Bagi kita yang lahir sekitar tahun 1970 atau sampai 80-an, akan merasakan perbedaan yg signifikan dalam banyak hal, khususnya di bidang pendidikan, baik itu metode belajar, media atau sarana belajar ataupun sumber belajar. Sedikit melihat kembali gambaran dunia pendidikan tahun 90-an, anak-anak bersekolah telanjang kaki, bersepatu hanya pada hari Senin karena ada upacara bendera, seragam lusuh yg turun temurun, dan buku pelajaran pun bisa diwariskan ke adik. Memang terlalu jauh membandingkan masa sekarang (tahun 2020) dengan tahun 90-an, tetapi setidaknya itu adalah masa yang nyata saya alami, sehingga tahu betul situasi 'kebatinan' yg saya rasakan pada waktu itu.
Tantangan hidup di era digital tentu akan lebih berat dan lebih kompetitif, demikian pula di dunia pendidikan. Kemajuan teknologi telah menjadikan orang begitu mudah mengakses informasi, berita begitu cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia dan akan mustahil membendungnya. Dunia pendidikan sebenarnya tidak gagap dengan perubahan zaman, kurikulum tahun 2013 (K-13) adalah salah satu buktinya. Para pengambil kebijakan tentu sudah memandang jauh ke depan, apa tantangan yang akan di hadapi dalam dunia pendidikan. Ada peluang dan tantangan dunia pendidikan di era digital sekarang, segala faktor pendukung tercapainya tujuan pendidikan, kita kategorikan sebagai peluang, sebaliknya semua faktor penghambat kita kategorikan sebagai tantangan. Bagai pisau bermata dua, satu sisi kemajuan zaman, era digital membawa banyak kemudahan khususnya di dunia pendidikan, namun di sisi lain dunia pendidikan menghadapi tantangan yang luar biasa. Bisa kita katakan generasi remaja tahun 90-an relatif lebih kecil tantangan yg dihadapi dibanding generasi milenial generasi digital.
Tantangan pendidikan di era digital,
Zaman digital telah membuka akses informasi seluas-luasnya, dunia
benar-benar tanpa batas, apa yang terjadi di belahan bumi yang lain, dapat kita
ketahui hanya dalam hitungan detik. Media cetak koran sedikit demi sedikit
tergantikan oleh media berbasis internet. Budaya dan perilaku bangsa asing pun
dengan cepat masuk ke negeri kita tanpa mampu kita mencegahnya, inilah
tantangan nyata dalam dunia pendidikan, anak didik kita mencari model yang dia
gemari, sosok guru bukan lagi seperti filosofi lama, Guru digugu dan ditiru,
nilai kesopanan sudah tidak menjadi pedoman. Guru bukan menjadi sosok sentral
lagi dalam dunia pendidikan, perannya sekedar memfasilitasi anak didiknya dalam
belajar.
Pada tahun 90-an sudah banyak analis yang memberi prediksi,
generasi didik kita akan terpengaruh dan mengikuti budaya barat yang tak sesuai dengan
kultur bangsa kita. Mungkin saat ini teori tersebut sudah terbukti, perilaku
anak didik kita sudah terpengaruh westernisasi. Kita tidak bisa
menyimpulkan bahwa semua yang datang dari barat itu jelek, namun yang jadi
pembahasan di sini adalah sisi-sisi negatif budaya barat. Barat sebagai
representasi negara maju, Amerika Serikat sebagai daftar teratas menjadi idola
generasi muda, dunia mode, produk makanan, bahkan budaya pergaulan seakan
menjadi pedoman dan contoh ideal. Sebagai bukti nyata, di kota-kota produk makanan dan minuman mereka sudah
menguasai pasar dan banyak digemari, kita tidak asing lagi mendengar MC Donald,
Kentuky Fried Chicken, Hamburger, Coca-Cola Coke dan masih banyak lainnya. Di
Negara asalnya produk-produk makanan dan minuman itu dikategorikan sebagai Junk
Food, namun di negeri kita justru digemari, ironis. Bahkan ternyata bukan cuma
barat, namun pengaruh dari timur juga menyerbu dengan derasnya ke generasi
didik kita. K-Pop begitu digemari remaja Indonesia, aliran musik Korea Selatan
yang sudah menginvasi kita mulai sekitar dasawarsa yang lalu, bukan sekedar ‘menjual’ musik, namun sudah
menjadi industri. K-Pop sudah menjadi sebuah sistem, mereka tidak menciptakan
figur, namun industri musik yang sangat produktif yang didukung dengan berbagai
aspek sehingga mampu bertahan bertahun-tahun. Gaya hidup, perilaku glamor dan mode
para ‘bintang’ menjadi racun yang merusak otak anak-anak didik kita, inilah
mungkin yang dikatakan orang, tontonan sudah menjadi tuntunan. Apa semua itu
ada pengaruh buruknya dengan dunia pendidikan kita? Jawaban singkatnya Iya. Sangatlah
fatal apabila perilaku negatif tersebut ditiru, obsesi anak bukan lagi sesuatu
yang mulia, namun kehidupan keduniawian yang penuh dengan kemewahan dan menjadi
orang terkenal seperti para artis idolanya. Sikap dan perilaku anak didik kita
yang sudah ‘tercemar’ dengan budaya asing yang bertentangan dengan budaya luhur
bangsa kita akan nampak dalam perilaku anak didik kita. Hilang kepedulian
terhadap sesama, cenderung egois, cara komunikasi yang kasar, atau perundungan
terhadap teman sejawat. Inilah salah satu tantangan berat dalam dunia
pendidikan era digital.
Dunia hiburan telah memberi pengaruh negatif bagi anak-anak didik
kita, memang tidak bisa diingkari, semua membutuhkan hiburan, namun harus kita
pahami, hiburan ada porsi yang dibutuhkan manusia. Apabila berlebih sudah pasti
akan menyebabkan otak anak didik kita tidak produktif. Hiburan di era digital
cenderung ‘merusak’ otak anak didik kita, hiburan tidak memiliki nilai edukasi.
Kita ambil contoh, game on line, coba kita jujur dan obyektif, apa sisi
manfaatnya? justru sudah banyak fakta, game on line yang intens dan menjadi
kebiasaan menyebabkan banyak pengaruh buruk pada anak. Pada satu tahap anak
akan nagih, akan gelisah bila tidak bisa main. Pada tahap ini mungkin sama
dengan dampak NARKOBA dimana pecandunya akan sakau bila tidak memakainya. Ini
adalah hiburan produk era digital, sedangakan permainan tradisional yang syarat
dengan manfaat dan edukasi sudah mulai ditingalkan oleh anak didik kita. Anak
sehari-hari akrab dengan ikon era digital, Hand Phone (HP) yang sudah
berevolusi menjadi SMART PHONE. Bagaimanapun kita jelaskan dampak negatifnya
bagi anak, namun dalam kenyataannya tidak banyak orang tua yang mampu membatasi
penggunaan SMART PHONE pada anak.
Mungkin kita perlu jujur menyikapi fenomena zaman, kecil bukan
berarti tidak ada, remaja 90'an juga sudah mengenal bioskop, hiburan malam,
ataupun hal sejenis yg bisa merusak otak mereka, namun akses semua itu masih
terbatas. Di era digital remaja milenial tidak harus ke bioskop untuk sekedar
nonton film, akses internet telah memudahkan memilih film yg akan ditonton
dirumah bersama teman mereka, Inilah sedikit bedanya dengan generasi 90'an,
akses ke bioskop dan hiburan tidak terjangkau secara umum, sebagian besar
generasi 90'an terutama di pedesaan masih asing dg hiburan yg demikian.
Sandiwara radio masih menjadi primadona waktu itu, imajinasi generasi 90'an
dibangun dari cerita fiksi heroik Aria Kamandanu, Aria Dwipangga si pendekar syair
berdarah, atau kisah misteri Gunung Merapi, Sembara versus Mak Lampir.
Peluang pendidikan pada era global,
Akses informasi yang mudah sebenarnya adalah peluang yang harus
kita ambil dalam dunia pendidikan, anak-anak kita bisa belajar dari sumber belajar
yang tidak terbatas. Peran guru dalam hal ini sangat terbantu. Belajar di era
digital saat ini biasa dilakukan dengan sistem on line, sehingga bimbingan
belajar komersial sedikit demi sedikit sudah mulai tergantikan perannya oleh bimbingan
belajar on line. Kemudahan belajar di era ini seakan-akan menjadikan anak
pandai tanpa harus sekolah, belajar dari rumah bisa melalui media whatsapp,
youtube, e-learning maupun aplikasi belajar yang lainnya. Guru bisa memberi
tugas melaului e-mail dengan mudah dan praktis. Materi pelajaran yang di dapat
dari bangku sekolah dikombinasikan dengan sumber belajar lain menjadikan anak
didik lebih variatif dan modern dalam belajar. Tentunya belajar yang
memanfaatkan aplikasi on line harus senantiasa dalam pengawasan orang tua dan
guru.
Media belajar yang beragam menjadi salah satu peluang pendidikan di
era global jauh lebih maju di bandingkan era konvensional dahulu. Di pelosok
desa sekalipun bukan menjadi pemandangan yang aneh jika pembelajaran di kelas
menggunakan media LCD Projector, anak sudah tidak asing dengan alat canggih
yang satu ini. Faktor ini seharusnya sangat membantu siswa lebih efektif dalam
belajar, karena akan lebih menarik minat. Siswa nyaman dan menikmati proses
pembelajaran karena media ini menyenangkan dan tidak monoton.
Memperhatikan peluang dan tantangan dalam dunia pendidikan di era
digital sekarang ini, sebagai konklusi tulisan ini adalah, zaman memang sudah
berubah, kita tidak perlu menangisi perubahan zaman seperti cerita Orang Badui
yang menagisi onta yang perannya sudah tergantikan oleh mobil. Sikap yang benar
adalah mengikuti zaman dengan tetap berpegang pada nilai-nilai kebenaran. Di
bidang pendidikan, metode pembelajaran harus kita sesuaikan dengan perubahan
zaman, istilahnya up to date, namun tujuan pendidikan tetap mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa pada tuhan
Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
SEKIAN