Kamis, 17 September 2020

HAT-HATI DENGAN RIYA’

 

Saat ini kita dihadapkan pada suatu masa, ketika harta, kedudukan, serta pujian manusia menjadi ukuran kemuliaan dan ketinggian seseorang di hadapan yang lain. Pola pandang keduniawian yang hanya melihat materi sebagai ukuran. Bahwa orang hebat adalah yang terkenal dan namanya sering disebut di mana-mana. Orang sukses adalah orang yang punya kedudukan serta jabatan tinggi. Dikatakan mulia adalah mereka yang selalu bekecukupan harta dan hidup tanpa kesusahan, serta banyak indikator-indikator semu dimunculkan untuk merusak pemahaman manusia tentang makna kesuksesan dan kemuliaan. Supaya manusia tertipu dan lupa pada hakikat ketinggian dan kemuliaan yang sebenarnya, yakni ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah.

    “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa (kepada Allah). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Mahateliti”.

(QS al-Hujurat: 13)

 

Pola pandang keduniawian salah satunya adalah dampak dari kemajuan di bidang teknologi. Kemajuan teknologi menjadikan kita tidak tersekat lagi dengan jarak yang jauh, dan dengan media sosial kita mampu berinteraksi dengan cepat dengan kolega kita di manapun berada. Kemajuan teknologi di bidang komunikasi telah banyak memberi manfaat bagi umat manusia, namun di sisi lain banyak pula memberi mudharat bagi kita.

Kita sadari atau tidak ada pergeseran nilai dalam masyarakat yang cenderung menjadi hedonis, sifat yang mengagungkan dan mengutamakan kenikmatan dunia. Tata hubungan dalam masyarakat bergeser dari sillaturrahim saling mengunjungi menjadi hubungan di media sosial (jejaring sosial). Yang menjadikan kita gundah, media sosial sering digunakan sebatas untuk publikasi kegiatan sehari-hari yang sebenarnya lebih bersifat privasi seperti, aktivitas belanja, aktivitas jalan-jalan dengan keluarga atau makan-makan di tempat yang mewah. Meskipun hal itu tidaklah terlarang, namun ada bahaya yang sedang mengancam kita, yakni kita cenderung terjangkit penyakit riya’ (syirik kecil). Bahkan sampai pada kegiatan ibadah pun dipublikasi lewat jejaring sosial sekadar ingin mendapat like.

Tanpa disadari, sebenarnya mereka sedang mengejar kesia-siaan. Mereka lupa, bahwa hidup bukan hanya sekedar untuk mencari pujian dan kebanggaan palsu. Dan lupa, bahwa esensi dari penciptaan mereka di dunia ini adalah untuk beribadah ikhlas hanya kepada-Nya. Semua perbuatan kita, baik atau buruk, besar atau kecil pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal. Bagi mereka yang beramal karena Allah, Allah sendirilah yang telah menjamin pahala dan balasannya.

Bila sudah mulai ada tanda-tanda terjangkit virus ini? Menurut para alim, jalan keluarnya adalah dengan berusaha untuk ikhlas di setiap amal yang kita kerjakan, dan selalu berupaya protektif menjaganya. Karena setan tak akan pernah menyerah untuk memberikan bisikan-bisikannya demi menggoyahkan dan merusak keikhlasan seseorang. Agar manusia menjadi budak sesamanya, beramal untuk kepuasan semu, serta mencampuradukkan tujuan hakiki amal shalih dengan tujuan bathil.

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...