Minggu, 19 Juli 2020

MENAKAR NIAT BELAJAR MENULIS

Sebelum memulai tulisan kali ini saya harus meminta maaf kepada teman-teman di grup Ma’arif Menulis. Mungkin ada kesan tidak elok dari susunan kata-kata saya yang menyebabkan kurang berkenan di hati. Bukan pula ini sebuah nasihat…, siapalah saya berani menasihati orang. Hanya sebuah renungan jujur saya tentang proses kita dalam belajar menulis di grup keren ini.

Belajar menulis memang tidak boleh putus asa, bosan, atau menyerah ketika menghadapi berbagai macam kendala. Karena usaha dan keseriusan kita dalam belajar adalah perihal yang patut dihargai. Sebuah proses yang dilalui dengan perjuangan tidak bisa dikatakan sebuah kegagalan apapun hasilnya. Sebagai sosok yang didaulat menjadi pembina grup “Ma’arif Menulis”, saya memahami Dr.Ngainun Naim sudah berusaha sekuat tenaga memotivasi, mendorong niat dan membangkitkan keberanian menulis. Harapan beliau agar setiap anggota grup untuk menulis memang belum sepenuhnya berhasil. Namun sejauh pengetahuan saya yang beliau lakukan di grup ini sudah membuahkan hasil, meskipun belum begitu memuaskan.

Persoalan terletak bukan karena kurangnya strategi dalam beliau membimbing, namun memang dari kami (anggota grup) yang belum tumbuh kemauan. Partisipasi aktif menulis anggota grup di angka 20 sampai 30% memang belum menggembirakan. Padahal ikhtiar sudah dilakukan dengan beragam cara. Menulislah apa saja lima paragraf, belum banyak yang menulis…, sebutkan tujuan anda ikut grup menulis, jawablah satu kalimat, satu paragraf, atau satu artikel… pun masih ada dari kami tidak berkenan menjawab meskipun satu kalimat. Maafkan kami Pak Naim…. Ternyata membimbing orang “dewasa” tidak lebih mudah dari pada mengajari mahasiswa.

Kemarin (Sabtu 18 Juli 2020), beliau membuat formula baru menulis dengan membuat jadwal menulis selama seminggu. Anggota diberi kebebasan memilih hari hari apa harus menulis, boleh setiap hari atau bahkan seminggu sekali. Dengan sistem ini tentu diharap semua anggota terlibat aktif dan ada pemerataan hasil tulisan. Dengan dijadwal tentu akan menjadi rutin setiap hari ada yang mengupload tulisannya. Hemm…ide bagus dari beliau. Namun satu hal yang menjadi perhatian saya adalah ungkapan beliau, “Tapi jika tetap tidak konsisten, saya akan menepi sejenak. Berdoa semoga kawan-kawan semakin rajin menulis”. Mungkin banyak yang membaca pesan itu hanya sepintas lalu, namun bagi saya pribadi tidak sesimpel itu. Keinginan dan niat baik beliau terasa belum mendapat sambutan yang sepadan. Bagai cinta bertepuk sebelah tangan. Bukan pula masalah ke-ikhlasan dalam membimbing, dalam hal ini layaknya tidak perlu meragukan ketulusan beliau. Namun energi yang beliau curahkan belum kita manfaatkan dengan semestinya.

Kalau harus jujur sebenarnya kami segan dengan beliau jika terus begini. Yang beliau harapkan sebenarnya hanya “kesungguhan” bukan yang lain. Tak sekalipun tulisan kita dikritik karena tidak bagus, isinya yang tidak bermutu atau ejaan dan ketikan kita yang berantakan, belum pernah sama sekali… karena ketika kita sudah mulai menulis, menurut beliau itu sudah pencapaian yang harus diapresiasi.

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...