Kamis, 20 Januari 2022

Prof.Ngainun Naim, Guru Besar yang Bersahaja




Merupakan sebuah kehormatan bisa ambil bagian dari undangan menulis antologi dalam rangka apresiasi pengukuhan guru besar Prof.Dr.Ngainun Naim dalam bidang ilmu filsafat Islam. Terasa bangga karena bisa bergabung dalam penulisan buku yang bertopik Ngainun Naim dan Dunia Intelektual. Anggap saja ini kesempatan untuk numpang nama dan "Ngalap berkah".

Sebenarnya saya mengenal Prof.Naim relatif belum lama, baru sekitar dua tahunan. Meski sebenarnya kami sama-sama pernah sekolah di MTsN Tunggangri Kalidawir, tapi kami belum saling mengenal karena tahun masuk dan keluar berbeda.  Lebih tepatnya saya tiga tingkat di bawah beliau. Secara usia sebenarnya saya tidak  terpaut jauh dengan beliau tapi dari segi intelektual, tentu terlalu jauh untuk dibandingkan. Dan, gelar Profesor yang kini disandang, sepertinya hanya "dejure" saja. Karena faktanya sudah lama beliau dipanggil Prof (Profesor). Dalam komunitas grup menulis kami juga sudah terbiasa memanggil beliau seperti  itu.

Berawal dari kegiatan Bimtek Penguatan Kompetensi Kepala Madrasah di awal Maret 2020, kami mengenal beliau. Pertemuan yang membawa kesan mendalam dan merubah pandangan saya tentang menulis. Menggugah kesadaran dalam diri bahwa menulis itu penting. Dari apa yang beliau sampaikan waktu itu, saya bisa menyimpulkan bahwa menulis itu mudah dan menyenangkan. Dimulai dari kegiatan Bimtek selanjutnya saya bergabung dalam komunitas menulis yang beliau bina hingga saat ini.

Secara pribadi saya benar-benar merasakan bimbingan beliau memberi pengaruh yang signifikan dalam peningkatan kemampuan menulis. Saran Prof.Naim untuk “nge-blog” dan menulis setiap hari sangat efektif. Dan saat ini terbukti banyak anggota grup yang sudah mampu menerbitkan buku mandiri. Tidak salah beliau mendapat gelar dosen "GoBlog" dari Rektor UIN SATU Tulungagung, maksudnya dosen yang aktif menulis dan menyebarkan gagasan di blog. Kebiasaan yang kini telah banyak menjangkiti para pecinta literasi.

Seperti yang kami alami bersama di grup WhatsApp "Ma’arif Menulis", baru saya sadari selama ini kami selalu dilatih dengan pola yang penuh respek. Proses belajar   menulis yang gampang-gampang sulit memang membutuhkan kesabaran. Dan kami  beruntung memiliki pembimbing (Prof. Naim) yang begitu sabar. Beliau selalu merespon positif setiap ada yang mengunggah tulisan. Alih-alih mengkritik, tapi justru memberi semangat dengan komentar; Mantap, Jos, Bermanfaat dan kata-kata serupa yang membesarkan hati. Meski sebenarnya yang menulis juga tahu karyanya belum bagus.

Seorang mentor yang tidak pernah menjatuhkan semangat. Potensi yang ada tidak dimatikan namun justru dimotivasi dan dikembangkan. Bayangkan seandainya beliau berkomentar, "Ini kurang bagus, tidak ilmiah dan kurang bermutu". Hasilnya, pasti tidak akan ada lagi yang berani menulis. Pendidik terbaik memang bukan dia yang banyak bicaranya, tapi dia yang memberi teladan yang nyata.

Menengok modal pengetahuan menulis kami yang pas-pasan dengan sedikit nekat dan keberanian, pasti beliau tak akan tega mengkritik. Berani menulis saja itu sudah luar biasa. Karena di baliknya pasti ada usaha yang sungguh-sungguh. Inilah yang selalu dihargai mentor kita. Adapun isi tulisan wajar saja masih kacau, karena semua akan tertata seiring jam menulis yang panjang.

Citra Prof.Naim sebagai tokoh pegiat literasi begitu kuat. Sosoknya selalu mengingatkan kita untuk selalu membaca dan menulis. Seperti tidak pernah lelah beliau memotivasi orang untuk terus menulis. Proses menulis menurut beliau harus sejalan dengan kebiasaan membaca yang baik. Tidak mungkin menjadi penulis yang baik bila tidak memiliki  tradisi membaca yang baik pula. Kita sering mengeluh tidak punya waktu. Ini adalah alasan yang klasik yang umum disampaikan mengapa tidak membaca buku. Padahal  banyak orang penting seperti Prof.Naim yang memiliki jadwal padat tapi mereka masih sempat membaca buku. Dan umumnya mereka mengalokasikan waktu khusus untuk membaca, bukan sekadar menunggu bila ada waktu luang. Tidak main-main mereka bisa membaca buku sampai dua jam dalam sehari.

Beliau memang sosok teladan dunia literasi. Dedikasi dan karya-karya beliau menjadi bukti yang sahih. Tidak berhenti hanya membaca, tapi Prof.Naim juga penulis yang produktif. Khazanah ilmu yang luas dan dalam tersalurkan dengan selalu menulis setiap harinya. Sungguh "ritme" hidup yang indah, membaca kemudian menulis. Tidak seperti kita yang masih "begini-begini saja", Kadang-kadang membaca dan menulis. Ya, masih angin-anginan karena di kesempatan berikutnya sering malas dan berat melakukan keduanya.

Tidak diragukan lagi kiprah Prof.Ngainun Naim dalam dunia intelektual sangat besar dan memberi pengaruh yang luas. Totalitas beliau dalam mengembangkan kemajuan di bidang literasi tidak terbatas di lingkungan kampus, namun juga menjangkau ke berbagai kalangan dalam masyarakat. Dalam pandangan saya, beliau adalah sosok Guru Besar yang bersahaja. Karena sebagai cendekiawan beliau tidak hanya berperan sebagai  ''Pemikir'' semata, namun tidak segan turun tangan menjadi organisator yang efektif  dalam membina dan membersamai berbagai pihak demi mencapai kemajuan yang dicitakan bersama.

 


 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...