Selasa, 11 Agustus 2020

Menulis, Antara Bakat dan Minat


Tidak semua orang dikaruniai bakat yang sama. Bakat adalah kewenangan yang menitahkan kita di muka bumi ini. Bakat mutlak Gift of Allah, "wis gawan bayi". Demikian pula bakat dalam dunia tulis menulis. Ada banyak contoh talenta, penulis besar yang memang sudah dianugerahi bakat sejak ia lahir. Ketika orang lain memerlukan waktu yang lama untuk belajar menulis, bagi orang yang berbakat dia hanya membutuhkan waktu yang relatif lebih cepat.

Seseorang yang dilabeli sebagai manusia tidak berbakat sebenarnya bukan berarti tidak bisa mencapai apa yang dapat diraih oleh manusia berbakat. Semua bisa dipelajari. Semua bisa ditiru, asalkan kita berusaha dan belajar tanpa kenal menyerah.

Dalam sebuah perjalanan kapal laut, singgahlah kami di sebuah pelabuhan di kota Banggai Sulawesi Utara. Ketika kapal motor berlabuh, tampak di bawah di kapal, anak-anak dengan sampan kecil melambaikan tangan. Rupanya itu adalah kebiasaan mereka ketika ada kapal motor besar singgah, mereka akan berkerumun di sekitar kapal mencari rezeki receh dari para penumpang. Banyak penumpang yang melempar koin ke arah mereka, secepat bebek anak-anak pelabuhan tadi akan berenang dan menyelam berebut uang koin yang dilempar tadi. Sesaat kemudian anak-anak akan muncul dari air sambil menunjukkan koinnya. Luar biasa, tak ada satu koin pun yang luput dari mereka. Dengan usia yang masih belia seperti itu, mereka mampu berenang dan menyelam dengan sempurna. Apakah mereka terlahir dalam bakat yang sama, bakat berenang? Tentu tidak. Lingkungan hidup dan pergaulan yang menjadikan mereka belajar sampai mahir. Alam memaksa mereka belajar berenang, karena tempat main mereka adalah pantai.

Dalam sebuah kesempatan, saya berbincang-bincag dengan teman yang hafal Al-Quran. Ada hal yang menarik ketika teman tadi mengatakan, kecerdasan bukan jaminan seseorang mampu menghafalkan Al-Quran, namun ketekunan lebih berperan dalam keberhasilan menghafalkan Al-Quran. Bila orang cerdas mampu menghafal satu halaman selama tiga jam, orang yang tidak memiliki kecerdasan (standar) bisa menghafal satu halaman selama lima jam. Bedanya cuma terletak di situ, menurut kesaksiannya. Artinya masih ada peluang, sangat mungkin seseorang yang dikatakan tidak cerdas bisa mengungguli orang dengan predikat cerdas. Sisi keuletan dalam belajar, ketekunan dalam mengulang dan kesabaran menjadi pembedanya.

Ketika secara alamiah seseorang memiliki bakat menulis, memang tidak dipungkiri dia akan lebih mengalir dalam menulis. Akan selalu banyak ide dan kreativitas dalam menulis. Namun bakat bukan garansi kesuksesan seorang penulis tanpa didorong dengan konsistensi menulis. Seorang mahasiswa, guru maupun dosen memiliki syarat yang lengkap dalam hal kreativitas menulis. Sekolah dan kampus adalah habitat dunia menulis. Analoginya, sama seperti anak yang hidup di sekitar pantai, hampir pasti bisa berenang dengan baik.

Kiranya bakat menulis merupakan anugerah yang tetap harus diasah, dilatih terus sehingga menjadi terampil. Bagi yang merasa kurang memiliki bakat dalam menulis akan mampu mengimbangi orang berbakat bila ia lebih keras dan sungguh-sungguh dalam belajar dan berlatih.

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...