1:0 untuk kemenangan timnas Korut. Khabar baiknya, meski kalah dalam pertandingan tersebut timnas Indonesia tetap melaju ke babak 16 besar. Indonesia lolos karena menjadi tim peringkat ketiga terbaik.

Bila kita kalah dari Jepang, Saudi Arabia atau Korea Selatan tentu wajar. Karena itu hal menarik yang harus diulas sebenarnya bukan lolosnya timnas Garuda ke babak 16 besar Asian Games 2022, tapi mengapa kita bisa kalah dari Korea Utara. Bukankah dari berbagai aspek, Indonesia jelas lebih unggul dari timnas negerinya Kim Jong Un itu.

Sebelum mengikuti Asian Games 2022 Hangzhou China, timnas sepak bola Korea utara sudah empat tahun tidak berpartisipasi di semua even sepak bola internasional. Mereka hanya melakukan pertandingan antar klub dalam negeri, dan itu bukan kompetisi sepak bola profesional. Kalau di Indonesia mungkin disebut sepak bola tarkam (antar kampung).

Korea Utara negeri yang banyak dirundung masalah. Secara kompetisi domestik Indonesia jelas lebih unggul. Dari segi pengalaman bertanding internasional Indonesia juga lebih unggul. Dari segi fisik, pemain Korea Utara tidak jauh berbeda dengan fisik pemain timnas kita. Dari segi mental seharusnya kita lebih bagus dari mereka. Tapi mengapa kita kalah?

Kita hanya kalah presisi. Mereka memiliki pasing yang akurat, umpat yang sering tepat sasaran, dan kekompakan tim. Lupakan kualitas pemain karena saat pertandingan kerja sama tim lebih diperlukan daripada skill individu. Dan pertandingan melawan timnas Korea Utara seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Ternyata potensi besar sebuah tim tidak menjamin kemenangan.

Selasa, 19 September 2023

Implementasi Moderasi Beragama Serta Perannya dalam Penguatan Kerukunan Umat Beragama (1)

 

                 

 Pendahuluan

Agama sebagai sebuah pedoman hidup harus mengajarkan nilai egaliter yang tidak mendiskriminasi antarumat manusia. Sementara yang tidak kalah pentingnya beragama harus menjunjung nilai-nilai moderat. Agama semestinya diamalkan dengan cara mengutamakan saling menghormati dengan sesama penganut agama dan juga terhadap penganut agama lain. Kerukunan umat beragama menjadi prioritas dengan menjaga toleransi serta berusaha menghindari segala bentuk konflik dan permusuhan.

Penganut agama yang mengamalkan ajaran agamanya dengan moderat serta-merta akan menjaga hubungan baiknya dengan penganut agama lain. Ia memiliki prinsip toleransi yang menghargai keberagaman dan bersedia bekerjasama dalam konteks hubungan kemasyarakatan atau urusan sosial. Dia tidak membuat sekat dengan orang hanya karena berbeda keyakinan.

Moderasi beragama tidak bermakna mencari tafsir baru yang benar-benar berbeda dari teks kitab suci sebuah agama. Namun moderasi beragama adalah pemikiran keagamaan yang bersifat moderat yang indikasinya adalah kemampuan untuk memadukan antara teks dan konteks. Seorang penganut agama yang moderat tidak kaku karena terlalu tekstual, namun di sisi lain dia juga tidak terlalu leluasa dengan pemikirannya sendiri karena melepaskan diri dari teks yang seharusnya dipedomani.

Sikap intoleran penganut agama memang nyata ada dalam masyarakat. Kita tidak bisa menafikan itu semua. Namun demikian, pemahaman sebagian orang sering keliru dalam menanggapi fenomena tersebut. Ketika terjadi suatu tindakan pelanggaran yang mencerminkan sikap intoleran, pandangan orang akan latah menganggap pelakunya mengamalkan ajaran agama yang keliru. Padahal itu adalah tindakan perseorangan (oknum) semata yang tidak merepresentasikan agama yang dianutnya.

Dalam konteks hubungan kerukunan umat beragama, agama Islam sering mendapat label yang negatif. Itu semua terjadi karena orang tidak bisa membedakan antara agama Islam dengan umat Islam. Kerancuan pandangan yang sangat keliru ini menyebabkan banyak orang salah menilai dan ceroboh membuat kesimpulan. Ketika oknum (penganut agama Islam) melakukan tindakan kekerasan yang mengindikasikan permusuhan terhadap umat nonmuslim, Islam yang akan disalahkan. Padahal para penuduh tidak pernah ada yang bisa membuktikan bahwa dalam ajaran agama Islam terdapat dogma atau tuntunan yang membenarkan tindakan kekerasan terhadap umat yang berbeda keyakinan.

Pemahaman agama yang keliru sering menjadi akar permasalahan sikap intoleran, khususnya dalam kalangan umat Islam. Karena dari satu teks yang sama, bisa muncul puluhan penafsiran yang berbeda-beda. Inilah pentingnya memiliki bimbingan dari ulama yang memiliki jalur sanad yang benar. Karena dengan cara tersebut agama Islam tidak terdistorsi oleh pemahaman-pemahaman yang yang menyimpang.

Sebagai upaya menciptakan kerukunan umat beragama dan menghindarkan potensi perpecahan dalam masyarakat, pemerintah melalui Kementerian Agama intens melakukan penguatan dan implementasi moderasi beragama. Dewasa ini moderasi beragama dibutuhkan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara penganut agama secara eksternal, bahkan secara internal juga diperlukan untuk mewujudkan suasana yang selaras mengingat banyaknya aliran dalam sebuah agama. Dan dalam konteks Indonesia, moderasi beragama menjadi pilihan yang logis. Bahkan saat ini moderasi beragama telah menjadi gerakan yang memiliki tujuan mulia dengan prinsip melakukan perbaikan. 

Hak dasar manusia dalam perspektif Islam

Allah menciptakan manusia dengan fitrah kemuliaan. Sebagai makhluk yang dimuliakan manusia dibekali dengan akal dan kemampuan berpikir. Manusia menjadi satu-satunya ciptaan Allah yang rasional. Rasulullah sebagai pembawa risalah, diperintah oleh Allah menyampaikan syariat yang menata kehidupan manusia agar tetap menjadi makhluk yang mulia.

Dalam surat Al-Isra ayat 70 Allah berfirman: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. al-Isra’: 70)

Manusia memiliki hak al-karamah dan hak al-fadlilah. Misi diutusnya Rasulullah adalah rahmatan lil alamin, di mana kemaslahatan merupakan tawaran untuk seluruh manusia dan alam semesta. Penafsiran misi rahmatan lil alamin disebut sebagai ushul al-khams (lima prinsip dasar) yang melingkupi hifdhud din, hifdhun nafs wal ’irdl, hifdhul aql, hifdhun nasl dan hifdhul mal. (https://papua.kemenag.go.id)

1.    Hifdhud din (Memelihara Agama) memberikan jaminan hak kepada umat Islam untuk memelihara agama dan keyakinannya (al-din). Sementara itu Islam juga menjamin sepenuhnya atas identitas (kelompok) agama yang bersifat lintas etnis, oleh karena itu Islam menjamin kebebasan beragama, dan larangan adanya pemaksaan agama yang satu dengan agama lainnya.

2.    Hifdhun nafs wal irdh (Memelihara Jiwa) memberikan jaminan hak atas setiap jiwa (nyawa) manusia, untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Dalam hal ini Islam menuntut adanya keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar; pekerjaan, hak kemerdekaan, dan keselamatan, bebas dari penganiayaan dan kesewenang-wenangan.

3.    Hifdhul‘aql (Memelihara Akal) adalah adanya suatu jaminan atas kebebasan berekspresi, kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan pendapat, melakukan penelitian dan berbagai aktivitas ilmiah. Dalam hal ini Islam melarang terjadinya perusakan akal dalam bentuk penyiksaan, penggunaan obat terlarang maupun minuman keras.

4.    Hifdhun nasl (Memelihara Keturunan) merupakan jaminan atas kehidupan privasi setiap individu, perlindungan atas pekerjaan, jaminan masa depan keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas. Perzinahan adalah perilaku menyimpang menurut syara’ sagat diharamkan.

5.    Hifdhul mal (Memelihara Harta) dimaksudkan sebagai jaminan atas pemilikan harta benda, properti dan lain-lain. Dan larangan adanya tindakan mengambil hak dari harta orang lain dengan cara-cara yang tidak sah seperti: mencuri, korupsi, monopoli, dan yang serupa itu.

Lima prinsip dasar di atas sangatlah relevan dan bahkan seiring sejalan dengan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia. Jauh sebelum ada pengakuan umum terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam hukum internasional yang tertulis pasca Perang Dunia II, Islam telah hadir membawa konsep ajaran yang melindungi hak dasar manusia.

Ajaran Islam yang dibawa Rasulullah mengembalikan kembali derajat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan. Pada masa jahiliah kehormatan seseorang dinilai dari faktor keturunan atau nasab, kekayaan dan ketinggian kedudukannya. Ketika Islam datang maka dihapuslah konsep jahiliyah tersebut.

Islam tidak memandang nilai kemuliaan seseorang dari bentuk tubuh atau fisik, banyaknya harta maupun pangkat seseorang. Yang mulia di sisi Allah adalah hamba yang bertakwa. Tak peduli apakah dia seorang hamba sahaya atau orang yang miskin tidak berharta. Dan dalam hal ini Rasulullah Saw memberi teladan kepada umatnya dengan nyata. Ada sahabat-sahabat pilihan Nabi yang tadinya hamba sahaya atau budak, diantaranya adalah Bilal Bin Rabbah dan Zaid bin Haritsah. Akan tetapi Rasulullah tidak pernah membedakan derajat mereka dengan kemuliaan sahabat lain yang bernasab mulia.

 


 

 

Senin, 11 September 2023

“Ojo Mati Tanpa Aran”

 



Penulis itu harus kreatif, inovatif, kolaboratif dan adaptif. Begitu nasihat Ning Khilma Anis bila ingin menjadi penulis yang sukses. Kesuksesan sebagai penulis tentu tidak harus diukur dengan benefit yang bersifat materi, namun ada yang lebih tinggi dari itu yakni keberkahan.

Sebagai penulis Novel Hati Suhita yang begitu populer, Khilma Anis mengaku proses kreatif yang ia lakukan tidak sekadar menulis dan asal jadi namun dengan kesungguhan dan tirakat. Proses menulis yang dikerjakan khilma selalu terilhami oleh falsafah Jawa, “teken, tekun, tekan”. Maknanya, untuk mencapai keberhasilan setiap pekerjaan harus selalu disandarkan pada pertolongan Allah, kemudian berusaha dengan sekuat tenaga.

Ning Khilma Anis mengaku selama menulis Novel Hati Suhita hanya bisa tidur dua jam sehari. Tidak cukup itu, dia selalu memulai menulis dengan berwudu dan berdoa. Menulis yang diawali menyebut asma Allah akan selalu dibeningkan hatinya, itu keyakinan Khilma Anis.

Perang penulis yang sesungguhnya adalah melawan kemalasannya. Makanya, menulis itu harus menyenangkan dan bisa mengalahkan rasa malas. Karena setiap melakukan pekerjaan yang dilandasi dengan kesenangan akan berakhir dengan kepuasan hati.

Untuk menjadi penulis, kita mesti menaklukkan rasa malu. Banyak orang yang sebenarnya mampu menulis tapi masih malu untuk menunjukkan karyanya. Kata Ning Khilma itu laksana cinta terpendam. “Kita tidak pernah salah mencintai seseorang, tapi kita selalu kalah karena tidak pernah berterusterang”.

Puncak kebahagian sebagai penulis bila ia meninggalkan karya-karya yang bermanfaat. Seperti nasihat “Semar”, Ojo mati tanpa aran (jangan meninggal tanpa meninggalkan nama). Kalau jejak karya seorang penulis yang ditinggalkannya itu memiliki manfaat yang lebih luas, maka itulah makna keabadian yang sesunggguhnya. Dan itu yang kita namakan dengan keberkahan.

Catatan nasihat Ning Khilma Anis, Penulis Novel Hati Suhita. Talk Show Literasi di UNESA

 

 

Jumat, 08 September 2023

Harus Bisa

 



Harus bisa. Mengapa berbicara berjam-jam saja kita lancar, sementara untuk menulis satu halaman lima paragraf kita tidak bisa. Setidaknya, keyakinan itu yang membuat semangat menulis saya tetap ada, meski terkadang meredup.

Untuk tetap bisa menulis memang dibutuhkan kemauan dan usaha yang keras. Dan motivasi sebenarnya harus datang dari diri kita sendiri, bukan dari luar. Tidak cukup bila berharap ada dorongan semangat entah itu apresiasi dari pembaca, adanya partner menulis maupun kegiatan pelatihan dan sejenisnya.

Kemauan untuk menulis merupakan anugerah. Dan pada kenyataannya tidak semua orang, atau lebih tepatnya tidak banyak orang yang memiliki kemauan untuk menulis meski mereka sebenarnya mampu. Tugas kita tentu merawat anugerah yang telah dikaruniakan pada kita.

Ada belasan alasan mengapa kita harus terus menulis. Dan sebenarnya tidak perlu harus panjang lebar kita menyampaikan kepada banyak orang, karena mereka juga sudah memahami semua itu. Masalah utamanya bukan karena tidak mengerti tapi karena tidak mau.

Jangat pernah menyerah menjaga tradisi menulis. Mungkin saja hari ini kita belum banyak mengetahui apa manfaat dari usaha yang kita kerjakan. Tapi yakinlah, buah dari kerja keras kita akan dapat dipetik pada waktunya nanti.

Jumat, 01 September 2023

Memilih Pemimpin

 



Keberadaan seorang pemimpin mutlak diperlukan. Rasulullah SAW berpesan pada muslim untuk mengangkat seorang pemimpin sekalipun dalam suatu kelompok kecil perjalanan. Pentingnya seorang pemimpin dalam masyarakat membuat muslim perlu memahami sikap yang tepat ketika memilih pemimpin.

Ditambah lagi, seorang pemimpin di suatu wilayah/negeri tertentu nantinya akan menjadi seorang ulil amri sebagaimana disebutkan dalam surat An Nisa ayat 59. Dalam ayat tersebut dijelaskan, muslim berkewajiban untuk menaati aturan yang dibuat oleh ulil amri.

Dalam sejarah Islam, kita mengenal ada beberapa cara menentukan pemimpin. Dari empat Khalifah (Khulafaur Rasyidin) dipilih dengan cara yang berbeda-beda. Khalifah Pertama, Abu Bakar As-Sidiq dipilih secara mufakat. Setelah Umar membait Abu Bakar sebagai pemimpin, kaum muslim seluruhnya berbaiat tanpa ada satu golongan pun yang menolaknya.

Selanjutnya Umar menggantikan Abu Bakar atas wasiat Khalifah Abu Bakar. Khalifah ketiga Usman Bin Affan melalui musyawarah beberapa sahabat Nabi yang dibentuk oleh Umar. Ketika Umar Bin Khattab mengalami luka parah setelah ditusuk oleh Abu Lu’lu’ah seorang budak dari Persia, beliau membentuk tim yang memiliki anggota Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abudrrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqqas.

Untuk selanjutnya tim tersebut menunjuk Usman Bin Affan sebagai pengganti Umar Bin Khatab. Sementara Khalifah ke-empat, Ali Bin Abi Thalib terpilih sebagai pemimpin umat Islam menggantikan Ustman setelah beliau mendapat dukungan kaum Muhajirin dan Ansor serta beberapa sahabat terkemuka Rasulullah.

Selain melalui proses pemilihan, dalam sejarah kita juga mengenal sistem dinasti. Yakni jabatan seorang pemimpin diturunkan atau diwariskan tanpa adanya proses pemilihan. Salah satu pemimpin dari sistem dinasti yang sangat masyhur adalah Umar bin 'Abdul 'Aziz. Beliau berasal dari Bani Umayyah cabang Marwani. Umar bin 'Abdul 'Aziz merupakan sepupu dari khalifah sebelumnya, Sulaiman.

Meski masa kekuasaannya yang terbilang singkat (hanya 2 tahun lebih), 'Umar bin 'Abdul Aziz merupakan salah satu khalifah yang paling dikenal dalam sejarah Islam. Dia dipandang sebagai sosok yang saleh dan kerap disebut sebagai khulafaur rasyidin kelima.

Saat ini, bangsa Indonesia sedang mengahadapi momen pemilu, memilih pemimpin. Tentu saja, kita harus berhati-hati dalam memilih calon pemimpin. Setidaknya ada beberapa kriteria utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pemimpin harus memiliki cukup kemampuan dan berwibawa, amanah atau dapat dipercaya, memiliki sikap hidup yang baik, dan terakhir memiliki ilmu pengetahuan.

Yang tidak kalah penting, sebagai kaum Muslim kita harus senantiasa berdoa kepada Allah, agar proses Pemilihan pemimpin yang akan datang benar-benar mengahasilkan suksesi terbaik, terpilihnya pemimpin yang adil.

Pada akhirnya, setelah melalui ikhtiar yang benar. Sebagai muslim kita mesti menerima lapang dada siapapun yang ditakdirkan menjadi pemimpin. Dengan kata lain, menyerahkan segalanya kepada Allah SWT sebagaimana difirmankan dalam surat Ali Imran ayat 26,

Artinya: "Katakanlah (Nabi Muhammad), "Wahai Allah, Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tanganMulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu."

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...