Jumat, 14 Oktober 2022

Meninggalkan Debat



Di media sosial sudah biasa kita mendapati perdebatan yang tidak sehat. Komentar-komentar atau perdebatan yang sebenarnya lebih tepat dikatakan saling mencaci. Tidak lagi menggunakan argumen yang berdasar untuk mendebat lawan, tapi justru serangan verbal yang kasar bahkan merendahkan martabat.

Orang-orang yang berdebat model seperti itu sebenarnya menunjukkan kurangnya wawasan dan ilmu. Dan sebaiknya bila menjumpai kelompok seperti mereka, akan lebih baik jika tidak melayani ajakan debatnya.

Imam Syafi’i pernah berkata; "Aku mampu berhujah dengan sepuluh orang yang berilmu, tetapi aku pasti kalah dengan seorang yang jahil, karena orang yang jahil itu tidak pernah paham landasan ilmu”. "Apabila orang bodoh mengajak berdebat denganmu, maka sikap yang terbaik adalah diam, tidak menanggapi."

Cerita tentang perdebatan keledai dan harimau bisa menjadi iktibar bagi kita semua. Dalam sebuah dongeng dikisahkan, keledai dan harimau sedang berdebat keras. Kata keledai rumput itu berwarna biru, sedangkan harimau yakin bila rumput itu warnanya hijau. Karena tidak ada titik temu keduanya lalu menghadap sang penguasa, singa.

Singkat cerita keduanya menyampaikan perihal masalah yang menjadi pokok perdebatannya. Sang raja membuat keputusan, harimau bersalah dan dihukum tiga hari tidak boleh berbicara dengan keledai. Si Keledai puas dengan keputusan singa dan dia pergi dengan sombongnya.

Sepeninggal keledai, singa marah kepada harimau. Mengapa harimau sehebat itu harus melayani debat keledai yang bodoh. Seharusnya tidak perlu meladeni kebodohan dengan bukti-bukti yang merujuk kebenaran, karena itu tidak ada gunanya.

 

 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...