Selasa, 04 Oktober 2022

Jadikan Pelajaran, Jangan Sia-siakan Nyawa Mereka

 



Tragedi di stadion Kanjuruhan menjadi tragedi terbesar kedua dalam dunia sepak bola. Tragedi sepak bola yang memakan korban jiwa terbesar dalam sejarah terjadi pada tahun 1964, di kota Lima Peru, yang menewaskan 328.

Penyesalan tidak cukup untuk semua yang telah terjadi. Tapi yang paling penting ini harus menjadi titik awal perubahan sepak bola di negeri kita. Manajemen klub harus lebih profesional, sarana harus berstandar FIFA dan yang tidak kalah penting, suporter kita harus lebih dewasa.

Cinta dengan klub pujaan itu wajar. Tapi cinta yang membabi-buta itu bisa membahayakan. Ketika tim kesayangannya kalah, mereka bisa berbuat anarkis. Ini tentu menjadi sesuatu yang aneh, karena tindakan anarkis hanya akan merugikan diri sendiri.

Lihatlah suporter klub sepak bola di eropa yang sudah dewasa. Mereka totalitas dalam mendukung klub ketika bermain. Tapi ketika pertandingan telah berakhir, mereka sportif meski tim yang didukung menderita kekalahan.

Sepak bola bukan segalanya, kehidupan ini jauh lebih berharga. Tak sebanding apabila nyawa ditukar dengan fanatisme dan kecintaan yang berlebih terhadap klub kesayangan. Jangan sia-siakan korban yang telah berjatuhan. Rubah wajah sepak bola kita menjadi olah raga berprestasi yang menyenangkan dan jauh dari tindak anarkis.

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...