Selasa, 05 Mei 2020

“EWUH PAKEWUH”


           


“EWUH PAKEWUH”
            Di Indonesia suku Jawa dikenal sebagai suku yang memiki perilaku dan tutur kata yang halus. Meskipun sebenarnya di Jawa sendiri terdiri dari berbagai logat yang berbeda-beda. Di Solo, Yogyakarta maupun kota-kota disekitarnya dikenal dengan Bahasa Jawa yang halus. Di Banyumas dan daerah Jawa Tengah bagian barat di kenal dengan Bahasa Jawa Ngapaknya. Jawa Timur bagian utara, Surabaya dan sekitarnya (Gresik, Sidoarjo), logat bahasanya adalah Dialek Arekan yang khas dengan kosa kata tegas atau  terdengar agak ‘kasar’ bila dibanding dengan wilayah Jawa yang lain. Kawasan timur Jawa Timur yang dikenal wilayah tapal kuda meliputi; Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso dan Banyuwangi memiliki logat Bahasa Madura. Terlepas dari fakta tersebut orang Jawa secara umum dikenal memiliki karakter tutur bahasa yang halus, perasaan yang lembut memiliki etika sopan santun dalam pergaulan. Itulah pandangan orang luar Jawa terhadap perilaku dan bahasa orang Jawa dalam pergaulan sehari-hari.
            Di Jawa ada istilah Éwuh Pakewuh’ atau bila kita artikan dalam Bahasa Indonesia padanan kata yang mendekati artinya adalah segan. Rasa kehati-hatian dalam tindakan atau tutur kata dalam pergaulan orang Jawa. Ketika kita main ke rumah teman, kemudian ditawari makan, biasanya akan menjawab baru makan atau masih kenyang, padahal perut sedang lapar-laparnya. Kemudian beberapa saat lagi biasanya tuan rumah akan menawari makan lagi, kita masih jawab dengan alasan yang lain, baru ketika tawaran ketiga kita akan berangkat makan dengan penuh semangat.  Sebenarnya bukan niat berbohong ketika kita menjawab kenyang, namun kita sedang memastikan apakah tawaran makan tadi sungguh-sungguh atau sekedar basa-basi.
Teringat kisah teman saya ketika waktu dia merantau ke luar Jawa, waktu itu dia main kerumah temannya, setelah berbincang-bincang beberapa saat, temannya mengajak dia makan bersama, spontan dia menjawab bahwa ia baru saja makan. Meskipun sebenarnya dalam hati dia memang berharap diajak makan tadinya. ‘Ewuh Pakewuh” kalau langsung menjawab ia, menunggu nanti kalau ditawari makan lagi baru berangkat. Ternyata tawaran makan tidak datang untuk kedua kalinya. Dan ternyata kebiasaan ewuh pakewuh atau segan ini tidak cocok dipakai ketika kita berada di luar Jawa, kita harus jujur tidak usah sungkan, karena tidak akan ada tawaran kedua apalagi ketiga.
Ada sebuah analisa yang menurut saya belum tentu benar namun bisa kita renungkan. Orang Jawa memiliki baju adat yang menyimbulkan budaya ewuh pakewuhnya. Blangkon (penutup kepala) orang Jawa itu bentuknya unik, di depan rata, namun di belakang ada bundalannya. Orang Jawa itu kalau di depan orang bahasanya halus meskipun trerhadap orang yang dia benci, dia mampu menyembunyikan ketidaksukaannya terhadap seseorang, beda dengan orang Medan atau Makasar dia akan menyampaikan secara jujur kalau memang dia tidak suka. Keris sebagai senjata khas orang Jawa disimpan di belakang badan, mengapa tidak di depan seperti orang Bugis? Karena orang Jawa segan ewuh pakewuh menampakkan senjatanya.
Lalu mana yang lebih unggul, budaya ewuh pakewuh atau budaya yang jujur dan terbuka. Kita tidak perlu membandingkan ciri khas budaya suku tertentu dengan suku yang lainnya. Sebagaimana kita tidak perlu membandingkan mana yang lebih unggul antara pohon kelapa dengan pohon pisang, pohon kelapa seperti itu… pohon pisang ya seperti itu… Tingginya pohon kelapa melebihi pohon pisang bukan berarti menunjukkan dia lebih unggul dari pohon pisang, karena parameternya tidak semata itu. Kehati-hatian dalam bersikap dan bertutur kata adalah hal bagus, namun keterbukaan dan kejujuran juga bagus.



Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...