“EWUH PAKEWUH”
Di Indonesia suku Jawa dikenal sebagai suku yang
memiki perilaku dan tutur kata yang halus. Meskipun sebenarnya di Jawa sendiri
terdiri dari berbagai logat yang berbeda-beda. Di Solo, Yogyakarta maupun
kota-kota disekitarnya dikenal dengan Bahasa Jawa yang halus. Di Banyumas dan
daerah Jawa Tengah bagian barat di kenal dengan Bahasa Jawa Ngapaknya. Jawa
Timur bagian utara, Surabaya dan sekitarnya (Gresik, Sidoarjo), logat bahasanya
adalah Dialek Arekan yang khas dengan kosa kata tegas atau terdengar agak ‘kasar’ bila dibanding dengan
wilayah Jawa yang lain. Kawasan timur Jawa Timur yang dikenal wilayah tapal kuda meliputi; Pasuruan,
Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso dan Banyuwangi memiliki
logat Bahasa Madura. Terlepas dari fakta tersebut orang Jawa secara umum dikenal
memiliki karakter tutur bahasa yang halus, perasaan yang lembut memiliki etika
sopan santun dalam pergaulan. Itulah pandangan orang luar Jawa terhadap perilaku
dan bahasa orang Jawa dalam pergaulan sehari-hari.
Di
Jawa ada istilah Éwuh Pakewuh’ atau bila kita artikan dalam Bahasa
Indonesia padanan kata yang mendekati artinya adalah segan. Rasa kehati-hatian
dalam tindakan atau tutur kata dalam pergaulan orang Jawa. Ketika kita main
ke rumah teman, kemudian ditawari makan, biasanya akan menjawab baru makan atau
masih kenyang, padahal perut sedang lapar-laparnya. Kemudian beberapa saat lagi
biasanya tuan rumah akan menawari makan lagi, kita masih jawab dengan alasan
yang lain, baru ketika tawaran ketiga kita akan berangkat makan dengan penuh
semangat. Sebenarnya bukan niat berbohong
ketika kita menjawab kenyang, namun kita sedang memastikan apakah tawaran makan
tadi sungguh-sungguh atau sekedar basa-basi.
Teringat
kisah teman saya ketika waktu dia merantau ke luar Jawa, waktu itu dia main
kerumah temannya, setelah berbincang-bincang beberapa saat, temannya mengajak
dia makan bersama, spontan dia menjawab bahwa ia baru saja makan. Meskipun sebenarnya
dalam hati dia memang berharap diajak makan tadinya. ‘Ewuh Pakewuh” kalau
langsung menjawab ia, menunggu nanti kalau ditawari makan lagi baru berangkat.
Ternyata tawaran makan tidak datang untuk kedua kalinya. Dan ternyata kebiasaan
ewuh pakewuh atau segan ini tidak cocok dipakai ketika kita berada di luar
Jawa, kita harus jujur tidak usah sungkan, karena tidak akan ada tawaran kedua
apalagi ketiga.
Ada
sebuah analisa yang menurut saya belum tentu benar namun bisa kita renungkan.
Orang Jawa memiliki baju adat yang menyimbulkan budaya ewuh pakewuhnya.
Blangkon (penutup kepala) orang Jawa itu bentuknya unik, di depan rata, namun
di belakang ada bundalannya. Orang Jawa itu kalau di depan orang bahasanya halus
meskipun trerhadap orang yang dia benci, dia mampu menyembunyikan
ketidaksukaannya terhadap seseorang, beda dengan orang Medan atau Makasar dia akan
menyampaikan secara jujur kalau memang dia tidak suka. Keris sebagai senjata
khas orang Jawa disimpan di belakang badan, mengapa tidak di depan seperti
orang Bugis? Karena orang Jawa segan ewuh pakewuh menampakkan senjatanya.
Lalu
mana yang lebih unggul, budaya ewuh pakewuh atau budaya yang jujur dan terbuka.
Kita tidak perlu membandingkan ciri khas budaya suku tertentu dengan suku yang
lainnya. Sebagaimana kita tidak perlu membandingkan mana yang lebih unggul antara
pohon kelapa dengan pohon pisang, pohon kelapa seperti itu… pohon pisang ya seperti
itu… Tingginya pohon kelapa melebihi pohon pisang bukan berarti menunjukkan dia
lebih unggul dari pohon pisang, karena parameternya tidak semata itu.
Kehati-hatian dalam bersikap dan bertutur kata adalah hal bagus, namun keterbukaan
dan kejujuran juga bagus.