Senin, 03 Agustus 2020

MURID ISTIMEWA

Menjadi guru itu unik. Profesi yang kaya dinamika dan cerita. Akan banyak perbedaan dengan orang-orang yang bekerja di kantor. Hari-hari mereka bergelut dengan statistik, tumpukan berkas, angka-angka di komputer, intinya berurusan dengan benda mati. Bandingkan dengan guru. Setiap tahun guru akan memiliki murid yang berbeda. Berbeda dari segi karakter, kemampuan akademik ataupun sisi-sisi sosial yang lain.

Secara umum, banyak guru hanya akan mengingat murid yang “paling” dalam kelasnya. Paling pandai, paling rajin, paling rapi, paling tertib dan juga paling “bandel”. Ketika murid memiliki katagori “standar” biasanya akan mudah dilupakan. Lupa karena tidak banyak peristiwa yang terkesan di hati. Meskipun sebenarnya guru akan tetap mengingat wajah-wajah muridnya meskipun namanya sering lupa.

Beberapa tahun yang lampau saya punya murid yang “istimewa” yang beda dengan teman sekelas yang lainnya. Setiap mendapat tugas di rumah (pekerjaan rumah) selalu tidak dikerjakan. Tidak disiplin, sering terlambat dan kerap membuat masalah di kelas. Ketika diberi teguran biasanya hanya diam sambil senyum-senyum. Diberi nasihat, peringatan bahkan sanksi yang bertujuan mendidik masih juga tidak berubah. Sampai saya kehabisan cara menghadapinya. Ibarat seorang pendekar sudah mengeluarkan jurus-jurus andalannya namun tidak berhasil juga. Akhirnya saya menyerah, memang sepertinya tidak ada minat sama sekali untuk mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Segala usaha dan pola sudah dicoba, namun bagaikan tidak ada guna faedahnya. Rupanya inilah sisi spesial dia yang harus saya terima.

Lama saya merenungkan murid spesial ini. Baru akhirnya saya menemukan jawaban kegundahan perasaan saya. Inilah cara Allah melatih kesabaran… Jika semua murid pandai dan mudah dibina kapan kita belajar sabar dan telaten. Mendidik siswa yang spesial seperti murid saya tadi justru memiliki hikmah yang banyak. Kesadaran bahwa guru sebenarnya tidak bisa membuat murid-muridnya pandai, guru sebatas membimbing, mendidik dan mengarahkan untuk selebihnya semua dalam kehendak Allah yang maha kuasa.

Pendidikan adalah sebuah proses panjang. Terkadang kita sebagai pendidik sering melupakan hal ini. Terkadang kita memaksakan untuk melihat hasil pendidikan secara instan. Hari ini kita menasihati anak dan berharap besok dia sudah berubah baik. Padahal bisa saja hari ini kita bimbing dan kita nasihati namun hasilnya sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang. Ketika seluruh kemampuan telah kita curahkan, ikhtiar telah dilaksanakan dengan sempurna selanjutnya semua kita kembalikan kepada kehendak Allah. Dalam doa kita selalu berharap yang terbaik untuk murid-murid kita tersayang.

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...