Rabu, 16 September 2020

MENGUJI KETEGUHAN HATI

Ada masanya menulis mengalami rasa jemu juga. Atau lebih tepatnya perasaan gundah ketika dalam menulis menghadapi beberapa tantangan yang muncul. Fase belajar menulis yang djalani bisa dianalogikan dengan lomba lari marathon. Ketika berada di garis start dan masih memulai lomba, umumnya masih diikuti banyak peserta. Semua peserta masih dengan semangat yang tinggi. Namun ketika perlombaan semakin jauh meninggalkan garis start, mulai ada peserta yang berhenti, dan ketika semakin jauh lagi jarak yang ditempuh, sepertinya akan banyak yang tidak bisa meneruskan perlombaan. Energi yang tadinya prima kini mulai terkuras, satu… dua peserta akan menyerah untuk lari. Beberapa masih ikut lomba namun dengan hanya jalan kaki, sementara yang lain akan berhenti dan menepi sebentar dari jalur. Bahkan ada yang telah meninggalkan gelanggang perlombaan. Kita berharap, terus bisa berlari meskipun terseok-seok. Atau paling tidak sesekali hanya lari kecil sambil mengatur nafas yang tersengal-sengal. Yang paling penting tetap bertahan dan masih dalam trek perlombaan. Biar tidak mengapa, setapak dua tapak, selangkah dua langkah asal tetap membawa kita semua berjalan meninggalkan start menuju finish.

Ujian keteguhan hati dalam menulis adalah konsistensi. Ke-ajeg-an dalam menulis dalam kondisi apapun. Dalam kondisi sedang malas, dalam kondisi sibuk atau ketika menulis masih sepi pembaca ketika diupload di blog. Berharap dan berpikir positif terus, proses yang dijalani akan membawa tulisan kita ke pembaca yang merupakan “jodohnya”. Menulis ya terus menulis saja. Dengan menulis sebenarnya kita sudah menggunakan waktu untuk berpikir yang produktif dan mendapat keberkahan karena bisa mengaktualisasikan semua pemahaman dan buah pikiran.

Harus diakui, pola pikir kita cenderung menginginkan semua serba instan. Sering tidak melihat proses yang berjenjang. Bukankah seharusnya kita bisa berkaca dari pengalaman penulis-penulis senior kita yang hari ini sudah mapan dan memiliki banyak karya yang bagus. Mereka telah berproses panjang untuk mencapai posisi seperti saat ini. Itu adalah buah kerja keras yang membutuhkan kesabaran dan tahan uji. Bagaimana cerita ketika tulisannya ditolak berkali-kali oleh koran, naskah bukunya tidak diterima oleh penerbit mayor setelah menanti jawaban berbulan-bulan. Meskipun demikian semua itu tidak  menyurutkan langkah mereka.

Berapa bulan, berapa tahun proses menulis kita nanti? Sepertinya itu adalah pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan pasti. Kita baru menjelajah jalan beberapa tikungan. Masih ada tanjakan, jalan licin, rute berbatu dan pasti ada belokan-belokan tajam di depan sana. Ketika menekuni belajar menulis masih beberapa bulan, seharusnya tidak berharap lebih dari hasil usaha yang kita lakukan. Ya, kita masih dikatakan anak hijau yang sedikit pengalaman. Bagi saya pribadi bisa masuk dalam lingkaran dunia menulis adalah kesempatan yang luar biasa. Ikuti saja semua proses, jalani dan nikmati belajar.

Menikmati aktivitas menulis sudah kebahagiaan tersendiri. Apresiasi dari pembaca adalah nilai lebih dan bukan tujuan menulis. Memang benar ketika tulisan kita mendapat perhatian tentu itu menambah semangat kita dalam berkarya, namun bila masih sepi peminat dan tidak dilirik orang, itulah stimulus kita untuk terus berlatih. Belajar lebih mendalam bagaimana cara menulis yang baik. Menggali ilmu bagaimana mengolah blog sehingga banyak pengunjung dan teguh hati ketika hasil karya kita kurang mendapat sambutan. Karena peran penulis adalah menulis dengan leluasa. Ketika tugas telah ditunaikan tentu semua sudah sempurna.

 

 

 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...