Jumat, 24 Juli 2020

ANTARA TAAT DAN MAKSIAT

Sudah menjadi kodrat manusia tempanya salah dan lupa. Sering berbuat salah juga kadang kala berbuat dosa. Hanya para Nabi dan Rasul yang terbebas dari maksiat, mereka manusia suci yang terjaga. Sedangkan kita manusia biasa sering bergelimang dengan dosa dan maksiat. Siapa yang sanggup menjaga mata, mulut dan telinga terbebas dari maksiat sepanjang waktu...? Jawabannya tidak mungkin ada. Kita hidup dan bergaul di tengah-tengah masyarakat, akan mustahil menjaga panca indera kita tetap suci selamanya. Pasti akan ternoda oleh maksiat yang kita lakukan dengan sengaja ataupun tanpa ada niat sebelumnya. Mungkin seandainya kita tinggal di dalam goa dan tidak berinteraksi dengan manusia kita akan mampu terbebas dari maksiat.

Manusia secara “hardware” dan “software” memang berbeda dengan malaikat. Mereka diciptakan dari nur, kita dari tanah. Malaikat tidak diberi nafsu, sedangkan kita memiliki nafsu. Manusia makhluk yang dinamis, sedangkan para malaikat adalah makhluk Allah yang statis. Malaikat makhluk yang mutlak taat kepada Allah, sedangkan kita ada kalanya taat, namun di waktu yang lain berbuat maksiat.

Manusiawi ketika kita pernah berbuat maksiat, melakukan perbuatan dosa. Namun tidak bisa dibenarkan juga bila hidup kita selalu bergelimang dalam lumpur dosa. Karena selain diberi nafsu kita juga dikaruniai oleh Allah akal pikiran yang mampu mencerna perintah dan larangan Allah dalam kitab suci Al-Qur’an. Pergulatan antara nafsu dan akal kita akan selalu terjadi sepanjang hidup kita. Ketika akal kita menang dan mengikuti perintah-Nya kita akan menjadi hamba yang dimuliakan. Sebaliknya bila nafsu selalu dituruti jatuhlah manusia dalam posisi yang hina.

Di antara asma-asma Allah adalah Maha Pengampun. Ketika manusia tergelincir dalam dunia kemaksiatan hendaknya segera bertaubat kepada Allah yang Maha Pengampun. Rahmat Allah meliputi seluruh hamba-Nya. Maksiat yang menjadikan pelakunya taubat itu lebih baik daripada amal baik yang menjadikan seseorang ujub dan takabbur. Seorang pendosa yang takut azab Allah dan selalu bertaubat memohon ampun-Nya lebih dicintai Allah daripada seorang alim yang sombong karena kealimannya. Bukankah Iblis tadinya adalah makhluk Allah yang mulia di surga. Banyak amalnya, tak sejengkal bumi yang belum dijadikan tempat sujudnya. Namun seketika menjadi terlaknat ketika menjadi sombong, merasa diri lebih mulia dari Adam.

Seperti syukur yang harus dilakukan setiap saat, istighfar (taubat) pun harus dilakukan setiap waktu. Sebagai bentuk kesadaran kita, bahwa dalam langkah hidup ini akan selalu ada dosa. Memang dosa-dosa kecil akan selalu terulang. Namun seyogianya kita tidak menganggap remeh dosa-dosa kecil. Karena dosa kecil yang dilakukan berulang kali tanpa ditaubati akan menjadi dosa besar juga. Sebaik-baik orang yang maksiat banyak dosa adalah ber-segera minta ampunan pada Allah.

           

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...