Sudah
menjadi tradisi masyarakat kita bila sampai ujung Ramadhan, bersiap-siap
merayakan Idul Fitri yang akan tiba. Rumah-rumah dibersihkan, dihias dan dicat
atau diberi lampu warna-warni. Ibu-ibu sibuk menyiapkan kue lebaran yang
bermacam-macam jenisnya, anak-anak sibuk memilih baju lebaran yang akan mereka
pakai merayakan hari kemenangan. Pusat-pusat belanja akan dipadati pengunjung
yang jumlahnya berlipat-lipat dari hari biasa. Memang Idul Fitri tahun ini akan
beda dengan idul fitri tahun-tahun sebelumnya, geliat kemeriahan menyambut Idul
Fitri tidak akan kita lihat seperti biasanya. Pusat-pusat perbelanjaan masih
dibatasi dengan protokol penanggulangan pandemi. Idul fitri yang identik dengan
halal bihalal, silaturrahim dengan tetangga, keluarga, teman sejawat tidak akan
bisa kita laksanakan sebagaimana biasa.
Halal
bihalal, kemeriahan Idul Fitri di negeri kita sudah menjadi budaya.
Halal bihalal yang sebenarnya secara etimologi berasal dari Bahasa Arab namun tidak
dikenal dalam ‘mufrodat’ dan tidak dipakai dalam struktur bahasa baku
orang Arab. Dalam istilah yang sederhana mungkin bisa dikatakan halal bihalal adalah bahasa Arab yang hanya dipakai di Indonesia. Menurut literatur asal mula halal bihalal sudah
ada sejak pemerintahan Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa di keraton
Solo. Dalam literatur yang lain sejarah halal bihalal ada sejak awal-awal
kemerdekaan Indonesia. Bung Karno menghendaki adanya silaturahim yang
melibatkan banyak orang (massal), setelah berdiskusi dengan KH.Wahab Hasbullah
akhirnya disepakati konsep halal bihalal yang pada awalnya hanya dilakukan oleh
Presiden Soekarno dengan mengundang tokoh-tokoh elit politik dengan tujuan
menyatukan bangsa. Hal ini yang kemudian ditiru dan dilaksanakan oleh seluruh
masyarakat Indonesia.
Ketupat, Idul
Fitri juga identik dengan ketupat. Ketupat menurut sebagian literatur sudah ada
sejak sebelum Islam masuk ke Indonesia. Menurut sebagian catatan sejarah
ketupat dijadikan sebagai bagian perayaan Idul Fitri dimulai sejak pemerintahan
kerajaan Islam di Demak. Ketupat yang dibuat dari janur dan diisi dengan beras
memiliki makna filosofis. Kata ketupat yang dalam Bahasa Jawa disebut Kupat berasal dari kata aku lepat
(saya salah), artinya ketupat sebagai simbol saling memaafkan anatara
saudara dengan saudara yang lain, orang tua ke anak-anaknya, guru ke
murid-muridnya. Namun sebagian ada yang mengatakan ‘Kupat’ berasal dari Bahasa
Arab kaffatan yang artinya sempurna. Setelah satu bulan penuh
menjalankan ibadah puasa kita disunahkan puasa
pada hari kedua bulan Syawal sampai hari ke-tujuh (selama enam hari), setelah
itu pada hari ke-tujuh malam kedelapan Syawal membuat selamatan kecil dengan membuat ketupat (bodo kupat), ini
mungkin yang dimaksud sempurna dalam ibadah puasa. Sebagaimana dalam hadits
disebutkan “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian ia ikuti dengan berpuasa
enam hari di bulan Syawal, ia akan mendapat pahala seperti puasa setahun penuh”.
Mudik,
Hari raya sudah pasti akan menjadi hari spesial
bagi umat Islam khususnya di Indonesia. Akan kurang sempurna bila tidak
dirayakan dengan keluarga. Ini yang menjadi alasan mengapa harus mudik ke
kampung halaman. Dalam makna lain mudik adalah bentuk kecintaan anak ke orang
tua dan saudaranya yang masih tinggal di kampung halaman. Hakikat mudik adalah menyambung tali silaturrahim. Puasa merupakan bentuk
ibadah vertikal (hablum minallah) sedangkan mudik adalah bentuk hubungan sesama
manusia (hablum minannas), tentu tidak akan sempurna ibadah puasa kita bila
hubungan kita dengan keluarga tidak dijalin dengan baik. Puasa yang dilakukan dengan landasan iman dan semata karena Allah dijanjikan mendapatkan ampunan dari Allah sehingga bersih semua dosa-dosanya laksana bayi yang baru lahir. Tinggal dosa kepada sesama manusia yang harus kita bersihkan dengan permohonan maaf, dan mudik merupakan salah satu bentuk budaya masyarakat kita yang bertujuan merayakan Idul Fitri dan sarana permohonan maaf sungkem ke orang tua dan seluruh kerabat.
Inilah sebagian tradisi Idul Fitri yang sudah menjadi ciri khas masyarakat kita, akan menjadi suatu yang tidak lazim apabila merayakan Idul Fitri tidak melaksanakan tradisi yang sudah turun menurun ini. Dan hari ini kita mengalaminya......