Sabtu, 19 November 2022

Rasulullah: Peletak Dasar Konstitusi Hak Asasi Manusia yang Humanis dan Pemimpin Umat yang Adil Tiada Cela 1#



 Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (Al Anbiya ayat 107) 

Kita menyadari bahwa sebagian kalangan yang tidak menyukai ajaran Islam selalu menuduh bahwa Islam adalah agama yang ekstrem. Dan hingga kini pun Islamofobia, suatu ketakutan, kebencian atau prasangka buruk terhadap Islam masih tetap ada. Islam dicitrakan sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, intoleran bahkan sebagai penebar teror. 

Propaganda anti Islam memang akan selalu ada dari zaman dahulu hingga sekarang, padahal apa yang mereka tuduhkan sama sekali tidak mendasar. Ajaran agama Islam justru melindungi hak-hak dasar manusia, sangat menjunjung keadilan, dan membawa rahmat bagi semesta alam.  

Islam melindungi hak dasar umat manusia

Dalam surat Al-Isra ayat 70 Allah berfirman: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. al-Isra’: 70)

Allah menciptakan manusia dengan fitrah kemuliaan. Sebagai makhluk yang dimuliakan manusia dibekali dengan akal dan kemampuan berpikir. Manusia menjadi satu-satunya ciptaan Allah yang rasional. Rasulullah sebagai pembawa risalah diperintah oleh Allah menyampaikan syariat yang menata kehidupan manusia agar tetap menjadi makhluk yang mulia.

Manusia memiliki hak al-karamah dan hak al-fadlilah. Misi diutusnya Rasulullah adalah rahmatan lil alamin, di mana kemaslahatan merupakan tawaran untuk seluruh manusia dan alam semesta. Penafsiran misi rahmatan lil alamin disebut sebagai ushul al-khams (lima prinsip dasar) yang melingkupi hifdhud din, hifdhun nafs wal ’irdl, hifdhul aql, hifdhun nasl dan hifdhul mal.

Hifdhud din memberikan jaminan hak kepada umat Islam untuk memelihara agama dan keyakinannya (al-din). Sementara itu Islam juga menjamin sepenuhnya atas identitas (kelompok) agama yang bersifat lintas etnis, oleh karena itu Islam menjamin kebebasan beragama, dan larangan adanya pemaksaan agama yang satu dengan agama lainnya.

Hifdhun nafs wal irdh memberikan jaminan hak atas setiap jiwa (nyawa) manusia, untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Dalam hal ini Islam menuntut adanya keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar; pekerjaan, hak kemerdekaan, dan keselamatan, bebas dari penganiayaan dan kesewenang-wenangan.

Hifdhul ‘aql adalah adanya suatu jaminan atas kebebasan berekspresi, kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan pendapat, melakukan penelitian dan berbagai aktivitas ilmiah. Dalam hal ini Islam melarang terjadinya perusakan akal dalam bentuk penyiksaan, penggunaan obat terlarang maupun minuman keras.

Hifdhun nasl merupakan jaminan atas kehidupan privasi setiap individu, perlindungan atas pekerjaan, jaminan masa depan keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas. Perzinahan adalah perilaku menyimpang menurut syara’ sagat diharamkan.

Hifdhul mal dimaksudkan sebagai jaminan atas pemilikan harta benda, properti dan lain-lain. Dan larangan adanya tindakan mengambil hak dari harta orang lain dengan cara-cara yang tidak sah seperti: mencuri, korupsi, monopoli, dan yang serupa itu.

Lima prinsip dasar di atas sangatlah relevan dan bahkan seiring sejalan dengan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia (HAM). Jauh sebelum ada pengakuan umum terhadap perlindungan HAM dalam hukum internasional yang tertulis pasca Perang Dunia II, Islam telah hadir membawa konsep ajaran yang melindungi hak dasar manusia.

Ajaran Islam yang dibawa Rasulullah mengembalikan kembali derajat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan. Pada masa jahiliah kehormatan seseorang dinilai dari faktor keturunan, kekayaan dan ketinggian kedudukannya. Ketika Islam datang dihapuslah konsep jahiliyah tersebut.

Islam tidak memandang nilai kemuliaan seseorang dari bentuk tubuh, banyaknya harta maupun pangkat seseorang. Yang mulia di sisi Allah adalah hamba yang bertaqwa. Tak peduli apakah dia seorang hamba sahaya atau orang yang miskin tidak berharta. Dan dalam hal ini Rasulullah memberi teladan kepada umatnya dengan nyata.

Ada sahabat-sahabat pilihan Nabi yang tadinya hamba sahaya (budak), diantaranya adalah Bilal Bin Rabbah dan Zaid bin Haritsah. Rasulullah tidak pernah membedakan derajat mereka dengan kemuliaan sahabat lain yang bernasab mulia.

 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...