Jumat, 01 Juli 2022

Tidak Berlebihan dalam Beribadah



Diriwayatkan dari Sahabat Anas Radhiyallahu anhu ia berkata: ada beberapa sahabat Nabi yang ingin meningkatkan ibadah dengan cara yang “ekstrem”. Yakni dengan cara berlebih-lebihan. Masing-masing dari mereka bertekad ada yang ingin puasa terus menerus, ada yang ingin ibadah di sepanjang malam setiap hari, ada juga ada yang ingin tidak menikah sama sekali.

Di lain hari, mereka bertemu dengan Rasulullah yang mana beliau sudah mengetahui tekad sahabat tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda: “Kalian mau beribadah seperti itu?.

Demi Allah! Aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertaqwa, namun ada hari di mana aku berpuasa dan ada hari yang aku tidak berpuasa, aku shalat dan aku juga memiliki waktu tidur, dan aku juga menikahi perempuan, siapa yang tidak senang dengan sunnahku, maka dia bukan golonganku.”

Sebaik-baik teladan adalah pribadi Rasulullah. Sedangkan beliau mencontohkan, bagaimana beribadah namun tidak meninggalkan umatnya. Beliau tetap berada di tengah masyarakat dan melakukan aktivitas layaknya orang pada umumnya. Rasulullah memberi keteladanan terhadap masalah keduniaan pada para pengikutnya, seperti pergi ke pasar, berumah tangga, dan bergaul dengan masyarakat.

Keinginan beberapa sahabat yang ingin mengkhususkan hidupnya hanya beribadah dan mengabaikan urusan duniawi ternyata tidak mendapat restu dari Rasulullah. Beribadah dengan cara meninggalkan kehidupan sosialnya sama halnya dengan orang yang individualis. Seolah-olah ia ingin mencari selamat sendiri dan mengabaikan kewajibannya terhadap saudara seiman yang lain. Dalam hadits lain Nabi bersabda:

 

Dari Jabir, Ia berkata: ”Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).

Konsep menjadi manusia terbaik, diukur dari seberapa besar perannya memberi kemanfaatan bagi kehidupan orang lain. Maknanya kita tidak meninggalkan masyarakat demi mengejar capaian ibadah yang bersifat pribadi. Apakah bisa dikatakan mukmin yang baik, yang salatnya khusyu’ tapi tidak peduli dengan saudara seiman yang membutuhkan bantuannya. Tentu yang sempurna ialah mereka yang memenuhi kewajiban pribadinya, dan di sisi yang lain ia juga berkhidmah pada masyarakat.

Menjadi bermanfaat bagi orang lain hanya bisa dilakukan ketika kita hidup berdampingan dengan orang lain. Bertetangga dengan baik artinya memberi manfaat bagi orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Demikian pula berkarya sesuai bidang dan keahliannya diniatkan dengan ibadah dan memberi kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Kemampuan yang ada dalam dirinya, baik itu ilmu, tenaga maupun harta senantiasa digunakan untuk mendukung terciptanya kehidupan dalam masyarakat yang lebih baik.

Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Al-Baqoroh 195

 

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...