Dalam suasana gerimis dan di bawah penerangan lampu minyak yang
temaram, Kiai Sholeh duduk bersandar di teras surau tua depan rumahnya. Surau
kecil di pojok kampung yang setiap malam ada beberapa anak mengaji. Setelah
magrib mengaji Al-Qur’an, selanjutnya bakda Isya diteruskan dengan mengaji
kitab-kitab kecil ala pesantren salaf. Di kampung itu Kiai Sholeh dikenal
sebagai orang yang alim dan dipercaya mengerti “babakan” agama. Memang
pada waktu itu hanya sedikit orang yang pernah ngaji di pondok, dan beliau
adalah satu orang yang beruntung pernah nyantri di sebuah pondok yang cukup
dikenal di salah satu kota Jawa Timur. Sebagai kiai kampung beliau menjadi
tempat bertanya masyarakat, menjadi imam langgar dan jamaah tahlil, ceramah
acara aqiqah sampai mengurusi jenazah.
Tampak wajah Kiai Kampung itu merenung, sambil matanya kosong
menerawang gelapnya malam. Satu minggu lagi janjinya untuk melunasi hutang
kepada Haji Jumari juragan ikan akan tiba. Hutang yang dulu jumlahnya hampir
mencapai sepuluh juta. Namun sekarang tinggal tersisa lima juta saja, setelah beberapa
kali Kiai Sholeh selalu mencicil hutangnya. Karena keadaan terdesaklah yang
memaksa ia harus berhutang. Setahun yang lalu istrinya harus menjalani operasi
tumor. Karena tidak memiliki biaya yang cukup dia harus berhutang kepada
temannya mondok dulu, Haji Jumari yang sekarang dikenal dikampungnya sebagai
orang terkaya.
“Terus mengapa harus bersyukur mbah?” Tanya Rudi memecah
suasana hening malam. Anak-anak yang mengaji di surau sudah biasa memanggil
dengan sapaan “mbah”, bukan seperti tradisi di pesantren yang memanggil Bapak
Kiai.
“Iya harus bersyukur, karena Allah telah melimpahkan banyak
nikmat kepada kita”. Jawab Kiai Sholeh dengan nada yang tegas.
“Kalau hidupnya
susah, miskin apa masih harus bersyukur?” Andik menyahut sambil menggaruk-garuk
rambut kribonya yang mirip dengan rambut penyanyi rock Ahmad Albar.
“Tetap harus bersyukur, karena nikmat dari Allah bukan cuma
berupa materi harta benda, banyak uang, punya rumah bagus atau sawahnya luas”.
Kiai sholeh tampak semangat menjelaskan pentingnya syukur, sambil sesekali dia
menyulut rokok klobotnya yang padam.
“Nikmat Allah sangat banyak, bahkan seandainya kita
menghitung tidak akan mampu. Dari nikmat yang besar seperti: iman, Ilmu,
kesehatan badan, sampai pada nikmat yang jarang diperhitungkan”.
“Nikmat apa itu mbah..? Nikmat ko’ tidak pernah
diperhitungkan” Tukas Ali begitu antusias mendengar semua wejangan kakeknya.
“Siang hari waktu panas kamu duduk di bawah pohon, terus
ada angin semilir, itu juga nikmat yang harus kamu syukuri”.
Suasana sejenak kembali hening. Gerimis sudah berhenti,
udara dingin menjadikan suasana kampung tampak semakin sunyi. Suara kodok
sahut-menyahut bagai simponi yang indah. Begitulah suasana kampung kecil yang
setiap malam serasa senyap dan gelap karena belum ada aliran listrik. Dalam
sunyi kembali Kiai Sholeh lamunannya berputar mencari jalan keluar dari urusan
hutang yang membelitnya. Apa harus minta waktu lagi untuk menunda membayar
hutangnya. Ah, rasanya malu. Sudah dua kali meminta waktu menunda pembayaran
hutang. Sebenarnya Haji Jumari tidak pernah menagih, namun Kiai Sholeh merasa
malu hati kalau harus menunda lagi janji melunasi hutangnya.
“Terus kalau sakit apa masih harus bersyukur mbah?” Tiba-tiba
Mukhlis bertanya. Dari tadi anak yang badannya berperawakan besar dan
biasa dipanggil “Gembul” ini hanya mendengar Kiai Sholeh menjelaskan
makna syukur.
“Iya, bahkan ketika sakit pun kita masih harus bersyukur.
Karena di dalam sakit ada nikmat Allah yang besar”.
”Apa itu?” Serentak Ali dan Rudi bertanya. Tampak wajah
mereka penasaran, karena heran mengapa orang sakit masih harus bersyukur.
“Begini le…orang yang diberi ujian Allah berupa sakit,
kalau dia sabar maka Allah akan mengangkat dosa-dosanya, bukankah itu juga
nikmat?”
“Oooh….” Kompak mereka menjawab. Tampak wajah mereka lega,
hilang semua penasaran santri-santri Kiai Sholeh setelah mendengar ulasan dari
gurunya.
“Kalau begitu manusia sepanjang hidup harus terus bersyukur
mbah?” Ali cucu kesayangan Kiai Sholeh yang masih kelas satu Tsanawiyah
bertanya lagi.
“Iya, harus bersyukur. Kalau tidak bersyukur namanya kufur
le… Kalau kita bersyukur maka nikmat Allah akan bertambah, sebaliknya kalau
kufur kita diancam dengan siksa yang pedih”.
“Ngapunten mbah”, Daroini menyela, dia termasuk anak yang paling besar
diantara murid-murid di surau. Dia sudah kelas 3 Madrasah Aliyah. Anak yang
sedikit bicara namun dikenal memiliki kecerdasan yang lebih dibanding dengan teman-teman
sebayanya.
“Kalau boleh saya menyimpulkan begini….” Tampak semua diam
mendengarkan apa yang akan dikatakan Daroini.
“Semua yang yang diberikan Allah kepada kita harus kita
syukuri, dalam kondisi bagaimanapun kita masih harus bersyukur”. Kiai Sholeh
tampak wajahnya berseri-seri, senang mendengar apa yang dibicarakan Daroini
santri kinasihnya. Tampaknya dia sudah bisa meresapi inti syukur yang jadi
bahan obrolan sejak tadi.
“Tapi mbah…, kalau begitu kita tidak pernah bisa
bersyukur”. Kiai Sholeh terkesiap. Wajahnya penuh tanya mendengar ucapan
Daroini.
“Memang kenapa Dar?” Buru-buru Kiai yang dikenal sabar itu
bertanya penuh selidik.
“Kesadaran bersyukur itu nikmat dari Allah, seharusnya
disyukuri”. Kelihatan anak-anak yang lain melongo, tanda-tanda belum bisa
memahami maksud perkataan Daroini. Wajar saja, bahasa Daroini seperti orang
kuliah-an. Bagi anak-anak musala bahasa seperti itu terlalu rumit, njlimet.
“Syukur kita harus kita syukuri, terus bagaimana kita bisa
mensyukuri nikmat Allah yang banyak tadi”.
Kiai Sholeh manggut-manggut sambil memegangi jenggot putihnya
yang tidak begitu panjang. Dalam hati membenarkan perkataan santrinya.
Kesadaran nurani kita tentang wajibnya syukur adalah sebuah nikmat. Karena
banyak orang diberi nikmat Allah namun tidak mempunyai kesadaran dan kemauan
syukur. Menerawang jauh pandangan Kiai Sholeh, malam semakin terasa sunyi, udara
dingin mulai terasa menusuk tulang. Semua terdiam. Nampak Ali dan Andik menguap
beberapa kali. Matanya mulai sayu menandakan dia sudah diserang rasa kantuk
yang luar biasa.
“Mbah, kalau bisa merokok terus itu juga harus bersyukur
ya…” Rudi iseng bertanya sekenanya memecah kesunyian suasana.
"Wedhus prucul…wis bubar…podho
turu”.
Besungut-sungut wajah Kiai Sholeh sambil berdiri dan merapikan
sarungnya, kemudian bergegas pulang. Sesaat kemudian tidak terdengar lagi suara
anak-anak di musala. Karena semua sudah asyik mengarungi dunia mimpi.
******
Siang itu selepas jemaah salat
Zuhur di musala, Kiai Sholeh berbaring istirahat di ruang tengah rumahnya. Matanya
terpejam namun angannya melayang-layang. Besok adalah hari yang dia janjikan
untuk melunasi hutangnya kepada Haji Jumari. Namun sampai saat ini dia belum
memiliki uang yang dijanjikan itu. Sebenarnya minggu yang lalu dia masih punya sedikit
uang yang telah dikumpulkan dan rencananya akan diberikan kepada Haji Jumari,
tapi kini uang itu sudah tidak ada lagi. Ya, semua sudah diberikan kepada Kang
Parni tetangganya yang pinjam uang untuk biaya melahirkan istrinya. Masih ingat
wajah tetangganya yang memelas, sudah keliling ke beberapa orang namun tidak
memperoleh pinjaman. Akhirnya uangnya yang jumlahnya hanya Rp.500.000 itu
diberikan ke Kang Parni semuanya. Terharu melihat ekspresi tetangganya yang
girang itu dan spontan mendoakan, semoga Allah membalas semua kebaikannya. Terasa
lega benar bisa membantu orang lain. Tapi kini dia harus berpikir lebih keras
lagi, bagaimana cara mendapat uang lima juta dalam sehari untuk menutup
hutangnya.
Tidak ada lagi benda
berharga yang bisa dijualnya. Satu-satunya harta tinggal motor bebek butut
miliknya. Kalau pun laku dijual tentu masih akan kurang banyak. Untuk meminta
pertolongan pada Farid, anak satu-satunya juga sepertinya mustahil. Farid ayah
Ali, hanya seorang guru honorer yang gajinya tentu tidak seberapa.
“Ya Allah, pasti ada jalan keluar dari semua
permasalahan ini, jangan Kau buat hamba malu di depan makhlukmu”. gumamnya
dalam hati.
"Assalamualaikum...."
Suara lantang sembari
mengetuk pintu rumah Kiai Sholeh. Rupanya sudah menunggu Paimo di depan rumah.
Orang sering memanggilnya Paimo padahal nama sebenarnya adalah Budiman. Orang
kampung menganggap Paimo adalah orang yang tidak waras. Semua bermula ketika ia
menjadi TKI di Malasyia, menurut cerita dia ditipu temannya sehingga hasil
kerjanya bertahun-tahun habis semua dibawa kabur teman dekatnya. Peristiwa yang
menggoncangkan jiwanya sehingga menjadikan dia depresi yang sulit disembuhkan.
Kiai Sholeh bangkit
mengenakan baju kokonya kembali, menyisir rambut di depan cermin dan memakai
kopyahnya kemudian bergegas ke ruang tamu. Sudah biasa setiap menerima tamu,
kiai Sholeh akan menyambut dengan baik. Siapa pun tamu yang datang tidak akan
dibedakan. Kiai Sholeh tidak akan menemui tamunya sebelum merapikan baju yang
dipakainya dan menyisir rambutnya yang sudah hampir separuh memutih. Pernah Bu
Sholeh protes tentang kebiasaan “dandan” yang dilakukan suaminya setiap hendak
menemui tamunya.
"Menghormati tamu itu
wajib bu, kedatangan tamu itu membawa kebaikan bagi tuan rumah". Begitu
alasan Kiai Sholeh setiap ditanya oleh istrinya.
“Kita tidak bisa memberi
hidangan dan tempat yang layak, tapi setidaknya bisa menerima dengan sambutan
yang baik”.
Sejak mendapat penjelasan
dari suaminya Bu Sholeh bisa memahami alasan kebiasaan Kiai Sholeh selama ini. Ajining
diri saka lathi, kehormatan diri
atau harga diri terlihat dari tutur kata. Sikap luhur terbentuk karena pribadi
yang selalu berhati-hati dalam berkata. Seseorang yang perkataannya baik akan
memiliki kehormatan dalam pandangan orang, sebaliknya tutur kata yang jelek
akan menjadikan orang kurang mendapat respek. Ajining raga saka busana, kehormatan
badan kita terletak dari pakaian yang kita kenakan. Penampilan yang baik adalah
bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Tampilan fisik yang bersih dan rapi
secara umum adalah gambaran kepribadian yang baik.
Konon ulama terkenal Buya
Hamka juga orang yang senantiasa berpenampilan rapi. Bahkan ketika menjelang
akhir hayat beliau, ketika sakit keras dan diantar ke rumah sakit, beliau
sempat bertanya pada anaknya;
“Bagaimana
kopyah ayah, apakah sudah rapi…?, bertemu el-maut pun saya harus tampak
garang”.
Mungkin inilah salah satu alasan
yang mendasari prinsip Kiai Sholeh menganggap berpenampilan rapi itu penting. Karena
zahir yang baik mencerminkan kebaikan hati.
“Wa’alaikum salam…silakan
masuk...” Dengan khas keramahannya Kiai Sholeh mempersilakan tamunya masuk.
“Ohh…kowe to Mo”
(Ohh.. kamu to Mo). Cengar-cengir Paimo masuk dan mencium tangan Kiai Sholeh.
“Begini Pak Yai, saya mau
minta fatwanya”. Tanpa basa-basi Paimo langsung menyampaikan maksud
kedatanganya.
“Fatwa opo..?” sambil duduk
di kursi Kiai Kampung yang dikenal sosok penyabar ini bertanya kepada Paimo.
“Saya ini waras tidak Pak
Yai?”. Kiai Sholeh tersenyum mendapat pertanyaan aneh dari tamu “spesialnya” ini.
“Memang kenapa Mo?”. Tanya
Kia Sholeh. Tampak mimik Paimo serius dan memulai menceritakan ihwalnya.
“Kemarin saya minta surat
keterangan sehat di PUSKESMAS tapi tidak diberi, katanya saya tidak sehat”.
Sambil manggut-manggut Kiai Sholeh mendengar cerita Paimo.
“Terus untuk keperluan apa
Mo, kamu membuat surat keterangan sehat?”. Kiai Sholeh melanjutkan
pertanyaannya.
“Begini Pak Yai, saya akan macung
mencalonkan diri menjadi anggota DPR”. Sedikit kaget mendengar jawaban Paimo
yang spontan itu. Sambil geleng-geleng dan tersenyum Kiai Sholeh segera menyahut.
“Lho…lo nanti kalau kamu
jadi anggota DPR siapa yang bantu saya bersih-bersih langgar, menguras kamar
mandi atau mengganti genteng yang bocor”. Semakin tampak raut Paimo sungguh-sungguh
mendengarkan perkataan Kiai Sholeh.
“Tidak usah ikut-ikut
mencalonkan diri jadi anggota DPR, sudah biar itu diurusi orang lain”. Paimo
termenung sejenak, sepertinya dia sedang berpikir.
“Tapi sebagai warga negara
saya juga punya hak Pak Yai”. Paimo tampak masih belum puas dengan jawaban Kiai
Sholeh.
“Tapi
kamu tidak cocok Mo jadi anggota DPR, wis… saya tidak merestui niatmu itu”.
Kali ini Paimo terdiam,
tidak berani membantah lagi. Satu-satunya orang yang disegani di kampung cuma
Kiai Sholeh. Biasanya dia akan selalu menuruti nasihat Kiai sederhana ini. Rupanya
meskipun dianggap orang tidak waras Paimo masih memiliki sisi-sisi nalar yang
kritis. Memang sebenarnya masa kecilnya dia dikenal sebagai anak yang pandai.
Kiai Sholeh pun sangat mengenal Paimo karena dulu adalah santri ngaji di
musalanya. Dan kebesaran hati Kiai Sholeh tampak dari sikapnya yang tetap baik
meskipun terhadap orang yang disebut orang tidak waras.
Rupanya di pikiran bawah
sadar Paimo masih menyimpan memori tentang sosok Kiai kampung yang menjadi
gurunya ini, sehingga masih tampak rasa segan setiap kali bersua dengan Kiai
Sholeh. Begitulah Paimo, tidak sekali dua kali dia membuat gaduh. Paimo tidak
pernah takut, malu atau ewuh pakewuh kepada orang lain. Jangankan orang kampung
biasa, Bapak Kepala Desa saja sering dia marahi. Tapi begitu di depan Kiai
Sholeh dia menjadi “jinak” dan menjelma sebagai anak yang penurut.
“Kalau begitu saya tidak
jadi Pak Yai”. Paimo bangkit dari duduk, tampak raut mukanya kusut. Buru-buru
dia mencium tangan Kiai Sholeh dan bergegas keluar rumah.
Kepergian Paimo diikuti
pandangan Kiai Sholeh dengan wajah terharu. Entahlah, meskipun banyak yang
menganggap Paimo orang sinting namun baginya Paimo adalah orang yang patut
dikasihani, bukan malah diperlakukan sebagai orang yang tidak waras akalnya.
“Eh, mo…. Panggil Kiai
Sholeh. Paimo yang sudah sampai di halaman tampak menoleh.
“Kesini, ada barangmu yang
ketinggalan ini”. Dengan gontai Paimo memasuki lagi ruang tamu.
“Ini
apa? Kiai Sholeh menunjukkan amplop coklat yang tergeletak di atas meja.
“Anu,
kuwi titipan’e wong” (Itu titipan orang).
“Tadi di jalan ketemu
orang, nitip itu untuk sampean”. Paimo balik badan, kembali menuju keluar rumah,
meninggalkan Kiai Sholeh yang nampak masih kebingungan.
“Eh,
titipane ko nggone sopo?” (Titipan dari siapa).
“Ndak
weruh kulo….. (tidak tahu saya).
Paimo acuh bergegas meninggalkan
Kiai Sholeh sendiri. Langkahnya semakin cepat, sepertinya enggan untuk ditanya
lagi. Sebentar kemudian dia sudah tidak tampak dari pandangan.
“Mo….mo, bocah siji iki”
(Mo…mo anak satu ini).
Kiai Sholeh duduk di kursi
kayunya kembali. Matanya penuh selidik melihat amplop yang sedang dipegang. Apa
ini isinya, timbul rasa keingintahuannya. Perlahan dia membuka amplop coklat
yang katanya Paimo titipan dari orang untuk dirinya.
“Subhanallah……” terdengar
lirih suara Kiai Sholeh
Tercengang melihat isi
amplop yang dibukanya. Ternyata sejumlah uang kertas. Dihitungnya perlahan-lahan
seluruh uang tadi dan… jumlahnya persis, lima juta rupiah, tidak lebih dan
tidak kurang. Tampak belum hilang raut terpana Kiai Sholeh. Apa benar ini untuk
saya Ya Allah… Hatinya berkecamuk. Teringat dengan janjinya membayar hutang ke
Haji Jumari yang jatuh tempo besok. Teringat pula doa tulus Kang Parni yang
dibantunya minggu kamarin. Terus dari siapa uang ini, apakah Paimo tidak salah
alamat?. Ah, tidak mungkin Paimo berbohong. “Dialog” panjang dalam hatinya
sepertinya tidak akan akan pernah memperoleh jawaban yang pasti. Yang diyakini
dalam imannya, bahwa rezeki Allah itu kadang datang dari jalan yang tidak
disangka-sangka. Dan apa yang saat ini dalam genggamannya adalah misteri yang
tidak akan terpecahkan.