Sabtu, 11 September 2021

KEHIDUPAN “BUNGA”



Mari kita tadabbur alam sejenak, mengambil pelajaran dari sekuntum bunga. Bunga yang mekar dan harum akan mengundang banyak lebah dan kupu-kupu. Nektarnya adalah makanan kesukaan lebah maupun kupu-kupu. Jadi di mana tempatnya maka pasti akan tetap dikerumuni lebah dan kupu-kupu. Di puncak gunung maupun di celah jurang yang curam tak akan menjadi penghalang yang berarti.

Begitu pula laksana orang yang berilmu. Orang berilmu pengetahuan ibarat bunga yang mengundang banyak lebah dan kupu-kupu. Di manapun dia tinggal akan selalu ada orang yang ingin belajar dan menggali ilmunya. Tak perlu dia menawarkan diri, karena dia menjadi terang bagi diri dan sekelilingnya. Sehingga menjadi tumpuhan orang-orang yang membutuhkan cahaya ilmu.

Fakta yang kita lihat memang demikian. Banyak makam para Aulia (Waliyullah) yang berada di tempat yang terpencil. Mereka hidup dalam kesunyian, namun tetap saja banyak santri yang ngaji dan ngalap barokah kepada mereka. Ini adalah bukti akan kedalaman ilmu dan keikhlsan hati.

Demikian pula para pendiri pondok salaf zaman dahulu. Mereka adalah para alim yang ilmunya dalam bagai samudera. Tak perlu mereka mencari santri karena justru para santri akan berkumpul dan berkerumun dari segala penjuru negeri. Bagai bunga yang dikerumuni lebah dan kupu-kupu. Bahkan ketika mereka sudah wafat, keberkahan ilmunya tetap bersambung hingga kini.

Sudahkah kita menjadi bunga yang dicari para kumbang, lebah dan kupu-kupu? Atau kita hanya laksana bunga plastik. Indah dan tak pernah layu, namun tak pernah menarik minat pemburu nektar karena palsu. Penampilan yang indah namun tidak memiliki inti sari yang bermanfaat.

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...