Senin, 13 Juli 2020

Dialektika#2-Ajining Diri Saka Lathi, Ajining Raga Saka Busana


Siang itu selepas sholat jemaah zuhur di musholla, Kiai Sholeh berbaring istirahat di ruang tengah rumahnya. Belum sempat memejamkan mata terdengar suara keras dari depan rumahnya.

"Assalamualaikum...." suara lantang sembari mengetuk pintu rumah. Rupanya sudah menunggu Paimo di depan rumah Kiai Sholeh. Orang sering memanggilnya Paimo padahal nama sebenarnya adalah Budiman. Orang kampung menganggap Paimo adalah orang yang tidak waras. Semua bermula ketika ia menjadi TKI di Malasyia, menurut cerita dia ditipu temannya sehingga hasil kerjanya bertahun-tahun habis semua dibawa kabur teman dekatnya. Peristiwa yang menggoncangkan jiwanya sehingga menjadikan dia depresi yang sulit disembuhkan.

Kiai Sholeh bangkit mengenakan baju kokonya kembali, menyisir rambut di depan cermin dan memakai kopyahnya kemudian bergegas ke ruang tamu. Sudah biasa setiap menerima tamu, kiai Sholeh akan menyambut dengan baik. Siapa pun tamu yang datang tidak akan dibedakan. Kiai Sholeh tak akan menemui tamunya sebelum merapikan baju yang dipakainya dan menyisir rambutnya yang sudah separuh memutih. Pernah Bu Sholeh protes tentang kebiasaan “dandan” yang dilakukan suaminya setiap hendak menemui tamunya.

"Menghormati tamu itu wajib bu, kedatangan tamu membawa kebaikan bagi tuan rumah" begitu alasan Kiai Sholeh. “Kita tidak bisa memberi hidangan dan tempat yang layak, setidaknya bisa menerima dengan sambutan yang baik”. Sejak mendapat penjelasan dari suaminya Bu Sholeh bisa memahami alasan kebiasaan Kiai Sholeh selama ini.

Seperti itu prinsip Kiai Sholeh, Ajining diri saka lathi; kehormatan diri atau harga diri terlihat dari tutur kata. Sikap luhur terbentuk karena pribadi yang selalu berhati-hati dalam berkata. Seseorang yang perkataannya baik akan memiliki kehormatan dalam pandangan orang, sebaliknya tutur kata yang jelek akan menjadikan orang kurang mendapat respek. Ajining raga saka busana; Kehormatan badan kita terletak dari pakaian yang kita kenakan. Penampilan yang baik adalah bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Tampilan fisik yang bersih dan rapi secara umum adalah gambaran kepribadian yang baik.

Konon ulama terkenal Buya Hamka juga orang yang senantiasa berpenampilan rapi. Bahkan ketika menjelang akhir hayat beliau, ketika sakit keras dan diantar ke rumah sakit, beliau sempat bertanya pada anaknya, “Bagaimana kopyah ayah sudah rapi…?, bertemu el-maut pun saya harus tampak garang”.

*****

“Wa’alaikum salam…silakan masuk...” Dengan khas keramahannya Kiai Sholeh mempersilakan tamu “spesialnya” masuk. “Ohh…kowe to Mo” (Ohh.. kamu to Mo). Cengar-cengir Paimo masuk dan mencium tangan Kiai Sholeh.

“Begini Pak Yai, saya mau minta fatwanya”. Tanpa basa-basi Paimo langsung menyampaikan maksud kedatanganya. “Fatwa opo..?” sambil duduk di kursi Kiai Kampung yang dikenal sosok penyabar ini bertanya kepada Paimo. “Saya ini waras tidak Pak Yai?”. Kiai Sholeh tersenyum mendapat pertanyaan aneh dari tamunya ini. “Memang kenapa Mo?”. Paimo memulai menceritakan ihwalnya. “Kemarin saya minta surat keterangan sehat di PUSKESMAS tapi tidak diberi, katanya saya tidak sehat”. Sambil manggut-manggut Kiai Sholeh mendengar cerita Paimo. “Terus untuk keperluan apa Mo, kamu membuat surat keterangan sehat?”. Kiai Sholeh melanjutkan pertanyaannya. “Begini Pak Yai, saya akan mencalonkan diri menjadi anggota DPR”. Sedikit kaget mendengar jawaban Paimo yang spontan itu. Sambil geleng-geleng dan tersenyum Kiai Sholeh menyahut. “Lho…nanti kalau kamu jadi anggota DPR siapa yang bantu saya bersih-bersih langgar, mengganti genteng yang bocor”. Tampak mimik Paimo serius mendengarkan perkataan Kiai Sholeh. “Tidak usah ikut-ikut mencalonkan diri jadi anggota DPR, sudah biar itu diurusi orang lain”. Paimo termenung sejenak, sepertinya dia sedang berpikir. “Tapi sebagai warga negara saya juga punya hak Pak Yai”. Paimo tampak masih belum puas dengan jawaban Kiai Sholeh. “Tapi kamu tidak cocok Mo jadi anggota DPR, wis… saya tidak merestui niatmu itu”. Kali ini Paimo terdiam, tidak berani membantah lagi. Satu-satunya orang yang disegani di kampung cuma Kiai Sholeh. Biasanya dia akan selalu menuruti nasihat Kiai sederhana ini. “Kalau begitu saya tidak jadi pak Yai”. Paimo bangkit dari duduk, tampak raut wajahnya kusut. Buru-buru dia mencium tangan Kiai Sholeh dan bergegas keluar rumah.

Tidak sekali dua kali Paimo membuat gaduh. Namun kebesaran hati Kiai Sholeh tampak dari sikapnya yang tetap baik meskipun terhadap orang yang disebut orang tidak waras.

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...