Senin, 15 November 2021

PRESTASI INSTAN



Bagai buah yang masak di pohon. Rasanya segar, manis dan aromanya juga harum. Sangat berbeda dengan buah yang masaknya karena “dipaksa”. Secara penampilan memang tetap menarik, tetapi dari segi rasa tentu beda. Itu perumpamaan dengan sebuah prestasi. Prestasi itu membutuhkan waktu, tidak bisa didapat dengan cara yang instan.

Seolah sudah menjadi kebiasaan kita mempersiapkan sesuatu dengan mendadak. Apa-apa dilakukan menjelang deadline, tak terkecuali even PORSENI tingkat MI tahun ini. Banyak lembaga yang menyiapkan kontingennya hanya sebulan dari pelaksanaan, termasuk lembaga kami. Tentu yang menjadi kambing hitam adalah pandemi.

Prestasi itu bukan sebuah kebetulan. Mengikuti sebuah kompetisi dengan minim persiapan hasilnya tentu masih jauh dari harapan. Jangan mengira juara hanya karena memiliki teknik dan kemampuan yang baik. Seorang juara pasti memiliki mental yang kuat. Ini yang tidak mungkin didapat dari cara yang instan. Karena mental juara dibina sejak dini dan melalui tempaan dan ujian panjang.

Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Peribahasa ini sangat tepat untuk menggambarkan jalan jenjang sang juara. Ia harus tahan “menderita” dengan kerasnya latihan. Bisa menahan sakitnya jatuh bangun digembleng.

Orang sering melihat prestasi ketika seseorang sudah memegang tropi kejuaraannya. Padahal di balik itu ada jalan terjal untuk mencapainya. Melelahkan memang, tapi prosedur menjadi yang terbaik tidak akan mungkin dilalui dengan mudah. Hanya mie yang biasa dimasak dengan cara instan. Cukup tiga menit sudah siap disajikan. Praktis cepat dan tidak merepotkan. Tapi kita semua tahu, yang serba instan itu tidak baik.

 

 

 

 

 

 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...