Kamis, 06 Mei 2021

Belajar Ikhlas



"Saya tak pernah berpikir untuk bisa memetik hasil kerja saya ini. Bahkan ketika nanti saya sudah tiada, saya juga tak ingin diperlakukan berlebihan. Saya hanya ingin berbuat kebaikan bagi sesama selama saya masih bisa. Saya pasti senang kalau didukung, tapi sebenarnya asal tidak diganggu saja sebenarnya saya sudah cukup senang meskipun itu masih juga sering terjadi."

Kalimat itu meluncur begitu saja dari Sadiman, lelaki tua asal Dusun Dali, Desa Geneng, Bulukerto, Wonogiri, Jawa Tengah. Wajahnya sudah terlihat sepuh, giginya sudah banyak yang tanggal, namun semangat menyala-nyala masih tercermin dari kilatan padangan matanya.

Yang luar biasa dari Mbah Sadiman adalah dedikasinya kepada lingkungan. Sendirian lelaki tua ini melakukan penanaman pohon-pohon pengikat air di areal lahan hutan, lahan milik negara yang hasilnya pasti tak akan dinikmatinya. Bukan setahun dua tahun dia melakukan itu, namun sudah 19 tahun terakhir. Bukan pula hanya menanam, namun juga marawat dan membesarkannya. Termasuk menyulami atau menanaminya lagi jika tanaman sebelumnya mati. Dia melakukannya sendirian.

Luasan areal yang dia tanami tak kurang dari 100 hektar lahan hutan di Bukit Gendol dan Bukit Ampyangan, yang merupakan lereng Gunung Lawu sisi tenggara. Jaraknya sekitar 100 km dari Kota Solo. Lokasi tersebut merupakan kawasan perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur. (Sumber Detiknews)

Mbah Sadiman adalah contoh pribadi yang ikhlas. Esensi ikhlas adalah menyerahkan semua amalnya pada Allah semata. Dia tidak peduli lagi dengan penilaian orang. Bagi orang yang sampai pada taraf ikhlas, tidak ada bedanya antara pujian dan cacian. Karena keduanya tidak akan membelokkan lurusnya niat. Pujian dari orang tidak menjadikan bertambahnya semangat, dan hujatan atau cacian orang pun tidak pernah membuatnya putus harapan.

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...