Senin, 24 Agustus 2020

BLENDRANG DARI MASA KE MASA

 


Hari ini tiba-tiba Blendrang menjadi topik yang “viral” di Grup WhatsApp Ma’arif Menulis. Sampai-sampai kami harus menulis untuk menerbitkan buku antologi dengan tema unik “Blendrang”. Entah apa Bahasa Indonesia dari kata Blendrang. Berulang kali sudah berusaha mencari dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia namun tidak saya temukan kata “Blendrang”. Sayur santan (lodeh) kemarin yang dipanaskan lagi, itulah pemahaman kami tentang Blendrang. Istilah ini tentu sudah ada sejak nenek dan kakek moyang kita zaman dulu. Bagi kami orang Jawa pedesaan makanan ini sangat populer dan digemari. Sampai hari ini pun Blendrang masih menjadi kuliner favorit. Terlebih ketika disajikan bersanding mesra dengan ketupat, lontong atau nasi pulen yang hangat dengan pelengkap peyek teri dan kerupuk. Wuihh… pasti menggugah selera makan.

Khazanah kosa kata Bahasa Jawa memang luar biasa. Ini salah satu buktinya, kata Blendrang tidak ada padanannya dalam Bahasa Indonesia, apalagi Bahasa Inggris. Kita ambil contoh yang lain. Padi misalnya, dalam Bahasa Jawa akan menjadi banyak kata. Ketika masih di sawah namanya Pari, ketika sudah dipanen menjadi Gabah. Gabah digiling menjadi Beras bila butirannya utuh, namun namanya menjadi Menir ketika menjadi pecahan kecil-kecil. Belum habis sampai di situ, ketika sudah dimasak menjadi Sego atau Sekul, kalau terpisah dari “rombongannya” menjadi Upo sebutannya, jika tertinggal di panci menempel keras (gosong) namanya Intip. Apa hanya sampai di situ?... Ternyata masih ada, Sego yang tidak habis dikonsumsi kemudian dikeringkan maka akan menjadi Karak. Karak pada zaman saya kecil dulu dimasak lagi dengan disangrai di kuali kemudian ditumbuk di lumpang dengan tambahan gula merah dan kelapa muda jadilah makanan Cengkaruk. Dan itu berlaku dalam penyebutan hampir semua jenis makanan yang lain. Singkong ketika diolah akan menjadi belasan nama yang unik dan berbeda. Begitulah kreativitas orang Jawa semua memiliki identitas sendiri-sendiri.

Kembali ke tema utama Blendrang. Sebagaimana kita ketahui tidak semua jenis sayur bisa dijadikan Blendrang. Beberapa jenis sayur memang akan terasa lebih nikmat ketika sudah menjadi Blendrang. Sebut saja, sayur nangka muda, sayur pepaya mengkal dengan paduan kacang lotho atau kacang panjang. Makanan yang satu ini akan tetap memiliki penggemar dari zaman dahulu sampai sekarang. Meskipun sudah banyak pakar gizi menyatakan makanan yang dipanaskan lagi cenderung tidak baik bagi kesehatan, ternyata penggemar Blendrang tidak begitu terpengaruh, maju terus pantang mundur. Kalau Blendrang dikatakan berbahaya bagi kesehatan, makanan lain juga banyak yang disebut memiliki dampak yang sama. Gula kalau dikonsumsi melebihi ukuran yang dibutuhkan tubuh bisa menjadi penyebab penyakit Diabetes, daging kambing juga dicurigai, bila terlalu sering dikonsumsi bisa menimbulkan kolesterol dan darah tinggi. Semua tentu ada kadar dan ukurannya. Penggemar Blendrang tentu tidak dianjurkan setiap hari menikmatinya, sama seperti tidak baik mengkonsumsi gula dan daging secara berlebihan.

Mungkin saja ada benarnya sayur yang dipanaskan berulang mengandung zat-zat yang tidak baik bagi tubuh kita. Bisa mengakibatkan kanker atau obesitas karena mengandung kadar garam tinggi. Tapi sejauh mana kira-kira Blendrang terbukti berdampak buruk bagi penikmatnya. Orang-orang zaman dulu tentu lebih banyak makan Blendrang daripada kita sekarang. Mereka makan karena hanya itu yang ada. Beda dengan sekarang, kita makan karena menuruti selera dan sebagian sekadar romantisme masa kecil yang sering “dipaksa” makan Blendrang. Faktanya, orang zaman dulu bisa dikatakan memiliki kesehatan lebih prima daripada orang modern saat ini. Hanya sedikit saja orang tempo dulu yang kegemukan (obesitas), bila dibandingkan dengan sekarang sangat jauh. Kakek nenek kita dahulu meskipun makannya kurang bergizi (menurut ilmu kesehatan) namun memiliki aktivitas fisik yang baik. Bekerja dii sawah atau ladang terpapar sinar matahari pagi yang sehat, sehingga kalau pun ada toksin dalam tubuh akan keluar bersama keringat. Ini mungkin yang membedakan dengan orang sekarang yang mager (malas bergerak).

Filosofi Blendrang adalah kesederhanaan dan kemanfaatan. Orang tua kita dahulu kebanyakan adalah orang yang memiliki selera makan sederhana. Satu sisi karena memang tidak cukup biaya untuk membuat masakan yang mewah. Akhirnya mengolah bahan makanan apa yang ada di pekarangan rumah. Mereka sangat menghindari tindakan mubazir. Ketika sayur yang dimasak tidak habis maka akan dihangatkan lagi dan dikonsumsi. Karena ternyata justru memiliki sensasi rasa yang lebih nikmat, akhirnya menjadi warisan kuliner yang melegenda. Dan, seyogianya tidak perlu menuduh Blendrang sebagai biang timbulnya gejala macam penyakit. Makanan olahan cepat saji saat ini yang banyak ragamnya dan digemari banyak orang, juga tidak bisa dikatakan makanan sehat. Bahkan, membiasakan makan seperti itu mungkin saja lebih berisiko daripada makan Blendrang. Kiatnya, tidak berlebih-lebihan. Karena segala sesuatu yang berlebih-lebihan pasti tidak baik. Hidup Blendrang….he…he..

         

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...