Lagi-lagi, ada berita mengejutkan. KPK menetapkan oknum Hakim Agung pada Mahkamah Agung (MA), sebagai tersangka
terkait suap pengurusan perkara di MA. Hakim tersebut menjadi tersangka usai
KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Ketua KPK menyebut kegiatan OTT itu bemula dari
adanya laporan masyarakat. Dalam pengaduan itu disebutkan bahwa adanya
informasi penyerahan sejumlah uang kepada hakim atau perwakilannya terkait
penanganan perkara di MA.
Sebenarnya tidak
sekali ini saja kita mendapat khabar tentang penegak hukum yang tertangkap
tangan. Di negeri ini sudah berulang-kali aparat penegak hukumnya justru
melanggar hukum. Tanggapan masyarakat juga bermacam-macam dengan peristiwa ini. Ada yang mengatan, wajar saja mereka juga manusia biasa yang
masih silau dengan barang mewah, uang banyak atau fasilitas istimewa.
Sementara bagi
kita yang masih punya harapan tegaknya hukum, berita ini semakin mengecilkan
impian kita akan terwujudnya keadilan. Bagaimana kita bisa mencari keadilan,
sementara mereka yang memiliki wewenang dan kuasa curang dan tidak amanah. Mereka
menjualbelikan keadilan demi menumpuk kekayaan pribadi.
Memang tidak
semua penegak hukum bisa dibeli. Tapi berapa banyak yang tersisa. Bila seorang
hakim yang digelari sebagai “Hakim Agung” ternyata masih bisa disuap, lalu
bagaimana yang lain. Di mana letak sakralnya kata Agung bila perbuatannya
benar-benar tercela. Sungguh, itu peristiwa yang meruntuhkan harapan para
pencari keadilan.
Seharusnya hakim
yang menegakkan hukum tidak lagi bisa dibeli dengan materi. Mereka adalah
orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Mereka harus menjadi
manusia “setengah” malaikat yang martabatnya tinggi. Tidak tergiur lagi dengan segala
glamor duniawi. Yang menjadi masalah, ke mana bisa menemukan orang-orang yang seperti itu….?