Minggu, 28 Juni 2020

SEPEDA, OLAHRAGA ATAU GAYA HIDUP ?

Sepeda bagi saya pribadi adalah sarana transportasi yang sudah akrab sejak zaman dahulu. Bersepeda adalah “Romantisme“ masa lalu. Sejak kecil waktu sekolah MtsN sampai Madrasah Aliyah setiap hari menggunakan sepeda. Bahkan Ketika teman-teman dulu sudah mulai banyak yang menggunakan sepeda motor, saya masih selalu bersepeda. Bukan karena cinta dan setia dengan sepeda namun memang belum punya motor. (he..he)

Bersepeda akhir-akhir ini menjadi booming di mana-mana, bukan hanya di Indonesia. Menurut berita di sebuah media portal online hampir seluruh penjuru dunia memiliki trend bersepeda. Sebagian menganalisa ini akibat dampak pandemi Covid-19. Sepeda dilirik banyak orang yang ingin tetap berolahraga di masa pandemi. Mudah karena bisa dilakukan sendiri, tidak harus kontak dengan orang lain dan satu alasan banyak memilih sepeda karena unsur rekreasi. Dengan bersepeda kita bisa menyusuri jalan-jalan di kota, desa, perbukitan, tepi sungai atau pinggir sawah. Hampir tidak ada hambatan apapun, bebas macet.

Fenomena yang menggembirakan bila sepeda menjadi gaya hidup masyarakat umum. Bersepeda menjadi alternatif jenis olahraga yang digemari. Faktanya, di negara-negara maju sepeda masih menjadi alat transportasi di kota. Seorang direktur tidak segan ke kantor menggunakan sepeda. Karena praktis, hemat biaya dan yang pasti ramah lingkungan. Tentu ini akan sedikit mengurangi pencemaran alam yang sudah sedemikian rupa. Tidak heran ketika naik kereta api banyak menjumpai penumpang yang membawa sepeda lipat mereka.

Olahraga bersepeda sebenarnya bukan hal yang baru, banyaknya orang yang bersepeda hari ini adalah sekedar “latah” mengikuti trend yang sedang terjadi. Bahkan sebagian kalangan masyarakat elit bersepeda sekadar menunjukkan hobi yang mahal. Jangan heran banyak pabrikan sepeda merilis produknya dengan harga yang mencengangkan. Mulai dari puluhan juta sampai ratusan juta. Bahkan “TREK” mengenalkan produk barunya di pasaran “Trek Butterfly Madone” dengan harga US$ 500 ribu atau Rp 6,67 miliar. Sebuah pertanyaan yang umum bagi ‘wong ndeso’ seperti saya, “Bahan untuk membuat sepedanya dari apa ya???”

Sisi mahalnya harga sepeda yang bisa mencapai milyaran rupiah tentu sebenarnya tidak terkait dengan sisi manfaatnya. Bersepeda dengan harga ratusan ribu juga memiliki manfaat yang sama dengan menggunakan sepeda yang mahal. Harga mahal hanyalah sebuah kebanggaan, gaya hidup dan menunjukkan kelas sosial pemiliknya. Dan itu sah-sah saja selama masih punya kepedulian terhadap orang-orang sekitar yang membutuhkan uluran tangannya. Tentu tidak elok untuk hobi bersepeda bisa menghabiskan dana yang sangat besar sementara di saat yang sama banyak orang hidup dalam kesusahan.

           

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...