Selasa, 09 Februari 2021

“MENGIKAT” HATI DI MASJID



Amalan ibadah yang sebenarnya mudah namun memiliki keutamaan yang besar adalah shalat jamaah di masjid. Mudah dilakukan karena setiap orang mampu tanpa harus repot-repot mendaftar, gratis dan ringan. Bandingkan dengan ibadah haji yang prosesnya begitu rumit, syarat yang tidak mudah dipenuhi dan pasti menggunakan (memerlukan) dana yang besar. Terlebih seperti saat pandemi seperti sekarang, untuk ibadah ke tanah suci semakin ketat persyaratannya.

Lalu, mengapa ibadah shalat jamaah yang murah dan mudah namun tinggi nilainya tidak banyak “penggemarnya”?. Apakah masih kurang yakin dengan janji mendapat kelipatan 27 derajat bagi yang mengerjakannya. Apakah tidak percaya bahwa setiap langkah menuju ke masjid dapat menggugurkan dosa-dosa. Apakah begitu sibuknya sehingga untuk “sowan” kepada Maha Dzat pemberi kehidupan kita, sudah tidak ada waktu lagi..? Berbagai pertanyaan yang tidak terjawab sampai saat ini. Karena kenyataan berbicara, masjid selalu kalah ramai dari warung-warung kopi yang ber-wifi gratis. Kalah keren dengan kafe-kafe yang pelayannya “kemayu” dan murah senyum.

Waktu kecil dulu, ketika ngaji “Mabadi Fiqih” guru kami ketika menjelaskan hukum berjamaah di masjid adalah Fardu Kifayah. Kemudian selalu diiringi dengan penjelasan, bahwa maksud Fardu Kifayah adalah, bila ibadah tersebut telah ada yang melakukan, maka yang lain tidak wajib melaksanakan lagi. Dari dulu saya “mikir” mengapa penjelasannya terkesan “menggampangkan”. Kenapa tidak menggunakan penekanan untuk melaksanakan meski makna sebenarnya sama. Misalnya seperti ini: Shalat berjamah itu hukumnya Fardu Kifayah, kewajiban yang harus dilaksanakan oleh muslim laki-laki, namun bila ada halangan (udzur) maka tidak berdosa meninggalkannya.

Dalam ibadah shalat berjamaah kita mendapat pelajaran berharga tentang kehidupan bermasyarakat. Hikmah besarnya kita mendekat selalu kepada Allah, karena memenuhi panggilannya. Kita juga dekat dengan tetangga-tetangga kita, yang pastinya tak ada waktu untuk silaturrahim ke rumah mereka satu persatu. Kita belajar menaati pemimpin (imam) dan mengakui persamaan hak. Ketika datang lebih awal maka memiliki kesempatan mendapat tempat yang utama di shaf depan. Jamaah yang datang belakangan baginya shaf yang belakang adalah bagiannya, tidak peduli meski memiliki status sosial yang tinggi.

Memang tidak semua terpanggil oleh muadzin yang mengajak shalat berjamaah. Yang memiliki badan sehat belum tentu mampu melangkahkan kaki menuju masjid. Yang memiliki ilmu tinggi belum tentu memiliki kesadaran untuk hadir dan ruku’ sujud bersama. Yang harta berlimpah belum tentu memiliki kesempatan menginjakkan kaki-kakinya di rumah Allah (Masjid). Namun bagi orang yang hatinya sudah terikat dengan masjid, panggilan adzan akan ringan ia penuhi. Hatinya gelisah, gundah gulana bila tidak bisa ambil bagian mereguk nikmatnya ibadah berjamah di masjid.

 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...