Senin, 04 Mei 2020

RAMADHAN DAN MASA KECILKU DI KAMPUNG


            Marhaban Ya Ramadhan, Selamat datang Bulan Ramadhan 1441 Hijriyah, Tahun ini kami tidak bisa menyambutmu seperti biasanya, malam – malam Ramadhan yang biasanya semarak, seluruh penjuru negeri bahagia menunggu kedatanganmu, kini sunyi. Ada kebahagiaan di hati kami, namun juga diliputi rasa mencekam, karena badai belum berlalu, Pandemi masih mengintai, ‘Covid-19’ menjadikan Ramadhan tahun ini benar-benar terasa beda. Kita menjalani situasi yang tidak normal, bahkan mungkin sampai nanti, di saat kita merayakan Idul Fitri, tiada yang tahu pasti. Dalam suasana ‘Physical Distancing’ kita memasuki Ramadhan, tidak ada sapa hangat dari saudara, ketika bertemu tidak jabat tangan, tidak terlihat senyum karena kami memakai masker, hanya mengangguk. Sepanjang sejarah Ramadhan yang saya lalui, inilah Ramadhan yang sangat berbeda dari sebelumnya. Nasihat orang bijak, semua ada hikmahnya, dibalik musibah ada anugerah yang menyertainya. Ramadhan ini harus lebih spesial dari Ramadhan sebelumnya, banyak yang harus kita renungkan. Kita disuruh tinggal di rumah artinya banyak waktu yang bisa kita gunakan untuk memperbaiki diri. Kita diharuskan pakai masker, hikmahnya kita sedikit bicara, tidak lagi suka ghibah, banyak melihat sekitar kita dan lebih banyak mendengar sebagai bahan muhasabah.
            Ramadhan membawa ingatanku jauh menerawang  masa lalu, masa kecil dulu di kampung kelahiranku. Benar makna ungkapan “Childhood is a short season” masa kecil adalah masa yang pendek, masa kecil sudah puluhan tahun ditinggalkan, namun semua kenangan masih jelas dalam ingatan. Masa kecil akan selalu dikenang, menceritakan masa kecil bagi saya adalah menceritakan keindahan, menceritakan kehidupan yang damai, seperti tidak ada sedihnya dulu, bermain dengan teman-teman, ya…pekerjaan anak kecil memang cuma bermain, meskipun juga kami dari kecil sudah diajari tanggung jawab orang orang tua, angon kambing.
Dulu kami bebas bermain, layaknya bocah petualang. Entah mengapa orang tua kami dulu tidak khawatir dengan kami, setiap hari keluyuran, mandi di sungai, ke sawah mencari belut dan ikan, atau sesekali ke kebun orang berburu pencit (mangga muda), mengumpulkan buah salam, mencari tebu dan mengupas kulitnya dengan gigi-gigi kuat kami. Anak-anak dulu biasa disebut ‘gragas’ maksudnya apapun dimakan, namun kenyataannya kami jarang sakit meski makan secara sembarangan, inilah mungkin sisi positif kehidupan anak-anak dulu, situasi lingkungan dan pergaulan menempa anak zaman dulu untuk tangguh secara fisik dan mental dan tidak boleh cengeng.
Ada sebuah tempat yang sangat berpengaruh bagi saya di masa kecil, bahkan membekas sampai sekarang, tempat itu adalah musholla kecil di kampung kami. Sudah lama aku tidak masuk ke musholla itu, sholat di dalamnya atau sekedar duduk-duduk santai diterasnya. karena sudah tidak menetap di kampungku, aku jadi  jarang ke musholla itu. Sebuah musholla kecil di desa kami yang sebenarnya punya banyak kenangan masa kecil saya. Hari-hari kecil kami dulu banyak dihabiskan di musholla, sore hari setelah melaksanakan piket menimba kamar mandi musholla biasanya kami main kasti di halaman, main ‘betengan’ atau ‘delikan’ dengan teman-teman. Setelah sholat Maghrib berjamaah kami mengaji ke Pak Hardi (guru mengaji kami) meskipun cuma dengan penerangan ‘lampu ublik’, (lampu minyak tanah) karena memang pada waktu itu belum ada listrik, duduk mengitari dampar satu persatu menunggu giliran untuk disimak. Kadang ada rasa rindu bila ingat masa itu, semuanya yang telah berlalu terasa indah dikenang hari ini. Rindu juga bertemu teman-teman masa kecil saya, Mustofa, Heri, Anam, Subhan, Bibit Misbah, Sulhan dan masih banyak yang begitu membekas kenangannya sampai saat ini. Musholla pada waktu itu, adalah rumah kami yang kedua, hiburan pada masa kecil kami adalah bermain dengan teman-teman. Malam hari pun kami biasa tidur di musholla, dulu masa kecil kami TV masih langka, di desa kami hanya beberapa orang yang punya, itupun TV hitam putih dan masih menggunakan aki. Sesekali malam hari kami kelilling kampung menontoh video di rumah orang hajatan, itupun seperti di bioskop ramainya bukan main, pulang tengah malam kami kembali ke musholla, karena kami selalu tidur di musholla dan pulang setelah sholat Subuh. Pada malam minggu Pak Hardi selalu membawa radio kecilnya, karena ada acara sandiwara radio semalam suntuk yang sayang kami lewatkan, serial Saur Sepuh.
            Musholla bagaikan “Universitas” yang mengajarkan berbagai ilmu bagi kami dulu, tempat kami pertama belajar mengaji, belajar sholat sekaligus praktek berjamaah, belajar bersama dengan teman-teman mengerjakan tugas sekolah. Dulu kami tidak menyebut Musholla, kami biasa menyebut langgar, kami juga tidak pernah tahu apa nama Musholla kami, karena kami akan menyebut ‘langgare Pak Sahid’ (Mushollanya Pak Sahid), padahal bukan berarti milik beliau, itu hanya karena setiap hari beliau yang menjadi Imam sholat, meskipun sesekali bergantian dengan kedua adik beliau H. Imanuddin dan H. Ahmad Nawawi.
Tradisi menyambut bulan Ramadhan
            Bulan Ramadhan selalu istimewa di hati, kehadirannya membuat kami senang tiada terperi. Dulu sewaktu kecil di bulan Sya’ban di musholla kami ada tradisi megengan. Megengan adalah tradisi “pra Ramadhan” yang syarat makna, yang seakan – akan sudah menjadi sesuatu tradisi yang pantang ditinggalkan. Dulu kami merayakan tradisi ini dengan meriah di Musholla, setelah sholat Isya’ berjamaah kami duduk melingkar, ditengah-tengah ada ‘ambeng’ yang lengkap, ada nasi, lauk pauk, apem dan yang paling spesial adalang ‘ingkung ayam’ (ayam panggang). Setelah didoakan oleh para sesepuh ambeng siap dibagi, beralaskan daun pisang, masing-masing mendapat berkat yang sama. Saatnya makan “mewah” tiba, makan bersama dengan banyak teman dengan lauk daging ayam panggang, tentu menu yang mewah bagi kami pada saat itu, sangat jarang kami makan daging ayam. Meskipun tradisi megengan sampai sekarang masih ada, namun sudah beda suasana dan tata cara dengan yang kami jalani dulu. Jamaah ke masjid atau ke musholla membawa berkat yang sudah dikemas atau nasi box, kemudian dikumpulkan, setelah didoakan dibagi lagi, mungkin sekedar ditukar, setelah itu di bawa pulang. Bagaimana nasib nasi box tadi ? kebanyakan tidak habis dimakan.
Dulu ketika kecil, menjelang Ramadhan kami juga punya rutinitas dengan teman-teman membuat meriam bambu dengan ‘amunisi’ karbit, kemudian dibunyikan sahut-menyahut, membuat oncor (lampu minyak dari batang bambu),  membuat kentongan dan menyiapkan alat-alat ronda. Sehari menjelang Ramadhan kami biasanya kumpul di musholla, memukul bedug berulang-ulang sebagai tanda Ramadhan tiba.
Ketika Ramadhan tiba
            Ketika Ramadhan telah tiba, suasana kampung kami jadi semarak, jalan kampung dibersihkan gotong royong, tidak lupa pula membersihkan musholla dan masjid. Jamaah yang sholat ke musholla lebih ramai dari hari biasa, karena tidak mau ketinggalan sholat tarawih, bila pada hari – hari biasa musholla kami menggunakan lampu ublik, sepanjang sholat tarawih di bulan Ramadhan musholla kami menggunakan lampu Petromak. Malam kami juga istimewa, setiap malam kami bisa menikmati ta’jil orang yang tadarrus di musholla, pisang goreng, singkong goreng, buah semangka, semua itu bagi kami itu adalah hidangan istimewa, meskipun juga kadang harus berebut dengan teman-teman. Selesai sholat tarawih biasanya kami pulang mengambil “bontrot” (bekal) untuk makan sahur bersama teman-teman. Kami biasanya bangun pada pukul 02.00 malam, saatnya tiba,.. petualangan ronda keliling kampung dimulai, membangunkan orang untuk makan sahur, riuh suara kentongan sahut-menyahut sepanjang jalan kampung, seru sekali. Sekitar pukul 03.00 kami pulang ke musholla untuk makan sahur bersama-sama, kemudian menunggu untuk sholat subuh berjamaah, setelah sholat subuh kami tidak segera pulang karena biasanya meneruskan tidur lagi, mbangkong.
            Puasa bulan Ramadhan pada masa kecil bagi kami hampir tidak ada bedanya dengan tidak puasa, kami tetap bermain, di sawah mengejar layang-layang, angon kambing, cari jangkrik, main meriam bambu dan aktifitas bermain yang lain. Menjelang maghrib adalah waktu paling menyenangkan, di rumah kami tidak pernah kumpul dan makan bersama, beda ketika bulan Ramadhan, kami bisa berbuka puasa bersama, Bapak, ma’e (ibu) kakak dan adik saya sepanjang Ramadhan kami punya momen kebersamaan, salah satu berkah Ramadhan bagi keluarga kami pada waktu itu. Menu buka biasanya lebih enak dari hari biasa, mungkin itu motivasi dari ibu kami untuk kami yang masih kecil untuk giat berpuasa.
            Selepas buka bersama keluarga, kami akan pergi ke musholla, menggunakan oncor, sudah biasa kami akan bermain dulu sebelum sholat tarawih. Karena musholla belum ada jamaah yang datang, saatnya kami ‘perang sarung’, permainan perkelahian menggunakan sarung sebagai senjatanya, wis gebuk-gebukan poko’e. Begitu jamaah pada datang sudah pasti kami kena marah, menjadikan musholla sebagai tempat main. Tapi besok kami akan mengulangi lagi dan kena marah lagi, begitu seterusnya…, dasar anak kecil.
Menjelang Idul Fitri
Pada sepuluh hari terakhir, musholla kami ada tradisi maleman, tradisi menyambut malam lailatul qodar. Malam-malam ganjil, malam 21, 23, 25, 27 dan 29 diisi dengan kegiatan ‘genduren’ (kenduri). Memang tidak semua malam ganjil ada acara maleman, biasanya cuma diambil 2 hari saja, 25 dan 27, atau 27 dengan 29.
Hari-hari puasa kami jalani dengan riang, kini tiba menjelang hari kemenangan. Menjelang Idul Fitri tiba sudah pasti kami dibelikan baju baru oleh orang tua kami, beli baju baru bagi kami dulu hanya setahun sekali menjelang perayaan hari raya Idul Fitri. Bukan mahal atau bagusnya baju yang kami punya, yang penting baru. Dan teman – teman pun demikian mereka hanya dibelikan baju baru setiap menjelang perayaan Idul Fitri.
            Malam takbir menjadi puncak keseruan Ramadhan kami, setelah Maghrib kami keliling kampung pawai obor sambil mengumandangkan takbir. Suara takbir sahut-menyahut diselingi suara petasan, setelah lelah keliling-keliling kami kembali ke mushola untuk takbir bersama-sama menggunakan Corong Toa (pengeras suara), biasanya sampai larut malam kami melakukannya. Pagi hari sholat Idul Fitri dilaksanakan, sholat Idul fitri kami laksanakan di musholla juga, setelah sholat kami keliling kampung dengan memakai baju baru. Ada momen yang menjadi kenangan manis lagi saat keliling, mendapat uang saku dari orang yang kami kunjungi.
            Itulah dunia masa kecil, belum mengenal arti ibadah yang sesungguhnya, belum mengenal arti ikhlas, semua dilakukan karena kesenangan, keseruan dan main-main belaka. Namun itulah makna sebenarnya dari main sambil belajar. Kenangan kecil ternyata membekas yang akhirnya kita temukan manfaatnya ketika kita sudah dewasa. Bersyukur saya punya kenangan semua itu, saya bayangkan hari ini, anak-anak zaman sekarang lebih sering menghabiskan waktunya main gadget, kira-kira kenangan apa yang akan mereka ceritakan ketika sudah dewasa nanti.

SEKIAN


MENUNGGU PERTOLONGAN-NYA

Berbagai cara dilakukan orang-orang musyrik Makah menentang dakwah Nabi Muhammad, menyiksa orang-orang lemah yang mengikuti Nabi, menawarkan harta kekuasaan kepada Nabi dengan syarat Nabi menghentikan dakwahnya, tidak juga berhasil. Melakukan teror kepada Nabi, juga tidak pernah berhasil menghentikan dakwah Nabi. Untuk membunuhan Nabi mereka khawatir, jika darah Nabi Muhammad tumpah karena ulah mereka, maka Makkah pasti akan digenangi darah manusia dan bahkan bisa membinasakan mereka semua. Karena menyadari hal ini, mereka beralih ke bentuk kezhaliman lain yang bukan pembunuhan, tapi dengan sasaran yang sama.
Untuk menghadapi Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib mereka membuat kesepakatan yang isinya: Larangan menikah, berjual beli, berteman, berkumpul, memasuki rumah, berbicara dengan mereka, kecuali jika secara suka rela mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh
Selama tiga tahun Nabi dan keluarga besar Bani Hasyim dan Bani Al-Muthollib mengalami pemboikotan oleh orang-orang musyrik Makkah. Pemboikotan yang benar-benar ketat. Cadangan bahan makanan sudah habis. Sementara orang-orang musyrik tidak membiarkan bahan makanan yang masuk ke Makah atau barang yang hendak dijual melainkan mereka langsung memborong semuanya, hingga keadaan Bani Hasyim dan Bani Al-Mutholib benar-benar mengenaskan dan kelaparan. Akhirnya mereka hanya bisa memakan dedaunan dan kulit binatang. Tidak jarang terdengar suara para wanita dan anak-anak yang merintih karena kelaparan dari kaum perkampungan Abu Thalib. Kalau pun ada bahan makanan yang masuk, maka itu dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, dan mereka tidak bisa keluar dari perkampungan untuk membeli segala keperluan kecuali pada bulan-bulan suci. Mereka bisa membeli dari kafilah yang datang dari luar kota Makah.

Hari ini kita merasakan situasi yang sulit, kebebasan kita dibatasi, disuruh tetap tinggal di rumah, juga ada sebagian diisolasi dari wilayahnya. Banyak orang yang pendapatannya berkurang atau bahkan tidak bisa bekerja lagi, banyak orang kena PHK dari pekerjaannya dan masih banyak cerita pilu yang lainnya sebagai akibat dari Pandemi yang melanda negeri kita saat ini.
Dalam situasi yang serba sulit seperti ini kemana lagi kita bisa minta pertolongan...?
Ke teman kita, dia juga merasakan dan mengalami kesulitan seperti apa yang kita rasakan, 
Menunggu pemerintah memberi kita bantuan...? Pemerintah saat ini pun belum menemukan pola yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah besar yang kita hadapi sekarang.
Menunggu bantuan Internasional datang...? Seluruh negara di penjuru dunia saat ini masih berjuang mengerahkan segala kemampuan untuk melepaskan jerat Pandemi yang menyerang mereka. 
Negara-negara besar yang katanya sistem kesehatannya bagus seakan tidak berdaya dan kehilangan kekuatan mereka.

Harapan terakhir hanyalah kembali kepada Allah Tuhan semesta alam yang Maha Kuasa atas segalanya,...

Sebagaimana Nabi hanya bergantung kepada Allah saat menghadapi kesulitan besar ketika diboikot kaum musyrik Makkah, di saat tidak ada kaum atau suku yang mampu membatalkan piagam pemboikotan, Allah yang menyelamatkan Nabi dan keluarganya dengan cara mengutus makhluknya yang kecil 'rayap', memakan piagam boikot yang digantung di dinding Makkah, dan berakhirlah masa pemboikotan.


Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...