Kamis, 22 September 2022

NASIB BUKU

 


 

Terpuruknya minat membaca dan nasib buku Tanah Air diakui pengamat pendidikan. Menurut mereka, baik buku kertas maupun digital sama-sama sepi pembacanya. Katanya, nasib buku itu dari dulu sampai sekarang apes. Dalam arti, buku baik di masa pandemi ataupun tidak, tidak dibaca. Buku-buku sudah tidak dilirik banyak orang, hanya sedikit yang minat membaca buku.

Memang kini buku sudah banyak yang sudah beralih ke digital, namun tetap saja sepi pembaca. Buku-buku yang sudah berevolusi menjadi e-book, tidak banyak juga yang membaca, paling kebanyakan hanya mengunduh dan menyimpannya. Tidak tahu, apakah nanti sempat membaca atau hanya menjadi koleksi semata.

Menumbuhkan budaya literasi di lingkungan pendidikan juga semakin sulit dirasa. Coba saja buat pertanyaan sederhana kepada anak-anak didik kita. Apa yang akan dipilihnya bila kita sodorkan dua benda, buku dan ponsel. Pasti mereka akan lebih memilih ponsel, dan itu memang sebuah keniscayaan.

Nasib buku ke depan sepertinya memang kian gelap. Level berliterasi kita memang masih relatif rendah. Tentu tolok ukurnya adalah negara lain. Tidak perlu kita membandingkan dengan Amerika, Jepang, Korea Selatan atau negara-negara eropa. Dibandingkan dengan negara tetangga kita Singapura dan Malasyia kita sudah tertinggal jauh.

Dalam rentang sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang bisa jadi buku akan menjadi barang yang langka dan sedang menuju kepunahan. Memang ini terkesan skeptis, tapi gejalanya sudah sangat terang saat ini. Lihat saja sudah berapa banyak toko buku yang menutup gerainya. Hitung saja masih berapa yang tersisa di kota Anda. Dan hanya sedikit orang yang bersedih dengan nasib buku hari ini.

 


Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...