Sabtu, 30 Juli 2022

Menghindari Penyakit Riya’



Saat ini kita dihadapkan pada suatu masa, ketika harta, kedudukan, serta pujian manusia menjadi ukuran kemuliaan dan ketinggian seseorang di hadapan yang lain. Pola pandang keduniawian yang hanya melihat materi sebagai ukuran. Bahwa orang hebat adalah yang terkenal dan namanya sering disebut di mana-mana, orang sukses adalah orang yang punya kedudukan serta jabatan tinggi. Orang besar adalah mereka yang selalu bekecukupan harta dan hidup tanpa kesusahan, serta banyak indikator-indikator ‘palsu’ dimunculkan untuk merusak pemahaman manusia tentang makna kesuksesan dan kemuliaan. Supaya manusia tertipu dan lupa pada hakikat ketinggian dan kemuliaan yang sebenarnya, yakni ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah.

Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa (kepada Allah). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Mahateliti”. (QS al-Hujurat: 13)

Pola pandang keduniawian salah satunya adalah dampak dari kemajuan di bidang tehnologi. Kemajuan tehnologi di bidang komunikasi telah banyak memberi manfaat bagi umat manusia, namun di sisi lain banyak pula memberi mudharat bagi kita. Kita sadari atau tidak ada pergeseran nilai dalam masyarakat yang cenderung menjadi hedonis, sifat yang mengagungkan dan mengutamakan kenikmatan dunia.

Kemajuan tehnologi menjadikan kita tidak tersekat lagi dengan jarak yang jauh, dan dengan media sosial kita mampu berinteraksi dengan cepat dengan kolega kita di manapun berada.

Namun, banyak masyarakat kurang bijak dalam menggunakan media sosial untuk berkomunikasi, menyebarkan berita bohong, memfitnah orang atau golongan tertentu bahkan menebar kebencian dan permusuhan.

Ada hal yang mungkin kita sering lakukan, media sosial kita gunakan untuk publikasi kegiatan sehari-hari kita, aktifitas kerja, aktifitas keluarga bahkan ibadah kita. Meskipun hal itu tidaklah terlarang, namun ada bahaya yang sedang mengancam kita, yakni kita cenderung terjangkit penyakit riya’.

Akibatnya, banyak orang yang akhirnya beramal hanya demi mencari pujian dan kerelaan manusia, tanpa peduli lagi pada pahala dan balasan dari Allah. Asal pekerjaan itu disenangi dan dikagumi serta mulia di mata manusia. Akhirnya, muncullah golongan manusia yang beramal supaya dilihat dan dipuji oleh orang lain, atau beramal karena riya’. Mereka berebut agar bisa menjadi objek pujian dan perhatian manusia dalam setiap amal yang mereka kerjakan. Karena mereka menganggapnya sebagai upaya ‘mengejar kesuksesan’.

Tanpa disadari, sebenarnya mereka sedang mengejar kesia-siaan. Mereka lupa, bahwa hidup bukan hanya sekedar untuk mencari pujian dan kebanggaan palsu. Dan lupa, bahwa esensi dari penciptaan mereka di dunia ini adalah untuk beribadah ikhlas hanya kepada-Nya. Semua perbuatan kita, baik atau buruk, besar atau kecil pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal. Bagi mereka yang beramal karena Allah, Allah sendirilah yang telah menjamin pahala dan balasannya.

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mencari keridhaan Allah meskipun ia memperoleh kebencian dari manusia, maka Allah akan mencukupkan dia dari ketergantungan kepada manusia. Dan barangsiapa yang mencari keridhaan manusia dengan mendatangkan kemurkaan Allah, maka Allah akan menyerahkanya kepada manusia.” (HR Tirmidzi).

Yang menyedihkan, penyakit haus pujian atau riya’ ini ternyata tidak hanya menyerang kalangan awam saja. Bahkan banyak pengidapnya justru orang-orang yang faham akan bahaya riya’ itu sendiri. Mereka yang ahli ibadah, para da’i dan mubaligh, thalibul ilmi, justru lebih berpotensi besar terjangkiti virus ini. Kuantitas amal shalih yang mereka kerjakan, ternyata membuat setan tergiur untuk mengggelincirkan kelompok ini, agar keikhlasan mereka pudar, dan ganti beramal untuk manusia, pujian, serta kedudukan

Sebagian Ulama’ menjelaskan ta’rif (pengertia) dari riya’, “Riya’ adalah ibadahnya seseorang kepada Allah, akan tetapi ia melakukan dan membaguskannya supaya di lihat dan dipuji oleh orang lain, seperti dikatakan sebagai ahli ibadah, orang yang khusyu’ shalatnya, yang banyak berinfaq dan sebagainya.” Intinya dia ingin agar apa yang dikerjakan mendapat pujian dan keridhoan manusia. Rasulullah menyebut riya’ dengan “syirik kecil”, karena sejatinya pelaku riya’ tidak mutlak menjadikan amalan tersebut sebagai bentuk ibadah kepada manusia, serta sarana taqarrub kepadanya. Meskipun begitu, bahayanya tak bisa dianggap sebelah mata.

Jama’ah shalat jum’at yang dirahmati Allah SWT

Jauh-jauh hari Rasulullah sudah memperingatkan kita tentang betapa bahayanya “syirik kecil” ini. Beliau bersabda,

Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya: Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Riya’, Allah ‘azza wajalla berfirman kepada mereka pada hari kiamat saat semua manusia diberi balasan atas amal-amal mereka: Temuilah orang-orang yang dulu kau perlihatkan amalmu kepada mereka di dunia, lalu lihatlah apakah kalian menemukan balasan disisi mereka?” (HR Ahmad)

 

Imam an-Nawawi dalam kitab Riyadush Shalihin, dalam bab Tahriimur Riya’ (pengharaman riya’) menyebutkan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah. Dalam hadist tersebut Rasulullah bersabda tentang tiga orang yang pertama kali di hisab pada hari kiamat. Mereka adalah orang yang mati syahid dalam pertempuran, seseorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, serta orang yang selalu berinfaq di jalan Allah. Setelah mereka dipanggil, maka ditunjukkan kepada mereka kenikmatan dan pahala yang banyak karena amal shalih yang telah mereka kerjakan. Namun ternyata pahala mereka musnah, dan ketiganya justru menjadi penghuni neraka, karena ternyata amal kebaikan yang mereka kerjakan di dunia hanya bertujuan mendapatkan pengakuan dan pujian dari manusia. Mereka menjual pahala dan kenikmatan akhirat demi manisnya ucapan dan indahnya pandangan orang lain. Na’udzu billahi min dzalik.

Bagaimana cara kita menjauhi virus yang satu ini? Solusinya adalah dengan berusaha untuk ikhlas di setiap amal yang kita kerjakan, dan selalu berupaya protektif menjaganya. Karena setan tak akan pernah menyerah untuk memberikan bisikan-bisikannya demi menggoyahkan dan merusak keikhlasan seseorang. Agar manusia menjadi budak sesamanya, beramal untuk kepuasan semu, serta mencampuradukkan tujuan hakiki amal shalih dengan tujuan bathil.

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...