Marhaban Ya Ramadhan, Selamat
datang Bulan Ramadhan 1441 Hijriyah, Tahun ini kami tidak bisa menyambutmu seperti
biasanya, malam – malam Ramadhan yang biasanya semarak, seluruh penjuru negeri
bahagia menunggu kedatanganmu, kini sunyi. Ada kebahagiaan di hati kami, namun
juga diliputi rasa mencekam, karena badai belum berlalu, Pandemi masih
mengintai, ‘Covid-19’ menjadikan Ramadhan tahun ini benar-benar terasa beda.
Kita menjalani situasi yang tidak normal, bahkan mungkin sampai nanti, di saat
kita merayakan Idul Fitri, tiada yang tahu pasti. Dalam suasana ‘Physical
Distancing’ kita memasuki Ramadhan, tidak ada sapa hangat dari saudara, ketika
bertemu tidak jabat tangan, tidak terlihat senyum karena kami memakai masker,
hanya mengangguk. Sepanjang sejarah Ramadhan yang saya lalui, inilah Ramadhan
yang sangat berbeda dari sebelumnya. Nasihat orang bijak, semua ada hikmahnya,
dibalik musibah ada anugerah yang menyertainya. Ramadhan ini harus lebih spesial
dari Ramadhan sebelumnya, banyak yang harus kita renungkan. Kita disuruh
tinggal di rumah artinya banyak waktu yang bisa kita gunakan untuk memperbaiki
diri. Kita diharuskan pakai masker, hikmahnya kita sedikit bicara, tidak lagi
suka ghibah, banyak melihat sekitar kita dan lebih banyak mendengar sebagai
bahan muhasabah.
Ramadhan membawa ingatanku jauh
menerawang masa lalu, masa kecil dulu di
kampung kelahiranku. Benar makna ungkapan “Childhood is a short season” masa
kecil adalah masa yang pendek, masa kecil sudah puluhan tahun ditinggalkan, namun
semua kenangan masih jelas dalam ingatan. Masa kecil akan selalu dikenang,
menceritakan masa kecil bagi saya adalah menceritakan keindahan, menceritakan
kehidupan yang damai, seperti tidak ada sedihnya dulu, bermain dengan
teman-teman, ya…pekerjaan anak kecil memang cuma bermain, meskipun juga kami
dari kecil sudah diajari tanggung jawab orang orang tua, angon kambing.
Dulu
kami bebas bermain, layaknya bocah petualang. Entah mengapa orang tua kami dulu
tidak khawatir dengan kami, setiap hari keluyuran, mandi di sungai, ke sawah mencari
belut dan ikan, atau sesekali ke kebun orang berburu pencit (mangga muda), mengumpulkan
buah salam, mencari tebu dan mengupas kulitnya dengan gigi-gigi kuat kami.
Anak-anak dulu biasa disebut ‘gragas’ maksudnya apapun dimakan, namun kenyataannya
kami jarang sakit meski makan secara sembarangan, inilah mungkin sisi positif
kehidupan anak-anak dulu, situasi lingkungan dan pergaulan menempa anak zaman
dulu untuk tangguh secara fisik dan mental dan tidak boleh cengeng.
Ada
sebuah tempat yang sangat berpengaruh bagi saya di masa kecil, bahkan membekas
sampai sekarang, tempat itu adalah musholla kecil di kampung kami. Sudah lama
aku tidak masuk ke musholla itu, sholat di dalamnya atau sekedar duduk-duduk
santai diterasnya. karena sudah tidak menetap di kampungku, aku jadi jarang ke musholla itu. Sebuah musholla kecil
di desa kami yang sebenarnya punya banyak kenangan masa kecil saya. Hari-hari
kecil kami dulu banyak dihabiskan di musholla, sore hari setelah melaksanakan
piket menimba kamar mandi musholla biasanya kami main kasti di halaman, main
‘betengan’ atau ‘delikan’ dengan teman-teman. Setelah sholat Maghrib berjamaah
kami mengaji ke Pak Hardi (guru mengaji kami) meskipun cuma dengan
penerangan ‘lampu ublik’, (lampu minyak tanah) karena memang pada
waktu itu belum ada listrik, duduk mengitari dampar satu persatu menunggu
giliran untuk disimak. Kadang ada rasa rindu bila ingat masa itu, semuanya yang
telah berlalu terasa indah dikenang hari ini. Rindu juga bertemu teman-teman masa
kecil saya, Mustofa, Heri, Anam, Subhan, Bibit Misbah, Sulhan dan masih
banyak yang begitu membekas kenangannya sampai saat ini. Musholla pada waktu
itu, adalah rumah kami yang kedua, hiburan pada masa kecil kami adalah bermain
dengan teman-teman. Malam hari pun kami biasa tidur di musholla, dulu masa
kecil kami TV masih langka, di desa kami hanya beberapa orang yang punya,
itupun TV hitam putih dan masih menggunakan aki. Sesekali malam hari kami
kelilling kampung menontoh video di rumah orang hajatan, itupun seperti di
bioskop ramainya bukan main, pulang tengah malam kami kembali ke musholla, karena
kami selalu tidur di musholla dan pulang setelah sholat Subuh. Pada malam
minggu Pak Hardi selalu membawa radio kecilnya, karena ada acara sandiwara
radio semalam suntuk yang sayang kami lewatkan, serial Saur Sepuh.
Musholla bagaikan “Universitas” yang
mengajarkan berbagai ilmu bagi kami dulu, tempat kami pertama belajar mengaji,
belajar sholat sekaligus praktek berjamaah, belajar bersama dengan teman-teman mengerjakan
tugas sekolah. Dulu kami tidak menyebut Musholla, kami biasa menyebut langgar,
kami juga tidak pernah tahu apa nama Musholla kami, karena kami akan menyebut ‘langgare
Pak Sahid’ (Mushollanya Pak Sahid), padahal bukan berarti milik beliau, itu
hanya karena setiap hari beliau yang menjadi Imam sholat, meskipun sesekali
bergantian dengan kedua adik beliau H. Imanuddin dan H. Ahmad Nawawi.
Tradisi menyambut
bulan Ramadhan
Bulan
Ramadhan selalu istimewa di hati, kehadirannya membuat kami senang tiada
terperi. Dulu sewaktu kecil di bulan Sya’ban di musholla kami ada tradisi
megengan. Megengan adalah tradisi “pra Ramadhan” yang syarat makna, yang seakan
– akan sudah menjadi sesuatu tradisi yang pantang ditinggalkan. Dulu kami
merayakan tradisi ini dengan meriah di Musholla, setelah sholat Isya’ berjamaah
kami duduk melingkar, ditengah-tengah ada ‘ambeng’ yang lengkap, ada nasi, lauk
pauk, apem dan yang paling spesial adalang ‘ingkung ayam’ (ayam panggang).
Setelah didoakan oleh para sesepuh ambeng siap dibagi, beralaskan daun pisang,
masing-masing mendapat berkat yang sama. Saatnya makan “mewah” tiba, makan
bersama dengan banyak teman dengan lauk daging ayam panggang, tentu menu yang
mewah bagi kami pada saat itu, sangat jarang kami makan daging ayam. Meskipun
tradisi megengan sampai sekarang masih ada, namun sudah beda suasana dan tata
cara dengan yang kami jalani dulu. Jamaah ke masjid atau ke musholla membawa berkat
yang sudah dikemas atau nasi box, kemudian dikumpulkan, setelah didoakan dibagi
lagi, mungkin sekedar ditukar, setelah itu di bawa pulang. Bagaimana nasib nasi
box tadi ? kebanyakan tidak habis dimakan.
Dulu
ketika kecil, menjelang Ramadhan kami juga punya rutinitas dengan teman-teman membuat
meriam bambu dengan ‘amunisi’ karbit, kemudian dibunyikan sahut-menyahut, membuat
oncor (lampu minyak dari batang bambu), membuat
kentongan dan menyiapkan alat-alat ronda. Sehari menjelang Ramadhan kami
biasanya kumpul di musholla, memukul bedug berulang-ulang sebagai tanda
Ramadhan tiba.
Ketika
Ramadhan tiba
Ketika Ramadhan telah tiba, suasana
kampung kami jadi semarak, jalan kampung dibersihkan gotong royong, tidak lupa pula
membersihkan musholla dan masjid. Jamaah yang sholat ke musholla lebih ramai
dari hari biasa, karena tidak mau ketinggalan sholat tarawih, bila pada hari –
hari biasa musholla kami menggunakan lampu ublik, sepanjang sholat tarawih di
bulan Ramadhan musholla kami menggunakan lampu Petromak. Malam kami juga
istimewa, setiap malam kami bisa menikmati ta’jil orang yang tadarrus di
musholla, pisang goreng, singkong goreng, buah semangka, semua itu bagi kami
itu adalah hidangan istimewa, meskipun juga kadang harus berebut dengan
teman-teman. Selesai sholat tarawih biasanya kami pulang mengambil “bontrot”
(bekal) untuk makan sahur bersama teman-teman. Kami biasanya bangun pada pukul 02.00
malam, saatnya tiba,.. petualangan ronda keliling kampung dimulai, membangunkan
orang untuk makan sahur, riuh suara kentongan sahut-menyahut sepanjang jalan
kampung, seru sekali. Sekitar pukul 03.00 kami pulang ke musholla untuk makan
sahur bersama-sama, kemudian menunggu untuk sholat subuh berjamaah, setelah
sholat subuh kami tidak segera pulang karena biasanya meneruskan tidur lagi,
mbangkong.
Puasa bulan Ramadhan pada masa kecil
bagi kami hampir tidak ada bedanya dengan tidak puasa, kami tetap bermain, di
sawah mengejar layang-layang, angon kambing, cari jangkrik, main meriam bambu
dan aktifitas bermain yang lain. Menjelang maghrib adalah waktu paling
menyenangkan, di rumah kami tidak pernah kumpul dan makan bersama, beda ketika
bulan Ramadhan, kami bisa berbuka puasa bersama, Bapak, ma’e (ibu) kakak dan
adik saya sepanjang Ramadhan kami punya momen kebersamaan, salah satu berkah
Ramadhan bagi keluarga kami pada waktu itu. Menu buka biasanya lebih enak dari
hari biasa, mungkin itu motivasi dari ibu kami untuk kami yang masih kecil
untuk giat berpuasa.
Selepas buka bersama keluarga, kami
akan pergi ke musholla, menggunakan oncor, sudah biasa kami akan bermain dulu
sebelum sholat tarawih. Karena musholla belum ada jamaah yang datang, saatnya
kami ‘perang sarung’, permainan perkelahian menggunakan sarung sebagai
senjatanya, wis gebuk-gebukan poko’e. Begitu jamaah pada datang sudah
pasti kami kena marah, menjadikan musholla sebagai tempat main. Tapi besok kami
akan mengulangi lagi dan kena marah lagi, begitu seterusnya…, dasar anak kecil.
Menjelang
Idul Fitri
Pada
sepuluh hari terakhir, musholla kami ada tradisi maleman, tradisi menyambut
malam lailatul qodar. Malam-malam ganjil, malam 21, 23, 25, 27 dan 29 diisi
dengan kegiatan ‘genduren’ (kenduri). Memang tidak semua malam ganjil ada acara
maleman, biasanya cuma diambil 2 hari saja, 25 dan 27, atau 27 dengan 29.
Hari-hari
puasa kami jalani dengan riang, kini tiba menjelang hari kemenangan. Menjelang Idul
Fitri tiba sudah pasti kami dibelikan baju baru oleh orang tua kami, beli baju
baru bagi kami dulu hanya setahun sekali menjelang perayaan hari raya Idul Fitri.
Bukan mahal atau bagusnya baju yang kami punya, yang penting baru. Dan teman –
teman pun demikian mereka hanya dibelikan baju baru setiap menjelang perayaan
Idul Fitri.
Malam takbir menjadi puncak keseruan
Ramadhan kami, setelah Maghrib kami keliling kampung pawai obor sambil
mengumandangkan takbir. Suara takbir sahut-menyahut diselingi suara petasan, setelah
lelah keliling-keliling kami kembali ke mushola untuk takbir bersama-sama
menggunakan Corong Toa (pengeras suara), biasanya sampai larut malam
kami melakukannya. Pagi hari sholat Idul Fitri dilaksanakan, sholat Idul fitri
kami laksanakan di musholla juga, setelah sholat kami keliling kampung dengan
memakai baju baru. Ada momen yang menjadi kenangan manis lagi saat keliling,
mendapat uang saku dari orang yang kami kunjungi.
Itulah dunia masa kecil, belum
mengenal arti ibadah yang sesungguhnya, belum mengenal arti ikhlas, semua
dilakukan karena kesenangan, keseruan dan main-main belaka. Namun itulah makna
sebenarnya dari main sambil belajar. Kenangan kecil ternyata membekas yang
akhirnya kita temukan manfaatnya ketika kita sudah dewasa. Bersyukur saya punya
kenangan semua itu, saya bayangkan hari ini, anak-anak zaman sekarang lebih
sering menghabiskan waktunya main gadget, kira-kira kenangan apa yang akan
mereka ceritakan ketika sudah dewasa nanti.
SEKIAN