Kamis, 09 Juli 2020

Dialektika#1-Mensyukuri Syukur

Dalam suasana gerimis, dan di bawah penerangan lampu yang temaram, Kiai Sholeh duduk bersandar di teras surau tua depan rumahnya. Surau kecil di pojok kampung yang setiap malam ada beberapa anak mengaji. Setelah magrib mengaji Al-Qur’an, selanjutnya bakda isya diteruskan dengan mengaji kitab-kitab kecil pesantren salaf. Di kampung itu Kiai Sholeh dikenal sebagai orang yang alim, mengerti ‘babakan’ agama. Memang pada waktu itu hanya sedikit orang yang pernah mengaji di pondok, dan beliau adalah salah satu orang yang beruntung pernah nyantri di sebuah pondok yang cukup dikenal di Jawa Timur. Sebagai kiai kampung beliau menjadi tempat tumpuhan bertanya masyarakat, menjadi imam langgar, memimpin jemaah tahlil, ceramah acara aqiqah sampai mengurusi jenazah.

“Terus mengapa harus bersyukur mbah?” Tanya Rudi memecah suasana hening. Anak-anak yang mengaji di surau sudah biasa memanggil dengan sapaan “mbah”, bukan seperti tradisi di pesantren yang memanggil Bapak Kiai. “Iya harus bersyukur, karena Allah telah melimpahkan banyak nikmat kepada kita”. “Kalau hidupnya susah, miskin apa masih harus bersyukur?” Andik menyahut sambil garuk-garuk rambut. “Tetap harus bersyukur, karena nikmat dari Allah bukan cuma berupa materi harta benda, banyak uang, punya rumah bagus atau sawahnya luas”. Kiai sholeh tampak semangat menjelaskan pentingnya syukur, sambil sesekali dia menyulut rokok klobotnya yang padam.

“Nikmat Allah sangat banyak, bahkan seandainya kita menghitung tidak akan mampu. Dari nikmat yang besar seperti; iman, Ilmu, kesehatan badan, sampai pada nikmat yang jarang diperhitungkan”. “Nikmat apa itu mbah..? Nikmat ko’ tidak pernah diperhitungkan” Tukas Ali begitu antusias mendengar penjelasan kakeknya. “Siang hari waktu panas kamu duduk di bawah pohon, terus ada angin semilir, itu juga nikmat yang harus kamu syukuri”. Suasana sejenak kembali hening. Gerimis sudah berhenti, udara dingin menjadikan suasana kampung nampak semakin sunyi.

“Terus kalau sakit apa masih harus bersyukur mbah?” Tanya Mukhlis yang dari tadi hanya mendengar penjelasan Kiai Sholeh. “Iya, masih harus bersyukur. Karena di dalam sakit ada nikmat Allah yang besar”. ”Apa itu?” Serentak Ali dan Rudi bertanya. Tampak wajah mereka penasaran, kenapa orang sakit masih harus bersyukur. “Begini le…orang yang diberi ujian Allah dengan sakit, kalau dia sabar maka Allah akan mengangkat dosa-dosanya, bukankah itu juga nikmat?” “Oooh….” Tampak lega, hilang semua penasaran santri-santri Kiai Sholeh mendengar ulasan dari gurunya. “Kalau begitu manusia sepanjang hidup harus terus bersyukur mbah?” Ali cucu kesayangan Kiai Sholeh yang masih kelas 1 Tsanawiyah bertanya lagi.

“Iya, harus senantiasa bersyukur. Kalau tidak bersyukur namanya kufur le… Kalau kita bersyukur maka nikmat Allah akan bertambah, sebaliknya kalau kufur kita diancam dengan siksa yang pedih”.

“Ngapunten mbah”, Daroini menyela, dia termasuk anak yang paling besar diantara murid-murid Kiai Sholeh di surau. Anak yang sedikit bicara namun dikenal memiliki kecerdasan yang lebih dibanding dengan teman-teman sebayanya. “Kalau boleh saya menyimpulkan begini….” Tampak semua diam mendengarkan apa yang akan dikatakan Daroini. “Semua yang yang diberikan Allah kepada kita harus kita syukuri, dalam kondisi bagaimanapun kita masih harus bersyukur”. Kiai Sholeh tampak wajahnya berseri-seri, senang mendengar apa yang dibicarakan Daroini santri kinasihnya. Tampaknya sudah bisa meresapi inti syukur yang jadi bahan obrolan sejak tadi.

“Tapi mbah…, kalau begitu kita tidak pernah bisa bersyukur”. Kiai Sholeh terkesiap. Wajahnya penuh tanya mendengar ucapan Daroini. “Memang kenapa Dar?” Buru-buru Kiai yang dikenal sabar itu bertanya penuh selidik. “Kesadaran bersyukur itu nikmat dari Allah, seharusnya disyukuri”. Kelihatan anak-anak yang lain melongo, tanda belum bisa memahami maksud perkataan Daroini.

“Syukur kita harus kita syukuri, terus bagaimana kita bisa mensyukuri nikmat Allah yang banyak tadi”. Kiai Sholeh manggut-manggut sambil memegangi jenggot putihya yang tidak begitu panjang. Dalam hati membenarkan perkataan santrinya. Kesadaran nurani kita tentang wajibnya syukur adalah sebuah nikmat. Karena banyak orang diberi nikmat Allah namun tidak mempunyai kesadaran dan kemauan syukur. Menerawang jauh pandangan Kiai Sholeh, malam semakin terasa sunyi, hanya terdengar bunyi kodok di sawah bersahut-sahutan. Semua terdiam…

“Mbah, kalau merokok itu juga harus bersyukur ya…” Rudi iseng bertanya memecah kesunyian. "Wedhus prucul…wis bubar…bubar”. Besungut-sungut wajah Kiai Sholeh sambil berdiri dan merapikan sarungnya, kemudian bergegas pulang.

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...