Selasa, 28 Juni 2022

DIALEKTIKA KIAI KAMPUNG



Dalam suasana gerimis dan di bawah penerangan lampu minyak yang temaram, Kiai Sholeh duduk bersandar di teras surau tua depan rumahnya. Surau kecil di pojok kampung yang setiap malam ada beberapa anak mengaji. Setelah magrib mengaji Al-Qur’an, selanjutnya bakda Isya diteruskan dengan mengaji kitab-kitab kecil ala pesantren salaf. Di kampung itu Kiai Sholeh dikenal sebagai orang yang alim dan dipercaya mengerti “babakan” agama. Memang pada waktu itu hanya sedikit orang yang pernah ngaji di pondok, dan beliau adalah satu orang yang beruntung pernah nyantri di sebuah pondok yang cukup dikenal di salah satu kota Jawa Timur. Sebagai kiai kampung beliau menjadi tempat bertanya masyarakat, menjadi imam langgar dan jamaah tahlil, ceramah acara aqiqah sampai mengurusi jenazah.

Tampak wajah Kiai Kampung itu merenung, sambil matanya kosong menerawang gelapnya malam. Satu minggu lagi janjinya untuk melunasi hutang kepada Haji Jumari juragan ikan akan tiba. Hutang yang dulu jumlahnya hampir mencapai sepuluh juta. Namun sekarang tinggal tersisa lima juta saja, setelah beberapa kali Kiai Sholeh selalu mencicil hutangnya. Karena keadaan terdesaklah yang memaksa ia harus berhutang. Setahun yang lalu istrinya harus menjalani operasi tumor. Karena tidak memiliki biaya yang cukup dia harus berhutang kepada temannya mondok dulu, Haji Jumari yang sekarang dikenal dikampungnya sebagai orang terkaya.

“Terus mengapa harus bersyukur mbah?” Tanya Rudi memecah suasana hening malam. Anak-anak yang mengaji di surau sudah biasa memanggil dengan sapaan “mbah”, bukan seperti tradisi di pesantren yang memanggil Bapak Kiai.

“Iya harus bersyukur, karena Allah telah melimpahkan banyak nikmat kepada kita”. Jawab Kiai Sholeh dengan nada yang tegas.

 “Kalau hidupnya susah, miskin apa masih harus bersyukur?” Andik menyahut sambil menggaruk-garuk rambut kribonya yang mirip dengan rambut penyanyi rock Ahmad Albar.

“Tetap harus bersyukur, karena nikmat dari Allah bukan cuma berupa materi harta benda, banyak uang, punya rumah bagus atau sawahnya luas”. Kiai sholeh tampak semangat menjelaskan pentingnya syukur, sambil sesekali dia menyulut rokok klobotnya yang padam.

“Nikmat Allah sangat banyak, bahkan seandainya kita menghitung tidak akan mampu. Dari nikmat yang besar seperti: iman, Ilmu, kesehatan badan, sampai pada nikmat yang jarang diperhitungkan”.

“Nikmat apa itu mbah..? Nikmat ko’ tidak pernah diperhitungkan” Tukas Ali begitu antusias mendengar semua wejangan kakeknya.

“Siang hari waktu panas kamu duduk di bawah pohon, terus ada angin semilir, itu juga nikmat yang harus kamu syukuri”.

Suasana sejenak kembali hening. Gerimis sudah berhenti, udara dingin menjadikan suasana kampung tampak semakin sunyi. Suara kodok sahut-menyahut bagai simponi yang indah. Begitulah suasana kampung kecil yang setiap malam serasa senyap dan gelap karena belum ada aliran listrik. Dalam sunyi kembali Kiai Sholeh lamunannya berputar mencari jalan keluar dari urusan hutang yang membelitnya. Apa harus minta waktu lagi untuk menunda membayar hutangnya. Ah, rasanya malu. Sudah dua kali meminta waktu menunda pembayaran hutang. Sebenarnya Haji Jumari tidak pernah menagih, namun Kiai Sholeh merasa malu hati kalau harus menunda lagi janji melunasi hutangnya.

“Terus kalau sakit apa masih harus bersyukur mbah?” Tiba-tiba Mukhlis bertanya. Dari tadi anak yang badannya berperawakan besar dan biasa dipanggil “Gembul” ini hanya mendengar Kiai Sholeh menjelaskan makna syukur.

“Iya, bahkan ketika sakit pun kita masih harus bersyukur. Karena di dalam sakit ada nikmat Allah yang besar”.

”Apa itu?” Serentak Ali dan Rudi bertanya. Tampak wajah mereka penasaran, karena heran mengapa orang sakit masih harus bersyukur.

“Begini le…orang yang diberi ujian Allah berupa sakit, kalau dia sabar maka Allah akan mengangkat dosa-dosanya, bukankah itu juga nikmat?”

“Oooh….” Kompak mereka menjawab. Tampak wajah mereka lega, hilang semua penasaran santri-santri Kiai Sholeh setelah mendengar ulasan dari gurunya.

“Kalau begitu manusia sepanjang hidup harus terus bersyukur mbah?” Ali cucu kesayangan Kiai Sholeh yang masih kelas satu Tsanawiyah bertanya lagi.

“Iya, harus bersyukur. Kalau tidak bersyukur namanya kufur le… Kalau kita bersyukur maka nikmat Allah akan bertambah, sebaliknya kalau kufur kita diancam dengan siksa yang pedih”.

“Ngapunten mbah”, Daroini menyela, dia termasuk anak yang paling besar diantara murid-murid di surau. Dia sudah kelas 3 Madrasah Aliyah. Anak yang sedikit bicara namun dikenal memiliki kecerdasan yang lebih dibanding dengan teman-teman sebayanya.

“Kalau boleh saya menyimpulkan begini….” Tampak semua diam mendengarkan apa yang akan dikatakan Daroini.

“Semua yang yang diberikan Allah kepada kita harus kita syukuri, dalam kondisi bagaimanapun kita masih harus bersyukur”. Kiai Sholeh tampak wajahnya berseri-seri, senang mendengar apa yang dibicarakan Daroini santri kinasihnya. Tampaknya dia sudah bisa meresapi inti syukur yang jadi bahan obrolan sejak tadi.

“Tapi mbah…, kalau begitu kita tidak pernah bisa bersyukur”. Kiai Sholeh terkesiap. Wajahnya penuh tanya mendengar ucapan Daroini.

“Memang kenapa Dar?” Buru-buru Kiai yang dikenal sabar itu bertanya penuh selidik.

“Kesadaran bersyukur itu nikmat dari Allah, seharusnya disyukuri”. Kelihatan anak-anak yang lain melongo, tanda-tanda belum bisa memahami maksud perkataan Daroini. Wajar saja, bahasa Daroini seperti orang kuliah-an. Bagi anak-anak musala bahasa seperti itu terlalu rumit, njlimet.

“Syukur kita harus kita syukuri, terus bagaimana kita bisa mensyukuri nikmat Allah yang banyak tadi”.

Kiai Sholeh manggut-manggut sambil memegangi jenggot putihnya yang tidak begitu panjang. Dalam hati membenarkan perkataan santrinya. Kesadaran nurani kita tentang wajibnya syukur adalah sebuah nikmat. Karena banyak orang diberi nikmat Allah namun tidak mempunyai kesadaran dan kemauan syukur. Menerawang jauh pandangan Kiai Sholeh, malam semakin terasa sunyi, udara dingin mulai terasa menusuk tulang. Semua terdiam. Nampak Ali dan Andik menguap beberapa kali. Matanya mulai sayu menandakan dia sudah diserang rasa kantuk yang luar biasa.

“Mbah, kalau bisa merokok terus itu juga harus bersyukur ya…” Rudi iseng bertanya sekenanya memecah kesunyian suasana.

"Wedhus prucul…wis bubar…podho turu”.

Besungut-sungut wajah Kiai Sholeh sambil berdiri dan merapikan sarungnya, kemudian bergegas pulang. Sesaat kemudian tidak terdengar lagi suara anak-anak di musala. Karena semua sudah asyik mengarungi dunia mimpi.

******

Siang itu selepas jemaah salat Zuhur di musala, Kiai Sholeh berbaring istirahat di ruang tengah rumahnya. Matanya terpejam namun angannya melayang-layang. Besok adalah hari yang dia janjikan untuk melunasi hutangnya kepada Haji Jumari. Namun sampai saat ini dia belum memiliki uang yang dijanjikan itu. Sebenarnya minggu yang lalu dia masih punya sedikit uang yang telah dikumpulkan dan rencananya akan diberikan kepada Haji Jumari, tapi kini uang itu sudah tidak ada lagi. Ya, semua sudah diberikan kepada Kang Parni tetangganya yang pinjam uang untuk biaya melahirkan istrinya. Masih ingat wajah tetangganya yang memelas, sudah keliling ke beberapa orang namun tidak memperoleh pinjaman. Akhirnya uangnya yang jumlahnya hanya Rp.500.000 itu diberikan ke Kang Parni semuanya. Terharu melihat ekspresi tetangganya yang girang itu dan spontan mendoakan, semoga Allah membalas semua kebaikannya. Terasa lega benar bisa membantu orang lain. Tapi kini dia harus berpikir lebih keras lagi, bagaimana cara mendapat uang lima juta dalam sehari untuk menutup hutangnya.

Tidak ada lagi benda berharga yang bisa dijualnya. Satu-satunya harta tinggal motor bebek butut miliknya. Kalau pun laku dijual tentu masih akan kurang banyak. Untuk meminta pertolongan pada Farid, anak satu-satunya juga sepertinya mustahil. Farid ayah Ali, hanya seorang guru honorer yang gajinya tentu tidak seberapa.

 “Ya Allah, pasti ada jalan keluar dari semua permasalahan ini, jangan Kau buat hamba malu di depan makhlukmu”. gumamnya dalam hati.

"Assalamualaikum...."

Suara lantang sembari mengetuk pintu rumah Kiai Sholeh. Rupanya sudah menunggu Paimo di depan rumah. Orang sering memanggilnya Paimo padahal nama sebenarnya adalah Budiman. Orang kampung menganggap Paimo adalah orang yang tidak waras. Semua bermula ketika ia menjadi TKI di Malasyia, menurut cerita dia ditipu temannya sehingga hasil kerjanya bertahun-tahun habis semua dibawa kabur teman dekatnya. Peristiwa yang menggoncangkan jiwanya sehingga menjadikan dia depresi yang sulit disembuhkan.

Kiai Sholeh bangkit mengenakan baju kokonya kembali, menyisir rambut di depan cermin dan memakai kopyahnya kemudian bergegas ke ruang tamu. Sudah biasa setiap menerima tamu, kiai Sholeh akan menyambut dengan baik. Siapa pun tamu yang datang tidak akan dibedakan. Kiai Sholeh tidak akan menemui tamunya sebelum merapikan baju yang dipakainya dan menyisir rambutnya yang sudah hampir separuh memutih. Pernah Bu Sholeh protes tentang kebiasaan “dandan” yang dilakukan suaminya setiap hendak menemui tamunya.

"Menghormati tamu itu wajib bu, kedatangan tamu itu membawa kebaikan bagi tuan rumah". Begitu alasan Kiai Sholeh setiap ditanya oleh istrinya.

“Kita tidak bisa memberi hidangan dan tempat yang layak, tapi setidaknya bisa menerima dengan sambutan yang baik”.

Sejak mendapat penjelasan dari suaminya Bu Sholeh bisa memahami alasan kebiasaan Kiai Sholeh selama ini. Ajining diri saka lathi,  kehormatan diri atau harga diri terlihat dari tutur kata. Sikap luhur terbentuk karena pribadi yang selalu berhati-hati dalam berkata. Seseorang yang perkataannya baik akan memiliki kehormatan dalam pandangan orang, sebaliknya tutur kata yang jelek akan menjadikan orang kurang mendapat respek. Ajining raga saka busana, kehormatan badan kita terletak dari pakaian yang kita kenakan. Penampilan yang baik adalah bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Tampilan fisik yang bersih dan rapi secara umum adalah gambaran kepribadian yang baik.

Konon ulama terkenal Buya Hamka juga orang yang senantiasa berpenampilan rapi. Bahkan ketika menjelang akhir hayat beliau, ketika sakit keras dan diantar ke rumah sakit, beliau sempat bertanya pada anaknya;

“Bagaimana kopyah ayah, apakah sudah rapi…?, bertemu el-maut pun saya harus tampak garang”.

Mungkin inilah salah satu alasan yang mendasari prinsip Kiai Sholeh menganggap berpenampilan rapi itu penting. Karena zahir yang baik mencerminkan kebaikan hati.

“Wa’alaikum salam…silakan masuk...” Dengan khas keramahannya Kiai Sholeh mempersilakan tamunya masuk.

“Ohh…kowe to Mo” (Ohh.. kamu to Mo). Cengar-cengir Paimo masuk dan mencium tangan Kiai Sholeh.

“Begini Pak Yai, saya mau minta fatwanya”. Tanpa basa-basi Paimo langsung menyampaikan maksud kedatanganya.

“Fatwa opo..?” sambil duduk di kursi Kiai Kampung yang dikenal sosok penyabar ini bertanya kepada Paimo.

“Saya ini waras tidak Pak Yai?”. Kiai Sholeh tersenyum mendapat pertanyaan aneh dari tamu “spesialnya”  ini.

“Memang kenapa Mo?”. Tanya Kia Sholeh. Tampak mimik Paimo serius dan memulai menceritakan ihwalnya.

“Kemarin saya minta surat keterangan sehat di PUSKESMAS tapi tidak diberi, katanya saya tidak sehat”. Sambil manggut-manggut Kiai Sholeh mendengar cerita Paimo.

“Terus untuk keperluan apa Mo, kamu membuat surat keterangan sehat?”. Kiai Sholeh melanjutkan pertanyaannya.

“Begini Pak Yai, saya akan macung mencalonkan diri menjadi anggota DPR”. Sedikit kaget mendengar jawaban Paimo yang spontan itu. Sambil geleng-geleng dan tersenyum Kiai Sholeh segera menyahut.

“Lho…lo nanti kalau kamu jadi anggota DPR siapa yang bantu saya bersih-bersih langgar, menguras kamar mandi atau mengganti genteng yang bocor”. Semakin tampak raut Paimo sungguh-sungguh mendengarkan perkataan Kiai Sholeh.

“Tidak usah ikut-ikut mencalonkan diri jadi anggota DPR, sudah biar itu diurusi orang lain”. Paimo termenung sejenak, sepertinya dia sedang berpikir.

“Tapi sebagai warga negara saya juga punya hak Pak Yai”. Paimo tampak masih belum puas dengan jawaban Kiai Sholeh.

“Tapi kamu tidak cocok Mo jadi anggota DPR, wis… saya tidak merestui niatmu itu”.

Kali ini Paimo terdiam, tidak berani membantah lagi. Satu-satunya orang yang disegani di kampung cuma Kiai Sholeh. Biasanya dia akan selalu menuruti nasihat Kiai sederhana ini. Rupanya meskipun dianggap orang tidak waras Paimo masih memiliki sisi-sisi nalar yang kritis. Memang sebenarnya masa kecilnya dia dikenal sebagai anak yang pandai. Kiai Sholeh pun sangat mengenal Paimo karena dulu adalah santri ngaji di musalanya. Dan kebesaran hati Kiai Sholeh tampak dari sikapnya yang tetap baik meskipun terhadap orang yang disebut orang tidak waras.

Rupanya di pikiran bawah sadar Paimo masih menyimpan memori tentang sosok Kiai kampung yang menjadi gurunya ini, sehingga masih tampak rasa segan setiap kali bersua dengan Kiai Sholeh. Begitulah Paimo, tidak sekali dua kali dia membuat gaduh. Paimo tidak pernah takut, malu atau ewuh pakewuh kepada orang lain. Jangankan orang kampung biasa, Bapak Kepala Desa saja sering dia marahi. Tapi begitu di depan Kiai Sholeh dia menjadi “jinak” dan menjelma sebagai anak yang penurut.

“Kalau begitu saya tidak jadi Pak Yai”. Paimo bangkit dari duduk, tampak raut mukanya kusut. Buru-buru dia mencium tangan Kiai Sholeh dan bergegas keluar rumah.

Kepergian Paimo diikuti pandangan Kiai Sholeh dengan wajah terharu. Entahlah, meskipun banyak yang menganggap Paimo orang sinting namun baginya Paimo adalah orang yang patut dikasihani, bukan malah diperlakukan sebagai orang yang tidak waras akalnya.

“Eh, mo…. Panggil Kiai Sholeh. Paimo yang sudah sampai di halaman tampak menoleh.

“Kesini, ada barangmu yang ketinggalan ini”. Dengan gontai Paimo memasuki lagi ruang tamu.

“Ini apa? Kiai Sholeh menunjukkan amplop coklat yang tergeletak di atas meja.

“Anu, kuwi titipan’e wong” (Itu titipan orang).

“Tadi di jalan ketemu orang, nitip itu untuk sampean”. Paimo balik badan, kembali menuju keluar rumah, meninggalkan Kiai Sholeh yang nampak masih kebingungan.

“Eh, titipane ko nggone sopo?” (Titipan dari siapa).

“Ndak weruh kulo….. (tidak tahu saya).

Paimo acuh bergegas meninggalkan Kiai Sholeh sendiri. Langkahnya semakin cepat, sepertinya enggan untuk ditanya lagi. Sebentar kemudian dia sudah tidak tampak dari pandangan.

“Mo….mo, bocah siji iki” (Mo…mo anak satu ini).

Kiai Sholeh duduk di kursi kayunya kembali. Matanya penuh selidik melihat amplop yang sedang dipegang. Apa ini isinya, timbul rasa keingintahuannya. Perlahan dia membuka amplop coklat yang katanya Paimo titipan dari orang untuk dirinya.

“Subhanallah……” terdengar lirih suara Kiai Sholeh

Tercengang melihat isi amplop yang dibukanya. Ternyata sejumlah uang kertas. Dihitungnya perlahan-lahan seluruh uang tadi dan… jumlahnya persis, lima juta rupiah, tidak lebih dan tidak kurang. Tampak belum hilang raut terpana Kiai Sholeh. Apa benar ini untuk saya Ya Allah… Hatinya berkecamuk. Teringat dengan janjinya membayar hutang ke Haji Jumari yang jatuh tempo besok. Teringat pula doa tulus Kang Parni yang dibantunya minggu kamarin. Terus dari siapa uang ini, apakah Paimo tidak salah alamat?. Ah, tidak mungkin Paimo berbohong. “Dialog” panjang dalam hatinya sepertinya tidak akan akan pernah memperoleh jawaban yang pasti. Yang diyakini dalam imannya, bahwa rezeki Allah itu kadang datang dari jalan yang tidak disangka-sangka. Dan apa yang saat ini dalam genggamannya adalah misteri yang tidak akan terpecahkan.

 

 

 

 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...