Wajahnya tampan, kulitnya bersih, tinggi dan murah senyum. Di usianya yang belia, baru tujuh belas-an tahun, bisa dikatakan sangat rajin shalat berjamaah. Hampir setiap isya’ ia datang pertama kali di masjid, azan sampai iqomat dan dia juga menjadi orang yang terakhir pulang dari masjid setelah menutup semua pintu dan mematikan lampunya.
Saat ini sangat sulit mencari sosok pemuda yang hatinya dekat dengan masjid. Umumnya anak-anak usia belasan tahun lebih mudah kita jumpai di warung-warung kopi berwifi gratis. Nongkrong di pinggir jalan atau ngebut di jalanan dengan suara motor berisiknya. Padahal kita membutuhkan banyak anak muda yang memiliki kepedulian dengan agamanya.
Islam mulai berkembang karena peran orang-orang yang masih muda. Nabi memulai mengemban risalah kenabian ketika usianya mencapai empat puluh tahun. Usia empat puluh tahun tidak bisa dikatakan usia yang sudah tua. Masih pantas bila digolongkan ke usia muda. Sahabat-sahabat Nabi banyak dari golongan pemuda. Umar Bin Khatab, seorang tokoh muda, Hamazah, Usman dan sahabat yang lainnya kebanyakan masih di usia yang muda.
Kita masih ingat dalam sejarah, Usamah Bin Zaid diangkat oleh Rasulullah menjadi panglima perang pasukan Islam ketika usianya baru tujuh belas tahun. Tak mungkin ia diangkat menjadi pemimpin bila tidak memiliki kecakapan. Dan ini bukti usia muda bukan menjadi halangan untuk menjadi seorang pemimpin.
“Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncang dunia”. Begitu optimis ungkapan Bung Karno. Pemudalah yang akan banyak membuat perubahan. Di saat tenaga masih kuat, pikiran masih jernih, darah muda bergelora, seakan-akan semua pekerjaan berat dan rumit akan mudah terselesaikan.