Sabtu, 29 Agustus 2020

“TAFSIR” RASA MALU


Dalam Ngaji Literasi  episode ke-5 (You Tube, edisi 29 Juli 2020) Bapak mentor (Dr.Ngainun Naim) menjelaskan empat level rasa malu dalam menulis. Pertama adalah level malu untuk menulis. Banyak orang ingin punya kemampuan menulis, namun terhambat masalah psikologis rasa malu. Karena keinginan menulis masih terhambat rasa malu maka dia belum pernah mencoba menulis. Keinginan menulis hanya sebatas rasa ingin namun belum berusaha sungguh-sungguh untuk mewujudkannya. Level yang kedua adalah malu jika tulisannya dibaca orang. Keinginan menulis sudah terlaksana namun sebatas dibaca sendiri. Sudah ada keberanian menulis, namun ada kekhawatiran dan rasa malu jika tulisannya dibaca orang. Pada level ini belum ada keberanian untuk memublikasikan tulisannya. Level yang ketiga adalah berkurangnya rasa malu. Dia terus menulis dan belajar memperbaiki tulisannya. Malu sudah bergeser dari sudut negatif ke sudut positif. Level keempat adalah malu jika tidak menulis. Di level ini dia selalu berusaha menulis setiap hari meskipun banyak halangan dalam menulis. Menulis sudah menjadi aktivitas sehari-hari yang tidak pernah dia tinggalkan.

Mencoba meraba-raba diri sendiri. Kira-kira sudah sampai dimana level rasa malunya. Sebenarnya proses belajar menulis sudah dalam trek yang sesuai. Semangat menulis cenderung stabil. Hampir setiap pagi selepas salat subuh, selalu menyempatkan membuka laptop, menambah file tulisan dalam folder dan memublikasikan di Blogger. Sudah mulai terasa, kegiatan menulis yang pada awalnya saya paksa lambat laun menjadi sebuah kebiasaan.

Kalau sedikit percaya diri, mungkin peringkatnya sudah naik dari level kedua menuju ke level ketiga (hanya sebatas perkiraan saja). Keinginannya memang sampai ke level keempat dan bisa istikamah. Namun akhir-akhir ini muncul rasa malu lagi. Tiba-tiba malu kalau sering menulis. Apa mungkin rasa malu turun ke level kedua lagi? Sepertinya level malu ini seperti “Roller coaster” yang terus perputar. Tidak selamanya ajeg sesekali akan kembali ke level bawahnya atau sebaliknya.

Sebenarnya sejauh mana perkembangan proses belajar menulis sampai saat ini?

Masih sulit juga untuk diukur progresnya. Proses belajar menulis yang saya rasakan sampai hari ini juga masih sering terhambat dan belum lancar dalam menuangkan ide. Yang sudah jelas terasa adalah kemauan menulis. Hasrat dan semangat menulis sudah tumbuh. Kebiasaan menulis mulai terbangun menjadi kebutuhan.

Sudah menjadi sifat alamiah kita, semangat memang akan turun naik. Proses belajar baru sebatas di tengah perjalanan. Seperti peribahasa “Ke langit tak sampai, ke bumi tak nyata”. Pekerjaan yang belum selesai, kepalang tanggung dalam belajar. Proses belajar menulis harus dilanjutkan, jangan setengah-setengah. Abaikan saja rasa malu. Berpikir positif saja.

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...