Sabtu, 10 April 2021

MENSYUKURI (BISA) MENULIS



Hujan masih deras, tumpah-ruah turun ke bumi. Seakan tak pernah ada habisnya. Disusul gempa yang lumayan mengagetkan. Di emperan ruko saya berteduh, mencoba memulai menulis sekata dua kata. Sembari menunggu hujan yang reda, daripada melamun atau sekadar melihat orang yang lalu-lalang, tentu akan lebih menulis sedapatnya dengan ponsel. Masalah memindah dan menyunting di laptop tentu bukan urusan yang sulit.

Beberapa waktu yang lalu waktu ketika mendampingi orang tua kami yang sakit, beliau (bapak) bercerita. Dulu ternyata sempat mengenyam pendidikan formal juga. Meski akhirnya harus berhenti ketika baru beberapa tahun sekolah. Tapi masih beruntung walau tidak tamat, tapi sudah bisa baca dan tulis. Ini adalah hal yang harus disyukuri.

Menurut cerita Bapak, dulu sekolah tidak membawa alat tulis. Buku, pulpen atau pensil masih menjadi barang mahal yang tidak mudah didapatkan. Hanya ketika di sekolah siswa dipinjami alat tulis yang namanya “Sabak”. Alat ini bisa digunakan untuk menulis kemudian bisa dihapus lagi. Mirip papan tulis edisi mini. Tapi Sabak sangat berat karena terbuat dari lempengan batu karbon segi empat. Menulisnya menggunakan grip yang berbentuk mirip dengan pensil.

Berhenti sekolah sebenarnya bukan karena Bapak tidak suka belajar. Justru menurutnya, beliau sebenarnya sangat senang bisa sekolah. Tapi faktor biaya yang mengharuskan beliau berhenti sekolah. Baju yang digunakan sekolah pun cuma satu pasang. Nenek tidak pernah membiayai kebutuhan sekolah bapak. Setiap kali diminta uang sekolah tidak pernah dibayar, sebenarnya bukan karena tidak bisa membiayai kebutuhan anaknya, tapi nenek memang tidak mendukung anak-anaknya sekolah.

Dalam pandangannya, sekolah bukan urusan yang penting. Pokok bisa mangan cukup, nyandang sepantasnya dan memuliki rumah yang layak. Walhasil, bapak sering “dijejer” gurunya karena tidak bisa membayar iuran sekolah. Dulu sudah menjadi kebiasaan guru memberi sanksi muridnya dengan cara dijejer, disuruh berdiri di depan kelas.

Tentu kami tidak akan meyalahkan kakek dan nenek kami yang memiliki pandangan yang keliru tentang pendidikan. Memang sebatas itulah pengetahuan yang mereka miliki. Zaman memang jauh berbeda, antara dulu dengan sekarang. Masyarakat secara umum memiliki pandangan bahwa pendidikan itu tidak penting. Pendidikan masih dianggap menjadi kebutuhan orang-orang tertentu, misalnya orang kaya atau bangsawan. Pendidikan belum menjadi kebutuhan semua orang.

 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...