Kamis, 04 Agustus 2022

Kemuliaan Bekerja



Marilah di kesempatan yang mulia ini, kita senantiasa berusaha meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita dengan selalu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Karena hanya dengan taqwalah kita akan memperoleh kebahagiaan yang sejati baik di kehidupan dunia maupun di akhirat kelak.

Bekerja mencari rizki guna menopang ibadah hukumnya adalah wajib. Sebagaimana hukum ibadah itu sendiri. Hal ini telah disepakati oleh ulama. Karena bekerja merupakan salah satu cara memenuhi kebutuhan. Lebih-lebih bagi mereka yang telah berkeluarga, mereka memiliki tanggung jawab dan kewajiban memberi nafkah terhadap anak dan istri. Sedangkan nafkah bisa didapat oleh seseorang yang mau bekerja. Selain itu dengan bekerja seseorang dapat terhindar dari thama’, menggantungkan diri pada orang lain dan juga menghindar dari meminta-minta yang mana semua itu termasuk barang larangan agama. Dalam al-Jumu’ah ayat 10 Allah berfiman

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. 

Begitu pentingnya bekerja dan berusaha bagi seorang muslim. Karena sesungguhnya al-barakatu ma’al harakah bahwa keberkahan itu akan hadir bersama dengan pergerakan. Dimana ada kemauan untuk berusaha disitu Allah telah menyediakan keberkahan. Dengan kata lain Islam sangat membenci orang yang berpangku tangan, mengharapkan dan meminta-minta.

Bahkan, tidak ada satu cerita pun dari hadits Rasulullah yang menerangkan larangan beliau kepada para sahabatnya untuk berhenti bekerja demi menjalankan dakwah agama, padahal waktu itu berdakwah sangat membutuhkan perhatian mengingat kondisi Islam masih sangat lemah baik secara sosial dan politik. Justru di kala itu Rasulullah saw tetap memerintahkan Abu Bakar untuk terus berdagang dan kepada sahabat lainnya untuk tetap menekuni keahliannya. Malahan ada sebuah hadits yang seolah menyinggung para sahabat saat itu yang berbunyi:

Nabi Daud as tidak pernah makan kecuali dari hasil pekerjaan tangannya sendiri (HR.Bukhari)

Meski demikian, bekerja tidaklah cukup asal bekerja. Hendaknya bekerja harus dilakukan dengan penuh kejujuran. Kejujuran dalam bekerja wajib pula hukumnya. Karena pekerjaan yang dilakukan dengan jujur akan sangat mempengaruhi pola beribadah dan perilaku keseharian seorang hamba. Mengapa demikian, karena sesuatu yang halal merupakan buah dari kejujuran. Dan mengkonsumsi yang halal akan mempermudah seorang hamba mendekatkan dirinya kepada Allah swt. Maka yang menjadi pertimbangan di sini adalah proses bekerjanya bukan hasil dari pekerjaan itu sendiri.

Hasil yang tidak maksimal tetapi diproses secara sempurna akan menghasilkan keberkahan walaupun kecil kwantitasnya. Namun hasil yang maksimal dengan proses yang cacat (tidak jujur) akan berdampak pada kesakitan moral pelakunya meskipun secara kwantitas lebih unggul. Lihatlah mereka yang bekerja dengan cara menipu ataupun berbohong pasti akan meraih sukses dalam jangka waktu yang relatif lebih singkat. Tetapi tidak lama pasti akan menjadi bahan gunjingan. Bukankah begitu nasib orang curang, penipu dan juga pembohong. Sesungguhnya yang demikian itu sangat dibenci oleh Rasululah saw.

Diceritakan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah saw pernah berjalan-jalan di pasar melewati setumpuk bahan makanan. Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan itu. Ternyata pada bagian dalamnya basah. Kemudian beliau bertanya kepada si penjual “apakah ini?” si penjual menjawab “Ya Rasul, makanan ini terkena hujan”. Rasulullah saw pun bertanya kembali “mengapa makanan yang basah ini tidak kamu taruh di atas sehingga para pembeli bisa melihatnya?” kemudian Rasulullah saw melanjutkan sabdanya (barang siapa menipu umatku, niscaya dia bukan termasuk golonganku).

Hadits tersebut sangatlah jelas dan mudah dipahami. Tidak ada kata-kata samar di dalamnya. Bahwa siapapun yang berlaku curang dalam pekerjaannya maka dia telah tersesat dan tidak termasuk golongan (umat) Rasulullah saw. Ini artinya kecurangan dan kebohongan sangatlah dicela dalam Islam.

Meskipun konteks dan pelaku dalam hadits tersebut adalah pedagang, tetapi tidak berarti pedagang saja yang dianjurkan berlaku jujur. Namun semua macam usaha dan pekerjaan hendaknya dilakukan dengan jujur, akrena kecurangan dapat menyeret seseorang keluar dari golongan Rasulullah saw. Tidak terkecuali para politisi, investor, pejabat dan atupun kuli. Sayanganya kecurangan dan kebohongan itu kini seolah dibenarkan bahkan dipelajari lengkap dengan metode dan terorinya dengan kedok manajemen pencitraan. Apakah pencitraan itu sebuah kejujuran? Silahkan dipertimbangkan sendiri.

Imam Abu Hasan As-Syadzili pernah berpendapat bahwa seseorang yang bekerja dengan jujur berarti dia telah berjuang melawan hawa nafsunya yang selalu condong pada kebohongan. Sehingga mereka yang jujur pantaslah mendapatkan apresiasi sebagaimana para mujahid yang berhasil membunuh musuh-musuhnya. Dalam sebuah taushiyah dia berkata:

Barang siapa bekerja dan teguh menjalankan perintah-perintah Allah, maka benar-benar sempurna perjuangannya dalam melawan hawa nafsu”  

Setelah kejujuran dalam bekerja kita raih, hendaklah kita melangkah lagi satu tingkat agar kehidupan ini lebih bermakna. Yaitu mengisi pekerjaan yang jujur dengan nuansa ibadah. Abu Abbas al-Mursi berkata:

Bekerjalah kamu dan jadikanlah alat tenunmu (bila engkau penenun) sebagai tasbih. Menjadikan kampak (bila bekerja sebagai tukang kayu) sebagai tasbih dan menjadikan jarum (bila sebagai penjahit) sebagai tasbih, dan menjadikan kepergiannya (bila berdagang) sebagai tasbih.

Karena itu apapun bentuk keahlian dan dimanapun pekerjaan itu bukanlah sekedar sumber penghasilan semata tetapi juga sumber ibadah.

Demikianlah khotbah singkat kali ini, semoga hal ini dapat menjadi bahan renungan yang mendalam, bagi kita semua amin.

 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...