Sabtu, 31 Juli 2021

KEMULIAAN HAKIKI


 

Menjadi mulia di mata manusia itu tidak mudah, dan yang pasti lebih sulit adalah mencapai derajat mulia di sisi Allah. Mulia dalam pandangan manusia belum tentu mulia dalam pandangan Allah. Sebaliknya, hina menurut penilaian orang tidak pasti ia hina di hadapan Allah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. -Surat Al-Hujurat Ayat 13-

Dalam hidup ini kita banyak mendapat pelajaran yang berharga. Mengambil ibrah untuk dijadikan pegangan meniti jalan hidup manusia kadang susah ditebak. Sering kita mendapat hal (ilmu) penting dari orang yang sederhana. Orang yang dari segi pendidikan bisa disebut tidak tinggi, tidak terpelajar. Tapi, mutiara tetaplah mutiara meski ia keluar dari lumpur yang.

Mungkin ini yang mendasari saya menganggap penting untuk selalu mendengar cerita dari siapa saja. Berusaha mengambil pelajaran dan hikmah yang terpendam dari sebuah pengalaman. Tidak terlalu penting siapa yang berbicara, selama apa yang dikatakan ada baiknya tentu harus diterima.

Kesaksian penggali kubur. Ini bukan cerita sinetron televisi, tapi kisah nyata yang baru saya terima kemarin. Sudah menjadi kebiasaan di kampung kami, setiap ada orang meninggal dunia, kelompok relawan penggali kubur siap beraksi tanpa mendapat upah sama sekali. Ini tradisi yang sudah berjalan lama.

Malam itu para penggali kubur desa kami membuat galian untuk makam baru. Tak disengaja, pada kedalaman tertentu tanah yang digali ternyata mengenai makam lama yang berada di sebelahnya. Kuburan lama tersebut terbuka hingga tampak kain kafannya. Yang membuat semua heran, ternyata jenazah dan kain kafan terlihat masih bagus. Padahal diketahui jenzah tersebut sudah lama.

Yang lebih menakjubkan keluar aroma wangi dari kuburan yang terbuka tersebut. Usut punya usut ternyata makam tersebut adalah makam orang biasa. Bukan ulama atau kiai, bukan pula tokoh yang terkenal. Bahkan semasa hidupnya orang tersebut konon katanya ditelantarkan oleh keluarganya sendiri. Lalu mengapa orang seperti itu memiliki tanda kemuliaan setelah dia meninggal?. Allah yang Mahatahu, bisa jadi dia rendah dalam pandangan manusia namun mulia di sisi Allah. Wallahu’alam….

 

Jumat, 30 Juli 2021

BERJALAN TERUS, WALAU PELAN



Menulis itu memerlukan konsistensi, membutuhkan kesabaran dan kemampuan bertahan. Bertahan dari godaan untuk berhenti menulis. Seringkali kita diuji dengan rasa jenuh, letih dan kehilangan motivasi. Bila ujian seperti itu datang dan kita turuti, sudah pasti kita akan tenggelam dalam rasa malas dan sulit untuk memulai lagi.

Biarlah pelan tapi tetap berjalan. Biarpun hanya selangkah yang bisa kita lakukan, namun itu tetap berarti penting. Se-inchi menuju harapan jauh lebih baik daripada hanya bisa diam tanpa mampu berbuat apa-apa. Begitulah saya membangkitkan semangat diri sendiri di saat mulai muncul rasa bosan dalam diri.

Yang penting terus menulis, meski sering sekali tidak puas dengan apa yang telah ditulis. Saya tentu tidak lagi membebani diri sendiri, tidak khawatir tulisan saya tidak diterima baik oleh pembaca. Atau bahkan tidak ada yang membaca sekalipun, tidak pernah menjadi masalah. Dengan menulis ada alasan mengapa saya selalu berusaha bersyukur. Setidaknya saya telah menggerakkan jemari agar tetap lentur dan mengusik pikiran untuk bangun dari lamunan yang melalaikan.

Perjalanan panjang dengan banyak teman baik tentu sangat menyenangkan. Rasa lelah akan terobati dengan hadirnya tawa dan canda. Namun di saat kamu harus berjalan sendiri, tidak perlu harus menunggu ada yang menemani. Gambaran inilah yang saya rasakan ketika menulis. Pada waktunya saya lebih senang bila banyak yang menulis, serasa perjalanan yang ditempuh dengan keriangan.

Tapi menulis memang sering identik dengan kesunyian. Dilakukan di saat sunyi, berdialog dengan sunyi, menggali dan mencari rasa dalam kesunyian hati,….sunyi, sepi.

 

Kamis, 29 Juli 2021

TATANAN KEHIDUPAN BARU

 



Sudah satu setengah tahun lebih kita hidup di masa pandemi. Rasanya sudah sangat lelah dan merindukan kehidupan normal seperti dahulu sebelum ada pandemi. Hidup di era pandemi kita jalani dengan tatanan hidup yang baru. Shalat di masjid menjaga jarak, tidak pernah lagi berjabat tangan bila bertemu dengan teman, sillaturrahim dan saling mengunjungi tidak lagi menjadi kebiasaan dan diganti dengan hubungan dunia virtual. Dan yang paling memprihatinkan, sekolah tatap muka menjadi sekolah dengan pembelajaran jarak jauh.

Kita memiliki keyakinan bersama bahwa pandemi akan berakhir, meski kita tidak pernah tahu dengan pasti kapan masanya itu. Apakah nanti kehidupan pasca pandemi akan kembali normal seperti sebelum pandemi, itu juga belum bisa dipastikan.

Sejarah mencatat, perang dunia kedua (PD-II) telah menimbulkan perubahan tatanan kehidupan yang baru. Perekonomian dunia pasca PD-II mengalami kekacauan. Banyak negara yang kehidupan sosialnya hancur. Meski demikian terdapat dampak positifnya juga. Dalam bidang budaya, PD-II memberikan dampak bagi berkembang pesatnya Ilmu pengetahuan dan menghasilkan teknologi yang lebih maju jauh mengungguli periode sebelumnya.

Pandemi memang beda dengan PD-II. Tapi dampak yang dirasa tidak akan jauh dari situasi perang. Bukankah saat ini negara-negara di dunia juga mengalami kekacauan dalam berbagai bidang, baik itu ekonimi, sosial budaya dan bahkan merembet pada aspek politik. Kekacauan global ini mustahil akan cepat pulih dalam waktu yang singkat.

Kehidupan seperti “direset” kembali. Tatanan kehidupan baru menjadi konsensus antar bangsa di dunia. Seluruh masyarakat dunia selalu diingatkan dalam kesadaran bersama untuk mentaati protokol kesehatan. Memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Lalu apakah kebiasaan baru dalam masa pandemi ini akan tetap dipertahankan meski pandemi telah usai?. Jawabannya tidak akan bisa pastikan saat ini, karena semua serba tidak pasti.

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...