Sabtu, 16 April 2022

“Mbah Yai” dan Tangga yang Rapuh



Di usia yang sudah mencapai delapan puluh tahun lebih, beliau tetap enerjik. Pagi-pagi pergi ke sawah hingga menjelang dhuhur, mencari makanan untuk kambing dan segala aktivitas kerja di rumah dapat beliau kerjakan semua. Beliau adalah Kiai kampung kami, Haji Imanudin Toha. Orang dusun kami biasa menyebut tipe seperti beliau ini dengan istilah “gasek’, orang tua yang aktif serta memiliki kesehatan bagus dan tidak memiliki keluhan penyakit.

Sebagai Kiai kampung beliau juga memiliki kesibukan yang berkaitan dengan memimpin kegiatan ibadah dalam masyarakat. Terlebih saat ini bisa dikatakan beliau sesepuh desa yang kehadirannya selalu dinanti. Dari urusan shalat berjamaah sampai doa memberangkatkan jenazah beliau selalu yang diminta memimpin. Secara tipologi masyarakat desa kami memang lebih dekat dengan kaum santri sehingga sudah menjadi tradisi selalu menghormati (takzim) orang tua dan mereka yang alim.

Hubungan saya dengan beliau dari dahulu memang sudah dekat. Sejak kecil saya menjadi murid mengaji beliau. Sudah puluhan tahun urusan beliau hanya seputar "ngopeni" mengaji anak-anak. Dari zaman masih menggunakan lampu petromak, hingga kini memang beliau tetap istikomah. Bedanya bila dulu beliau mengajar anak-anak diniyah, saat ini beliau hanya mengaji tafsir untuk jamaah masjid kampung kami.

Sudah dua minggu lebih Mbah Yai Imanuddin tidak bisa beraktivitas di luar, beliau hanya di rumah saja. Menjelang puasa terjadi sebuah insiden kecil namun mengakibatkan luka yang lumayan serius di tangan kiri beliau. Mbah Yai yang bersahaja itu jatuh dari tangga. Dan hari ini saya berkesempatan mengunjungi beliau yang sedang sakit gegara tangga rapuh.

“Allah itu sepandai-pandainya pembuat rencana”, begitu tutur beliau sambil tersenyum. Seandainya tidak jatuh dari tangga, beliau yakin tidak akan punya banyak waktu istirahat dan muhasabah di bulan Ramadan tahun ini. Mungkin, inilah yang sering dikatakan musibah selalu membawa hikmah. “Saatnya untuk berpikir mencari generasi penerus, karena saya sudah cukup tua, lanjut beliau”. Dalam hati saya sangat setuju gagasan beliau kali ini. Sebenarnya sudah lama saya berpikir tentang itu. Hanya karena “ewuh pakewuh” dengan beliau, saya tidak pernah menyampaikannya.

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...