Sabtu, 20 Juni 2020

HAMBATAN MENULIS

Untuk kesekian kalinya saya harus mengangkat tema menulis. Dalam beberapa hari seakan dalam kebingungan harus menulis apa. Ketika teman lain masih produktif menulis, entah mengapa saya seakan kehabisan ide. Lazimnya ketika satu tema dapat diselesaikan akan muncul ide-ide lain yang menarik, namun akhir-akhir ini terasa kering gagasan baru. Inilah salah satu hambatan dalam menulis yang saya hadapi. Menurut banyak pakar literasi sebenarnya ini wajar terjadi, bahkan penulis mapan pun bisa mengalaminya. Bedanya mereka akan segera menemukan solusinya, sedangkan penulis baru akan relatif sulit kembali ke jalur yang diinginkan. Dalam masa keruh ide ini saya berusaha tetap menulis. Sebenarnya ini adalah pelampiasan dari sebuah kebuntuan, berharap dapat menjaga dan menemukan kembali semangat menulis.

Hambatan klasik yang sebenarnya yang sering kita dengar dalam menulis adalah kesibukan, tidak punya waktu luang. Hambatan ini sebenarnya bisa kita atasi dengan menyisihkan sedikit waktu, bukan menunggu waktu longgar. Selama sehari semalam apakah masih sulit menyediakan waktu khusus selama  dua puluh sampai tiga puluh menit untuk menulis? Tentu kalau kita punya komitmen tidak akan berat menyisihkan waktu untuk menulis setiap hari.

Hambatan mendasar dalam menulis sebenarnya sejauh pemahaman saya adalah budaya kita memang bukan budaya menulis. Budaya kita adalah budaya mendongeng, mengingat dan budaya pitutur turun menurun. Sejak kecil dulu kita sudah akrab dengan dongeng dari orang tua kita. Dongeng yang akan diulang terus menerus ke generasi berikutnya. Semua hanya tersimpan dalam pikiran dan ingatan tidak tertuang dalam sebuah catatan. Padahal tidak semua orang memiliki kemampuan mengingat yang baik. Contoh kecil dalam kehidupan sehari-hari. Setiap pagi istri belanja ke pasar untuk kebutuhan keluarga. Ketika hendak berangkat dia sudah menentukan barang-barang apa saja yang harus dicari di pasar. Namun apa yang terjadi, ketika pulang dari pasar dan sampai di rumah, selalu ada saja barang yang lupa terbeli. Dan hal itu sudah sering terjadi. Sesekali saya beri saran, coba ditulis dulu sebelum ke pasar, apa saja yang harus dibeli, apa sulitnya sekadar menulis daftar belanja. Namun tetap saja enggan menulis, bukti bahwa membiasakan menulis tidak mudah.

Sebagian orang ada yang mengatakan menulis memerlukan sarana yang mahal, tentu itu tidak mutlak benar. Menulis tidak harus di laptop atau smartphone. Kita bisa menulis di buku tulis yang harganya tentu sangat murah. Pernahkah kita berpikir sebelum ada kertas bagaimana orang-orang zaman dahulu menulis? Dalam sejarah kita mengetahui ketika Al-Qur’an turun bangsa Arab belum mengenal kertas. Ayat-ayat Al-Qur’an ditulis di tulang belikat unta, lempengan permukaan batu cadas atau pelepah kurma. Sebuah kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada bangsa Arab, mereka dikarunia ingatan yang kuat, sehingga walaupun sarana menulis belum layak, mereka sudah punya budaya menghafal. Peradaban Jawa kuno lain lagi, mereka menulis di batu besar sebagai prasasti sejarah. Sebagian ditulis di daun lontar dan daun nipah. Bagaimana kira-kira, lebih sulit mana menulis dengan alat kuno tadi atau dengan buku tulis? Alasan hambatan menulis karena sarana belum memadai terbantahkan dengan telak.

          Mengatasi hambatan menulis adalah dengan terus menulis, terus berlatih dengan menerapkan disiplin tinggi.

Sebagai penggemar sepak bola saya sedikit mengerti kompetisi sepak bola terbaik di dunia saat ini. Inggris menempati peringkat pertama, disusul Spanyol dan Italia. Ketiga negara eropa ini menjadi tujuan utama para pemain bola dari seluruh penjuru dunia untuk bisa berkiprah di klub-klubnya yang sudah melegenda. Sebuah kebanggan tentunya bila bisa main di liga top dunia. Gaji yang diperoleh di klub besar seperti Barcelona, Real Madrid, Manchester United dan klub besar yang lain sangat fantastis. Para bintang sepak bola yang main di klub elit bisa mendapatkan gaji  sebesar 5 Milyar perpekan. Ya…dalam seminggu bukan dalam setahun. Padahal dalam seminggu sang pemain hanya melakukan satu sampai dua kali pertandingan saja.

Lalu apa hubungannya dengan dunia menulis??  Mereka adalah profesional yang giat berlatih dan memiliki disiplin yang tinggi.

Kalau menghendaki karir sepak bolanya bertahan lama, mereka dituntut terus berlatih setiap hari dan memiliki kedisiplinan yang tinggi. Banyak bintang yang karirnya tidak bertahan lama karena sering mangkir latihan dan tidak disiplin dengan peraturan klub.

Dunia menulis juga dituntut terus belatih, seperti sebuah ungkapan, bisa karena biasa. Yang penting terus menulis. Ketika sibuk meluangkan sedikit waktu menulis, tidak ada ide coba menulis tema kebuntuan menulis…he..he..

 

Nasionalisme Lapangan Hijau

  Kalau bicara tentang sepak bola, masyarakat Indonesia jagonya. Meski cabang olah raga sepak bola belum menorehkan prestasi di level duni...